Pakasa Cabang Kudus Telah Menunjukkan, Keris Masih Punya Fungsi dan Manfaat Penting
IMNEWS.ID – SEBUAH tim pawang hujan yang ditunjuk KRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Hadinagoro untuk mengatasi potensi hujan saat HUT ke-93 Pakasa, medio Desember lalu, sebenarnya menjalankan tugas dalam kesan yang “terpaksa” dilakukan. Tetapi di luar dugaan, hasil kerja keras tim itu mendapat apresiasi yang baik dari berbagai kalangan peserta.
Selain itu, ada beberapa sisi positif yang bisa berupa kesan, citra, anggapan dan keyakinan yang sama sekali tidak diperhitungkan kebanyakan dari sekitar 2.500 orang yang berkumpul saat itu. Mungkin juga, publik secara luas yang hanya bisa menyaksikan melalui berbagai platform medsos, atau warga sekitar Kota Surakarta yang mendengar ada event itu.
Hal yang sama sekali tidak pernah diperhitungkan itu, adalah penampilan tim pawang hujan yang notabene anggota keluarga besar Pakasa Cabang Kudus itu, secara tidak sengaja telah menunjukkan eksistensi keris dalam banyak makna dan manfaat. Keris yang sudah dikenal luas mendunia dan diakui Unesco itu, kini bukan sekadar benda seni Tosan Aji produk besalen.
Dalam kesempatan tampil mengikuti kirab HUT ke-93 Pakasa itu, tidak disadari banyak pihak telah diperlihatkan bagian penting tatacara ritual menjalankan tugas menahan dan mengalihkan potensi hujan. Melihat sebagian kronologi tatacaranya, mungkin ada yang beranggapan negatif, tetapi sebenarnya ritual yang bergerak itu jelas tidak mungkin disembunyikan.
Tatacara ritual yang harus dilakukan sambil berjalan atau “mobile” itu, karena tim pawang hujan yang bertugas, adalah warga Pakasa Cabang Kudus yang notabene bagian dari peserta kirab. Sementara, tugas menahan dan mengalihkan potensi hujan harus dilakukan sambil berjalan, karena potensi hujannya mengelilingi di atas rute kirab yang dilalui.
Oleh sebab itu, jadilah sebuah atraksi yang bisa disebut dengan berbagai istilah, mulai dari akrobat, atraksi ritual menolak hujan, hingga cara “wong” Jawa mewujudkan sikap spiritualnya memohon “kawilujengan” seluruh hajad lancar. Yaitu jalannya kirab budaya HUT ke-93 Pakasa yang terbas dari “hambatan” hujan, yang faktanya benar-benar dikabulkan, saat itu.
Sebagai ilustrasi, atraksi tim pawang hujan dari Pakasa Cabang Kudus yang sering mengacungkan keris “Pamor Singkir” di sepanjang rute kirab, Taman Sriwedari-Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Sabtu (14/12) itu, mengingatkan pada aksi seorang wanita pawang hujan, yang sedang meredakan guyuran hujan di arena balap motor dunia, Moto-GP di sirkuit Mandalika, 2023.
Aksi yang agak demonstratif yang dilakukan wanita bernama Wara itu, tidak membawa objek benda keris sebagai sarana doanya, melainkan semacam mangkok dari logam. Tetapi, tacara yang dilakukan dua pihak berbeda itu, tujuannya sama, yaitu menahan atau meredakan hujan. Jadi, nilai manfaat dan fungsi objek benda itu, yang menjadi pokok perhatian penting.
Maka, dalam fungsi dan manfaat seperti itu pula keris diperlihatkan Pakasa Cabang Kudus, letak sisi pokok pentingnya. Dalam konteks makna itu, KRA Panembahan Didik Gilingwesi bersama warga Pakasa Cabang Kudus yang dipimpinnya, telah menujukkan bahwa di Kabupaten Kudus masih ada besalen yang berproduksi, karena masih ada yang membutuhkan keris.
Kebutuhan keris di kalangan masyarakat Kudus seperti yang sering dilakukan KRA Panembahan Didik Gilingwesi, tidak hanya sebagai pelengkap busana adat Jawa, melainkan juga sebagai objek sarana doa memohon tidak hujan atau menahan dan mengalihkan potensi hujan. Itu berarti, dari sisi fungsi, masyarakat Kabupaten Kudus sudah mengoleksi dua jenis keris.
“Saya itu mungkin termasuk warga Kudus yang masih menyimpan pertanyaan atas dua kenyataan yang bertolak-belakang, tetapi muncul bersamaan. Yaitu, faktanya masyarakat Kudus sudah tidak begitu mengenal Budaya Jawa. Tetapi, ada pula fakta masih banyak warga di Kudus punya keris yang sering digunakan sebagai upacara spiritual mengalihkan hujan, misalnya”.
“Di Kudus ternyata masih banyak priyayi sepuh yang punya keris Pamor Singkir, yang khusus untuk menyingkirkan apa saja, terutama hal-hal jahat atau tidak baik. Kalau hujan hanya ditunda atau dialihkan, bukan disingkirkan. Karena hujan sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Yang punya keris itu, kebanyakan malah trah Sunan Kudus,” ujar KRA Panembahan Didik.
Dalam beberapa kesempatan percakapan dengan iMNews.id sampai siang tadi, KRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Hadinagoro banyak menuturkan hal-ikhwal keris yang dimilikinya dan dikenalnya dengan berbagai latar-belakang peristiwa dan sejarah. Oleh sebab itu, Ketua Pakasa Cabang itu bisa disebut bisa sebagai tokoh representasi “perkerisan” Kudus.
Walau Kabupaten Kudus punya masa lalu kebesarannya sebagai bagian Kraton Mataram Surakarta di satu sisi, juga berkembang banyaknya warga trah Sunan Kudus dan Sunan Muria sampai jauh menyebar luas ke luar Kudus di sisi lain, tetapi mengenal sosok KRA Panembahan Didik, bisa menjadi representasi sejarah eksistensi perkerisan di Kudus secara lengkap.
“Kudus memang Kota Santri, tetapi tidak meninggalkan ajaran-ajaran toleransi dari Sunan Kudus. Jadi, antara agama dan Budaya Jawa bisa hidup bersama. Bahkan, Sunan Kudus mengajarkan juga untuk menghormati agama Hindu. Contohnya, kalau Idhul Adha, yang disembelih dan dibagi-bagikan daging kerbau,” tutur pimpinan tiga Majlis Taklim itu. (Won Poerwono – bersambung/i1)