Keris Juga Menjadi Simbol Budaya, Koleksi Museum dan Materi Bawa-Rasa Tosan Aji
IMNEWS.ID – KERIS dan beberapa jenis karya seni kriya logam yang diproduksi Besalen Bendowangen milik “Empu Modern” Tumaji, Mayong, Jepara, memang sudah berubah fungsi, makna dan manfaat atau peruntukannya, kini bahkan kelak. Kalau di berbagai daerah kabupaten di eks wilayah “negara” Mataram Surakarta masih ada besalen, rata-rata juga sama posisinya.
Dia bukan lagi sebagai senjata atau alat perang atau bagian dari pertahanan/keamanan, melainkan sebagai Tosan Aji pusaka yang menjadi bagian dari busana adat Jawa atau “Jawi jangkep”. Dalam posisinya seperti itu, keris agak berbeda dengan beberapa jenis produk besalen yang tergolong Tosan Aji lainnya, misalnya tombak, kudi, cundrik dan pedang.
Karena beberapa jenis karya Tosan Aji selain keris itu, bukan menjadi bagian dari kelengkapan satu-kesatuan busana adat Jawa. Busana adat yang kini masih banyak dikenakan masyarakat etnik Jawa pada umumnya, terutama saat upacara pernikahan, jelas tidak serasi jika menambah kelengkapan cundrik, kudi, pedang atau bahkan tombak untuk busana adat yang dikenakan.
Keris adalah satu-satunya kelengkapan busana adat Jawa yang serasi dan ideal dikenakan kalangan masyarakat Jawa, dalam berbagai keperluan upacara. Meskipun, sebenarnya masih ada pemisahan untuk jenis keperluannya, yaitu antara keris jenis Ladrang atau Gayaman, apalagi ketika posisinya bagian masyarakat adat saat mengikuti upacara adat di dalam kraton.
Dalam posisi keperluan itulah, langsung atau tidak langsung, Empu Tumaji telah melakukan proses kerja kreatif untuk memproduksi keris Tosan Aji untuk melayani kalangan masyarakat yang membutuhkannya. Dengan sentuhan kreativitas dan inovasi, Empu muda yang hanya belajar otodidak ini, telah menghasilkan jenis karya seni kriya logam lain selain keris.
Beberapa jenis lain selain keris masih sering diproduksi Empu Tumaji, dan mungkin juga dilakukan sejumlah besalen lain. Seperti yang ada di ISI Surakarta, Palur (Karanganyar), Nusukan (Banjarsari-Surakarta), Kabupaten Malang (Jatim), Kudus, Ponorogo (Jatim), beberapa lokasi di DIY, Madura dan sebagainya, yang dibutuhkan di luar perlengkapan busana adat Jawa.
Kebutuhan di luar busana adat itu, posisinya menjadi agak bergeser yaitu menjadi barang seni, simbol budaya, koleksi pribadi atau museum dan keperluan edukasi yang sering membahasnya di forum “Bawa Rasa Tosan Aji” atau sarasehan. Faktor beberapa peruntukan terakhir inilah, yang sangat mendorong banyak besalen kembali berproduksi karya seni kriya logam.
Kalau di beberapa dekade keris dan berbagai jenis karya seni kriya logam sempat “tidak populer”, banyak warga Jawa menjadi “tidak suka” dan banyak besalen keris mati, itu karena beberapa alasan. Salah satunya adalah masuknya anasir negatif (intolerance), yang menempatkan semua jenis produk senjata tradisional itu barang musyrik, syirik dan bit’ah.
Sebagai ilustrasi, di awal tahun 2000 disebut kalangan anggota komunitas pecinta berbagai produk Tosan Aji, sebagai awal dekade “pelucutan” berbagai jenis senjata tradisional terutama keris. Sebuah organisasi kemasyarakatan yang semakin eksis di tengah masyarakat, mempelopori “pelucutan” melalui berbagai cara, karena dianggap memenuhi beberapa sebutan di atas.
Pelucutan yang dilakukan di kalangan keluarga anggota ormas dan di lingkungan terdekat dengan cara dibeli, dimaksudkan untuk menghindari perbuatan musyrik, syirik dan bit’ah. Tetapi sayang, upaya “pelucutan” yang sulit dibenarkan oleh alasan apapun itu, justru tercela oleh perbuatan oknum anggotanya karena menjual keris kategori bagus bernilai mahal.
Kini, karya Tosan Aji keris sudah berada di posisi mulia dalam Budaya Jawa dan kekayaan tak benda di Tanah Air yang membanggakan, karena diakui Unesco sebagai warisan heritage yang meliputi dua unsur sekaligus, yaitu tangible dan intangible. Karenanya, di Kota Surakarta juga lahir Museum Keris yang mengkoleksi berbagai jenis karya seni kriya logam.
Konon, keris Kiai Nagasasra (Sabuk Inten) seperti yang dilukiskan Mahesa Jenar dalam drama ketoprak, menjadi bagian dari sejumlah aset koleksi Kraton Mataram Surakarta yang hendak dikembalikan pemerintah Belanda ke Indonesia. Entah bagaimana prosesnya, sejumlah aset itu bisa berada di Museum Leiden, Belanda dan disebut akan dikembalikan di zaman Presiden SBY.
Keris Kiai Nagasasra yang konon jumlahnya dua buah dan salah satunya dikembalikan ke Indonesia itu, disebut juga ikut menghuni Museum Keris di Kota Surakarta di zaman Presiden Jokowi. Keris dan semua prodik karya seni kriya logam yang masuk kategori Tosan Aji, menjadi barang sangat berharga di museum dan bahan penelitian di kalangan dunia pendidikan.
Karena penghargaan terhadap karya metalurgi yang sudah diawali peradaban Jawa di abad 14 itulah, maka banyak museum dan kolektor Tosan Aji bermunculan di mana, di dalam dan luar negeri, bersamaan aktifnya kembali kalangan besalen. KP Bambang S Adiningrat (Ketua Pakasa Cabang Jepara), adalah seorang pecinta Tosan Aji yang bercita-cita memiliki museum pribadi.
Tak hanya komunitas pecinta keris bermunculan di berbagai kota, forum-forum ilmiah juga selalu digelar di berbagai kesempatan. Misalnya di seminar yang menyertai pameran dan bursa keris di event “Grebeg Sur” di Ponorogo, yang bertujuan untuk menggali misteri lebih banyak tentang keris, sosialisasi dan edukasi tentang kekayaan budaya bangsa Indonesia itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)