Ini yang Terjadi. Pelestarian Budaya (Jawa) Sedang Menghadapi Tantangan Serius (2-habis)

  • Post author:
  • Post published:November 21, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Ada Solusi dan Tetap Bergerak Dalam Dinamika Luar Biasa

IMNEWS.ID – SPONTANITAS KPH Raditya Lintang Sasangka selaku Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Surakarta mengajak semua yang hadir dalam upacara wisuda purnawiyata siswa sanggar babaran (angkatan) 37 di ndalem Kayonan, Baluwarti, untuk bersama-sama ‘’nggerong’’ (menyanyi) gending (lagu) Jawa, Rabu malam (17/11) itu, memang tak menimbulkan reaksi apapun dari sekitar 70-an orang yang hadir malam itu (iMNews.id, 18/11).

Begitu KPH Lintang meminta karawitan iringan secara live menyuguhkan gending ‘’Santi Mulya’’ dan mengajak semua yang hadir ikut ‘’nggerong’’, langsung saja koor panembrama menyanyikan gending Ladrang Santi Mulya PL 5 ciptaan Ki Nartosabdo malam itu menggema memenuhi ruang pendapa ndalem Kayonan yang termasuk berukuran kecil itu. Saat itu, seakan-akan suasana hujan deras bercampur angin yang sedang mengguyur Kota Solo, ‘’dilawan’’ dengan suara panembrama gending yang disebut KPH Lintang sebagai gending permohonan dan harapan yang bernuansa spiritual religi, spiritual kebatinan, namun juga punya unsur menggugah semangat nasionalisme.

Terlebih, KPH Lintang menyambung gending ‘’Santi Mulya’’ itu dengan gending kedua berjudul ‘’Ketawang Barikan’’ PL 5 (ciptaan Cipto Suwarso), yang disebutnya sebagai gending pandonga atau doa dalam bentuk tembang Jawa. ‘’Cakepan’’ (syair) gending yang berbunyi ‘’Rahayua…rahayua salaminira……..; binarung gangsa angrangin…..; bareng babaring barikan……; sarat sirnaning sesakit…..’’, menjadi bagian sikap ‘’pandonga panyuwunan’’ yang dimaksudkan agar pandemi Corona yang sudah melanda selama dua tahun, cukup sampai di sini saja atau (segera) berakhir.

BERFOTO BERSAMA : Gusti Moeng selaku Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta dan KPH Raditya Lintang Sasangka selaku Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara, berfoto bersama dengan para wisudawan purnawiyata siswa sanggar di ndalem Kayonan, Baluwarti, Rabu malam (17/11). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mendengar alunan dua judul gending Jawa malam itu, seakan-akan semua berada dalam suasana berjuang melawan dinginnya suasana hujan. Namun ketika disebutkan narasi permohonan agar pandemi Corona segera reda, tentu arahnya adalam berjuang untuk menghadapi pandemi sesuai aturan yang berlaku dalam kehidupan nyata saat ini, sekaligus sebagai bentuk keprihatinan semua yang sedang bergelut dalam upaya pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari Keraton Mataram Surakarta, yang kini sedang menghadapi tantang besar.

Berlangsungnya upacara wisuda purnawiyata 43 siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara babaran 37, yang berlangsung di ruang pendapa ukuran kecil di ndalem Kayonan, terlebih dalam suasana hujan deras bercampur angin malam itu, tentu menjadi bagian dari cara bertahan masyarakat adat secara umum maupun secara khusus yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta yang diketuai Gusti Moeng, menghadapi tantang berat dalam upaya pelestarian seni budaya.

Karena kegiatan belajar-mengajar sanggar yang didirikan Yayasan Pawiyatan Kabudayan tahun 1993 itu, sejak 2017 hingga kini terpaksa ‘’menumpang’’ di kediaman GKR Ayu Koes Indriyah, yaitu ndalem Kayonan, Baluwarti. Sejak itu, kegiatan belajar-mengajar tidak lagi bisa memanfaatkan habitat aslinya di Bangsal Marcukunda dan Bangsal Smarakata, hingga sanggar kursus budaya Jawa itu diberi nama ‘’Sanggar Marcukunda’’.

BERSAMA WISUDAWAN : KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang ikut menyaksikan upacara wisuda purnawiyata siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara di ndalem Kayonan, Baluwarti, Rabu malam (17/11), berfoto bersama para wisudawan seusai menyampaikan ucapan selamat.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Melihat satu sisi kegiatan yang hingga kini tetap diminati masyarakat secara luas itu, dari satu sisi memang bisa disebut sedang menghadapi tantangan berat, atau juga bisa disebut, akibat keraton ditutup (sejak 2017), ada ancaman yang serius terhadap upaya pelestarian seni budaya (Jawa/Mataram). Namun di sisi lain, perjalanan kegiatan yang terus bergerak dalam dinamika yang luar-biasa itu, sekaligus bisa disebut tetap eksis, tetap mendapatkan solusi, dan selalu mendapatkan jalan untuk orang-orang yang akan berbuat ‘’kebajikan’’ untuk ‘’kemaslahatan’’ publik secara luas.

Liku-liku perjalanan seperti ini, tentu disimak banyak pihak, termasuk KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang mengaku ikut prihatin dengan situasi dan kondisi yang terjadi saat ini. Namun sebagai pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual kebatinan, dia hanya bisa berdoa memohon kepada Allah SWT agar memberi kekuatan, kesabaran dan jalan terbaik untuk semua itu, selain hadir di tengah-tengah setiap kegiatan, untuk memberi dorongan moral kepada siapapun yang terlibat.

‘’Bagaimanapun, saya tetap bersimpati kepada semua yang ikut berjuang dalam upaya pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari Keraton Mataram Surakarta. Tetapi saya hanya bisa berdoa dan ikut memberi dorongan moral, seperti saat pentas di ndalem Djojokoesoeman dan wisuda purnawiyata di ndalem Kayonan,’’ ujar KRT Hendri Rosyad.

BERSAMA PUTRA MAHKOTA : KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang ikut menyaksikan upacara wisuda purnawiyata siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara di di ndalem Kayonan, Baluwarti, Rabu malam (17/11), sempat bersilaturahmi dengan putra mahkota KGPH Mangkubumi yang juga diminta mengalungkan samir kepada para wisudawan.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Keprihatinan Gusti Moeng bersama LDA yang dipimpin terhadap beratnya upaya pelestarian seni budaya (Jawa/Mataram) terlebih di ‘’kandang’’ sendiri, mungkin saja menjadi keprihatinan pihak-pihak lain. Begitu juga dirasakan KPH Raditya Lintang Sasangka, yang selama ini mengikuti jejak Gusti Moeng berjuang di luar keraton, yang sering tampak tak bisa menutupi kesedihannya saat berada ditengah-tengah kegiatan, seperti upacara wisuda purnawiyata siswa sanggar, Rabu malam (17/11) itu.

Meskipun, bagi dosen pascasarjana FEB UNS ini, keprihatinan bersama menghadapi tantangan berat dalam upaya pelestarian seni budaya (Jawa/Mataram) ini, harus merubah strategi ‘’perjuangannya’’ dengan politik kebudayaan. Karena dengan cara ini, esensi perjuangan dan yang diperjuangkan lebih mudah didapat, serta lebih mudah dipahami/dimaklumi publik.

‘’Secara khusus, saya ingin banyak melakukan gerakan-gerakan yang lebih spesifik tetapi bisa dilakukan bersama-sama dengan mudah, di mana saja dan kapan saja. Contohnya, ya menggugah kesadaran dengan ‘nggerong’ bersama itu. Sambil mengenalkan kembali, bahwa wong Jawa itu bisa setiap saat melakukan sikap spiritual religi alias berdoa. Tetapi hal-hal kecil yang bermakna dalam kehidupan seperti itu, sudah lama kita lupakan. Padahal, kita bisa mengajak keluarga, kerabat dan teman-teman melakukannya sambil berkesenian,’’ jelas ketua sanggar berama kecil Drs Bambang Irawan MSi itu menunjukkan. (Won Poerwono-habis)