Memuliakan Bangsa dan NKRI yang Telah Memuliakan Sang Dwi Warna Gula-Klapa
IMNEWS.ID – TERJADINYA peristiwa upacara bendera peringatan hari Sumpah Pemuda di halaman kamandungan Kraton Mataram Surakarta, secara langsung atau tidak tentu memberi sinyal dalam berbagai kadar kekuatan kepada banyak pihak. Karena, peristiwa Senin pagi tepat 28 Oktober 2024 itu, mengerahkan berbagai elemen terutama masyarakat adat internal kraton.
Kadar kekuatan sinyal yang dipancarkan dari upacara itu, bisa sekadar peristiwa visual manis penuh estetika yang memanjakan mata, baik langsung atau melalui berbagai media mainstream. Atau sekadar sindiran kepada berbagai pihak agar menggugah memori kolektif seluas-luasnya dalam skala bangsa, atau teguran keras bagi pihak-pihak yang bertanggungjawab.
Sinyal yang dipancarkan dalam berbagai kadar kekuatan itu, pada intinya punya satu terget misi yaitu menggugah memori kolektif berbagai pihak yang bisa sampai level/skala bangsa. Tetapi secara khusus, sinyal itu bisa dirasakan pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab mengenai esensi “proses terjadinya” Sumpah Pemuda, bukan sekadar hasil akhirnya.
Di dalam esensi proses terciptanya peristiwa Sumpah Pemuda itu, tentu ada konteks waktu, ruang zaman, konteks otoritas yang berwenang dan para tokohnya serta karya apa saja yang diciptakan selama proses berlangsung hingga terwujudnya Sumpah Pemuda. Dalam esensi inilah, sinyal upacara peringatan Sumpah Pemuda dipancarkan Kraton Mataram Surakarta.
Bahwa kraton memperlakukan Sang Dwi Warna Gula-Klapa sebagai simbol “negara” Mataram Surakarta selain simbol “Surya Mataram”, karena sudah terbukti bisa menjadi sumber kekuatan hingga kraton atau “negara monarki” itu berusia 200 tahun (1745-1945). Simbol Merah-Putih itu pula yang telah menjadi sumber kekuatan Kraton Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram.
Selama sekitar 3 abad dari abad 14, Kraton Majapahit, Kraton Demak, Kraton Pajang hingga Kraton Mataram kali pertama didirikan Sinuhun Panembahan Senapati, memiliki sumber kekuatan spiritual dari panji-panji dan umbul-umbul Sang Dwi Warana Gula-Klapa. Bahkan, Sinuhun Prabu Hanyakrawati dan Sinuhun Sultan Agung meyakini simbol itu untuk dilestarikan.
Setelah Kraton Mataram dipindah Sinuhun Amangkurat Agung dari Ibu Kota lama di Plered ke Ibu Kota baru di Kartasura sekitar tahun 1645 (M), sumber kekuatan spiritual Sang Dwi Warna Gula-Klapa semakin dirasakan sebagai spirit memperkokoh identitas “bangsa” (Jawa) dan “negara monarki” (Mataram Surakarta). Sinuhun PB II menjadi tokoh sentral paling berperan.
Oleh sebab itu, peristiwa peringatan hari Sumpah Pemuda yang digelar Kraton Mataram Surakarta atas inisiasi dan dukungan penuh jajaran “Bebadab Kabinet 2004”, sudah selayaknya menggugah memori kolektif publik. Yaitu tentang ketokohan para Raja yang berestafet “memuliakan Gula-Klapa”, yang diwariskan Kraton Majapahit kepada generasi Raja/kraton penerusnya.
Dalam rangka “memuliakan” warisan sejarah yang telah menjadi pusaka Kraton Mataram Surakarta dan diteruskan bangsa dalam wadah NKRI selama 79 tahun ini, maka sebagai salah seorang pemimpin di kraton, Gusti Moeng memperlakukan sesuai tatacara adat kraton ketika menerima estafet kirab Sang Dwi Warna Gula Klapa atau Sang Saka Merah-Putih, Minggu (27/10) lalu.
Dalam format upacara bendera, peringatan 28 Oktober digelar kraton, tentu juga dilakukan segenap rakyat Indonesia dalam berbagai kelembagaan, secara serentak. Karena, Senin Pon, 25 Bakda Mulud/Rabiulakhir tahun Je 1958/1446 H itu, tepat tanggal lahir Sumpah Pemuda pada tahun 1928, sebuah peristiwa bersejarah saat Sinuhun PB X jumeneng nata (1893-1939).
Walau format upacara secara protokoler sudah menjadi kesepakatan secara nasional, tetapi tetap saja menarik, luar biasa dan menampilkan hal berbeda ketika diinisiasi dan digelar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Karena, di antara berbagai elemen dari dalam dan luar kraton, pesertanya menampilkan pesona keindahan yang khas simbolik kraton.
Lihat saja bagaimana penampilan Gusti Moeng yang notabene wanita pemimpin masyarakat adat yang selalu tampil dengan identitas adat kraton ikonik Budaya Jawa. Dengan busana adatnya, dia tampil menjadi inspektur upacara, yang tak canggung memberi hormat saat KRAT Alex Pradnjana Wirayudo selaku “manggala” (komandan) upacara meneriakkan hormat bendera.
Para peserta upacara, memang datang dari berbagai elemen yang menggunakan seragam khasnya, misalnya seperti kalangan pelajar sekolah SD hingga SMK dan Korsik TNI AD Korem 074 Warastratama. Tetapi, beberapa peserta lain seperti kalangan sentana dan abdi-dalem, organisasi Putri Narpa Wandawa dan para prajurit kraton, jelas kostumnya adat Mataram Surakarta.
Kombinasi warna-warni identitas sentana-dalem, abdi-dalem, Putri Narpa Wandawa dan sembilan Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta, tentu sangat membedakan dengan upacara serupa di luar kraton/tempat lain. Bahkan, Komunitas Mataram Jaya Binangun mitra kegiatan bentang merah-putih itu, juga mengeluarkan barisan peserta yang mengenakan kostum adat. (Won Poerwono – bersambung/i1)