Logika yang Jungkir-Balik, Bisa Sesatkan Publik dan Cermin Rendahnya Standar Etika
IMNEWS.ID – PROSES “perdamaian” yang terus berjalan sejak kali pertama dicapai antara Sinuhun PB XIII dengan adik kandungnya, GKR Wandansari Koes Moertiyah pada 3 Januari 2023, hingga kini sudah menginjak 9 bulan. Tetapi hasil dari upaya persesuaian langkah, membangun hubungan ikatan kekeluargaan, hubungan ikatan kerja baik dalam hirarki struktural maupun sebuah tim kerja adat, tampaknya justru semakim sulit diwujudkan. Arah perkembangannya justru terjadi penguatan eksistensi lembaga “bayang-bayang” tak berbentuk di seberang, sementara di seberang lain tampak direpotkan eksistensi maupun kinerja kelembagaannya.
Beberapa peristiwa adat yang sudha berjalan selama itu, bisa diidentifikasi sebagai simbol-simbol bagaimana proses “perdamaian” itu berlangsung dan apa hasilnya. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, simbol-simbol hasil proses “perdamaian” itu sudah tersaji yang rata-rata memberi kesan kurang menggembirakan, bahkan ada kecenderungan negatif seperti disebut di atas. Simbol-simbol proses “perdamaian” yang bisa diidentifikasi dan memberi kesan kegagalan proses “perdamaian” dalam struktur hirarki ke bawah dan ke samping, muncul dalam bentuk kesalahan dalan “public speaking” melalui media baliho dan sejenisnya.
Dalam seri tulisan sebelumnya (iMNews.id, 17/9/2023), proses “perdamian” yang “semu” itu melahirkan analisis menjadi cara lain untuk “membusukkan” nama baik keluarga besar “garwa-dalem” (Sinuhun PB XII) Pradapaningrum, selain beberapa cara yang “dihalalkan untuk dilakukan” agar tujuan dan misinya tercapai. Di sisi lain, kesalahan fatal dalam cara-caranya melakukan komunikasi publik dalam merangkai kata pesan atau message di dalamnya, terlepas ada unsur kesengajaan atau tidak, justru bisa menunjukkan bahwa siapa saja yang hendak menyampaikan pesan tersebut punya kualitas penalaran yang rendah dan standar etika yang rendah pula.
Antara kualitas penalaran yang rendah dengan standar etika yang rendah, bahkan menjadi rangkaian urutan atau kausalitas untuk kasus kesalahan baliho publikasi setiap upacara adat yang dipasang Kraton Mataram Surakarta, setidaknya selama 2017-2022. Bahkan, kesalahan fatal yang sama yang diulang di awal pelaksanaan Sekaten Garebeg Mulud 2023 ini, sempat ditegur Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah) selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, dan kemudian diralat. Ada tiga titik baliho yang selalu muncul saat ada upacara adat di kraton selama 2017-2022 dan direvisi di tahun 2023 ini, yang bisa dibaca dan dimaknai dengan dua penggambaran di atas.
Lokasinya terlatak di pojok taman dekat Gapura pintu masuk dari arah utara atau sekitar perempatan Gladag, di ujung timur halaman Kamandungan dan di dekat pagar kompleks Sitinggil Kidul kawasan Alun-alun Kidul. Analisis yang memunculkan dua penggambaran yang tampak dari cara-caranya melakukan “Public Speaking” itu, yaitu karena kualitas penalarannya rendah, maka melahirkan standar etika yang rendah. Mengapa ini terjadi dalam waktu cukup lama yaitu sejak 2017 hingga 2022?, bahkan masih diulang di tahun 2023 dan baru terjadi perubahan/direvisi/dibetulkan setelah ditegur Gusti Moeng?.
Pertanyaan itu yang akan menuntun publik untuk mendapat jawaban, bahwa sebenarnya berbagai gambaran, sinyal, selama lima tahun lebih itu, karena selama itu Sinuhun PB XIII bersama “pihak seberang” yang selama itu “memanfaatkan kelemahannya”, tidak menyadari bahwa mereka telah “koncatan” (kehilangan-Red) “wahyu kawaskithan” atau “wahyu kalantipan”. Dan peristiwa demi peristiwa yang terjadi selama itu, khususnya sampai berlangsung “hajad-dalem Garebeg Mulud Sekaten 2020 pada “perdana” di tahun “perdamaian”, semakin menampakkan “dua pihak” yang “berseberangan” itu.
“Pihak di seberang yang satu” begitu kelihatan selalu berjalan dengan tuntunan “wahyu kawaskithan” dan “wahyu kalantipan” bahkan “wahyu-wahyu” yang lain, sementara “pihak di seberang lain” bergerak lepas dan liar karena sudah “koncatan” atau kehialangan atau tidak dituntun kedua wahyu tersebut. Analisis berikut bahkan menyebutkan, yang tertinggal di “seberang lain” itu bukan “wahyu”, melainkan “sawan”, yaitu “sawan ampyak awur-awur”, “sawan jarah-rayah”, “sawan seler” dan “sawan aji mumpung”, yang semuanya lekat dengan konotasi negatif yang melukiskan rendahnya standar etika yang dimiliki.
Proses perjalanan “perdamaian” yang begitu alot, keras dan sulit yang menunjukkan perkembangan negatif selama 9 bulan ini, ternyata di dalamnya terjadi “pertarungan” antara “wahyu kawaskithan”, “wahyu kalantipan” dan segala bentuk “wahyu” yang positif melawan segala bentuk “sawan” atau anasir negatif yang berakumulasi dalam kekuatan besar. Di “seberang” sana ada tokoh-tokoh dari keluarga besar Pradapaningrum, tetapi di antara mereka banyak yang sedang “kesambet sawan” itu, tetapi Sinuhun PB XIII patut diduga tak memahami adanya “sawan” dan “pertarungan” itu, karena sedang menderita “gagal paham akut”.
“Pertarungan” antar pihak di dua seberang, sebenarnya sudah terjadi sejak 2004, atau bahkan jauh sebelum itu, bila mencermati dari penuturan GKR Galuh Kencana (almh), dalam percakapan santai dengan iMNews.id saat masih aktif di harian Suara Merdeka di sekitar tahun 2016, yang sampai melahirkan terminologi “Mrucut saka gendhongan, luput saka kekudangan”. “Pertarungan” antar kelompok keluarga yang lahir dari persaingan dalam proses suksesi tahta Sinuhun PB XI, Sinuhun PB XII, Sinuhun PB XIII misalnya, bahkan bisa sampai menggunakan cara-cara yang sulit bisa diterima akal sehat.
Kalau kini ada logika jungkir-balik dalam bahasa komunikasi di baliho publikasi yang bisa menyesatkan publik dan terkesan hasil skenario yang “cerdas”, dulu lebih “ngeri” lagi, karena tak hanya ditempuh cara-cara yang lazim dan wajar, tetapi tega menggunakan cara-cara “hitam” yang tak lazim, kasar, culas, “julig” dan semua yang masuk katagori standar etika rendah. Namun, banyak fakta peristiwa “duka” yang sudah lewat beberapa waktu di kraton, patut diduga cara-cara “black campaign” yang serba kasar dengan tujuan dan misi “memecah-belah” dan “membusukkan” keluarga besar Pradapaningrum itu tetap digunakan. (Won Poerwono-habis/i1).