Ada Sinyal Menggelisahkan Bagi Masyarakat Adat dalam Menjalankan Kewajibannya
IMNEWS.ID – UPACARA adat Sesaji Mahesa Lawung seperti yang digelar Bebadan Kabinet 2004, 31 Oktober 2024 lalu, sudah jelas memiliki kaitan dengan berbagai peristiwa sejarah penting bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta dan bagi publik secara luas, terutama bangsa dan NKRI ini. Karena, rangkaian peristiwa itu menunjukkan perjalanan sejarah bangsa.
Tak hanya sejarah berdirinya “negara” (monarki) Mataram Surakarta yang sudah berlangsung 200 tahun (1745-1945), tetapi juga menunjukkan sejarah lahirnya Kota Surakarta yang sekaligus menggantikan nama Desa Sala pada 17 Sura tahun Je 1670 atau 24 Februari 1745. Rangkaian sejarah itu juga menunjukkan, bahwa di utara Kota Surakarta ada hutan Krendawahana.
Hutan lindung yang kurang lebih tinggal sekitar dua hektare di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar itu memberi penjelasan kepada para pelestari adat dan Budaya Jawa serta masyarakat luas, bahwa lokasi itu menjadi batas spiritual Kraton Mataram Surakarta di sisi utara yang dikenal dengan lokasi yang ditunggu Dewi Kalayuwati.
Data dan fakta sejarah itu juga menunjuk bagian lain yang menjadi rangkaiannya, bahwa Kraton Mataram Surakarta punya batas spiritual di sisi timur (Sunan Lawu), sisi barat di Gunung Merapi (Ratu Sekar Kedhaton) dan sisi selatan di “segara kidul” (Kangjeng Ratu Kencanasari). Tetapi, rangkaian sejarah Sesaji Mahesa Lawung, terbentang jauh sejak abad 14.
Rangkaian sejarah berikutnya, juga menyangkut eksistensi Kabupaten Ponorogo, keberadaan kerbau liar (Mahesa Lawung) dan pusaka-dalem mahesa Kiai Slamet yang dipersembahkan Bupati R Adipati Surabrata kepada Sinuhun PB II. Dalam rangkaian sejarah ini, Sinuhun PB II bukan hanya seorang penggagas pindahnya kraton, tetapi juga seorang “Bapak Pendiri Negara”.
Yang digagas bukan sekadar desain susunan tata ruang infra struktur Ibu Kota “negara” Mataram Surakarta, tetapi sudah mewujudkannya secara nyata, dan sebagian sisa tata ruang infrastruktur Ibu Kota itu masih bisa kita saksikan sekarang ini, atau 279 tahun sejak Surakarta Hadiningrat dideklarasikan berdirinya pada 20 Februari 1745.
Di dalam rangkaian sejarah itu, juga bertaut nama upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, yang ternyata sudah pernah diperbarui oleh Sinuhun PB II (1727-1749) yang mengadaptasi ritual itu dari aslinya bernama “Wilujengan Nagari Sesaji Raja Wedha”. Nama asli itu tentu menjadi tema/nama ritual para pendahulunya sejak Kraton Demak abad 15.
Akan masih banyak informasi data dan fakta sejarah dalam rangkaian proses perjalanan yang rasional, bila dieksplorasi lebih jauh dan lebih dalam di tiap-tiap periode peradaban sejak dulu hingga kini. Karena jelas tidak bisa dipungkiri, informasi data dan fakta sejarah itu berkait dengan keberadaan NKRI dan berbagai simbol serta cirikhas asetnya.
Rangkaian proses perjalanan yang rasional itu, tentu termasuk peristiwa tokoh penting dan karyanya yang tercatat menjadi informasi data dan fakta sejarah. Misalnya Sinuhun PB III (1749-1788), “Bapak Perdamaian” (Dr Purwadi) yang melanjutkan mengeksekusi gagasan dan pemikiran ayahandanya, agar masterplan tata ruang Surakarta sebagai Ibu Kota Mataram tuntas.
Tokoh Sinuhun PB IV (1788-1820) dan penerusnya, Sinuhun PB V (1820-1823), adalah dua generasi tokoh yang banyak berkarya menuntaskan dan mengisi jalannya peradaban Kraton Mataram Surakarta pada era masing-masing. Pada masa dua tokoh inilah, banyak dihasilkan karya-karya gendhing termasuk melengkapi gendhing gamelan Sekaten, gamelan dan mendirikan masjid.
Pada masa dua tokoh generasi Raja Mataram Surakarta itulah, banyak dihasilkan karya-karya sastra yang berisi spiritual religi termasuk Serat Centhini, Serat Wulangreh dan “Kur’an Jawa”. Karya penulisan (manuskrip) tentang seni, budaya, spiritual religi, pengetahuan kehidupan dan banyak lagi dihasilkan, karena saat itu ada Pujangga Ranggawarsita.
Pada era Sinuhun PB VI (1823-1830), “negara” Mataram Surakarta mulai banyak menghadapi perubahan sosial akibat pengaruh Eropa yang dibawa para pedagang terutama VOC. Pergolakan di wilayah Kraton Jogja yang dilakukan Pangeran Diponegoro, membuat Sinuhun PB VI ikut dibuang dan ditembak kepalanya karena memang “membiayai” gerakan perlawanan Diponegoro.
Peran Sinuhun PB VI di balik gerakan Pangeran Diponegoro, juga bisa dirunut di hutan Krendawahana, lokasi ritual Mahesa Lawung. Karena, lokasi itu disebut ada beberapa batu besar yang pernah menjadi tempat duduk dua tokoh itu dan lainnya ketika bertemu mengatur strategi perang. Dalam rangkaian itulah jejak Sinuhun PB VI ditemukan di Selo, Boyolali.
Ketika berbicara soal Sinuhun PB VI di Boyolali, di sinilah sikap responsif masyarakat dan Pemkab Boyolali patut dipuji dan diteladani. Pemkab dan masyarakatnya menjadi pelopor yang mau peduli dan menghormati ketokohan Raja Mataram Surakarta ini, hingga di lokasi objek wisata itu dibangun patung PB VI dan jalan raya di situ dinamakan “Simpang PB VI”.
Di eks wilayah kedaulatan “negara” Mataram Surakarta yang luasnya dua-pertiga Pulau Jawa ini, mungkin baru Pemkab dan masyarakat Boyolali yang jujur, peduli dan menghormati. Lainnya, tidak ramah, bahkan memusuhi. Contohnya, Pemkot Surakarta di “ujung hidung” Mataram Surakarta, sering datang tetapi “mengadu-domba” dan memberi sinyal menggelisahkan. (Won Poerwono – habis/i1)