Paradigma “Segara Kidul” Berubah, Cara Pandang Subjek Pelaku dan Pendukung Ritual Harus Berubah
IMNEWS.ID – UNGKAPAN lugas seorang anak usia SD yang sedang “diperkenalkan” orangtuanya tentang upacara adat Labuhan di Pantai Parangkusuma, Minggu (6/10) lalu, memberi makna baru ritual untuk Kanjeng Ratu Kencanasari itu. Karena, remaja anggota rombongan Pakasa Cabang Kudus itu mengaku senang sekali menikmati suasana pantai, hingga enggan diajak pulang.
Pengakuan bersahaja remaja putri KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro (Ketua Pakasa Kudus) itu jelas manusiawi, bahkan dibenarkan ibunda dan rombongan. Mereka mengaku sangat menikmati sensasi sebagai subjek pendukung ritual Labuhan dan menikmati objek lokasi Pantai Parangkusuma. Nilai eksotika dan estetika keduanya menyatu, tak bisa dipisahkan.
Berkembangnya lokasi Pantai Parangkusuma, Kabupaten Bantul (DIY) menjadi objek wisata memang mulai marak di awal tahun 1990-an, saat pemerintah menggalakkan pendapatan devisa negara dari non-migas, yaitu sektor pariwisata. Tetapi, Pantai Parangtritis yang menyatu dengan Parangkusuma, sebenarnya sudah dikenal luas sebagai objek wisata pantai, saat itu.
Seiring dengan pengembangan sektor kepariwisataan dan pembukaan objek wisata baru serta upaya optimalisasinya, telah merubah objek wisata baru baik panorama, museum maupun upacara adat sebagai destinasi wisata. Maka, upacara adat Labuhan yang digelar Kraton Mataram Surakarta, masuk kategori objek wisata baru selain makam tokoh leluhur dan ritual haulnya.
Oleh sebab itu, walau Pantai Parangtritis yang kini dikenal dengan sebutan “Paris” sudah dikenal sebagai objek wisata pantai di “segara kidul” dan semakin banyak dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri, Pantai Parangkusuma juga semakin menarik karena memiliki dua potensi sekaligus. Yaitu keindahan alam pantai dan eksotisme ritual Labuhan.
“Dari kajian sejarah, sepanjang pantai selatan atau segara kidul Pulau Jawa ini memang sangat cocok untuk kegiatan spiritual religi. Dengan begitu, daya tarik wisatanya semakin tinggi. Berbeda dengan sepanjang pantai utara Pulau Jawa, paling cocok untuk kegiatan ekononomi,” ujar Dr Purwadi (peneliti sejarah Lokantara Pusat di Jogja), menjawab iMNews.id.
Anggota Pakasa Cabang Jogja sekaligus dosen pangajar di sebuah perguruan tinggi itu, juga hadir di upacara adat Labuhan yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta, di Pantai Parangkusuma, Minggu (6/10) siang (iMNews.id, 7/10). Ia bersama rombongan Sanggar Paes dan Tata-Busana Pengantin Jawa gagrag Surakarta yang dipimpin GKR Ayu Koes Indriyah.
Ketika dianalisis, sangat rasional dan berbanding lurus antara kajian sejarah Dr Purwadi dengan realitas di lapangan serta potensi perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Bahkan, seakan menjadi eksistensi yang memenuhi aspek kultural, geososial-spiritual yang sudah sejak lama dipilih, diberdayakan potensinya dan dipilihkan manfaat serta peruntukannya.
Sebagai ilustrasi ringan untuk membedakan karakter dan realitasnya, sepanjang pantai “segara kidul” memang menghadap ke samudera luas dan lepas, sehingga sangat memungkinkan terjadinya ombak besar, tinggi dan sangat sering. Cirikhas dan karakter pantai seperti ini, jelas kurang diminati untuk membuka kegiatan ekonomi misalnya membangun pelabuhan niaga.
Sepanjang pantai selatan Pulau Jawa atau “segara kidul”, banyak berpagar gunung kapur dan karang panjang, tetapi juga disela oleh pantai yang landai yang dihiasi “gunung” dan hamparan pasir putih. Keberadaan alam pesisir selatan inilah yang ternyata menjadi pilihan para Raja dan pemimpin kraton mulai Majapahit atau sebelumnya, hingga Mataram.
Karena realitas alam itu pula, objek wisata panorama pantai yang indah banyak terdapat di pesisir selatan Pulau Jawa. Sekaligus sebagai pilihan utama para Raja-raja kraton di Jawa untuk menggelar upacara adat, khususnya keluarga Dinasti Mataram. Sejak Sinuhun Panembahan Senapati (Raja ke-1 Kraton Mataram), hingga Kraton Mataram Surakarta sekarang ini.
Paradigma “segara kidul” dari semula disebut sebagai tempat “wingit” karena menjadi wilayah “kekuasaan” Kanjeng Ratu Kencanasari, dan disakralkan karena menjadi tempat ritual spiritual religi/kebatinan kraton-kraton dan kelompok penghayat kepercayaan, kini berangsur-angsur berubah menjadi destinasi wisata, meskipun masih ada batas ritual religi.
Proses degradasi makna sakral yang membuka kelonggaran peruntukan atau fungsinya itu, tentu ada plus dan minusnya. Sisi positifnya masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai “segara kidul” semakin diuntungkan secara ekonomi oleh meningkatnya kunjungan wisatawan umum dan religi, negara/pemerintah lokal juga akan diuntungkan oleh peningkatan income.
Sisi positif berikutnya, tentu dinikmati oleh subjek pelaku dan pendukung upacara adat Labuhan di Pantai Parangkusuma “segara kidul” wilayah Bantul (DIY), yang selama ini hanya dikenal dilakukan Kraton Mataram Surakarta dan Kraton Jogja. Karena, ada perubahan strata adat atau tidak di dalamnya, kegiatan rekreatif (wisata) secara manusiawi pasti dibutuhkan.
Atas dasar beberapa fenomena perubahan itu, maka gelar ritual Labuhan di era baru “Bebadan Kabinet 2004”, Minggu (6/10) lalu, juga menjadi momentum untuk merubah cara pandang terhadap realita perubahan sikap masyarakat luas. Baik sebagai penikmat atau sekadar wisatawan penonton, maupun subjek pelaku atau pendukungnya seperti ekspresi Pakasa Cabang Kudus. (Won Poerwono-bersambung/i1)