Identik Tokoh Sinuhun PB II, Berkait dengan Kabupaten Ponorogo, Juga Identik Kerbau Liar
IMNEWS.ID – BERBICARA soal “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, kalau ditarik ke belakang harus melihat 200 tahun peradaban Kraton Mataram Surakarta (1745-19), Kraton Pajang (1550-1587) dan Kraton Demak (1478-1549). Tetapi, tatacara ritual yang mulai digelar Raja Kraton Demak Sultan Syah Alam Akbar, jelas banyak berasal dari Kraton Majapahit (abad 14).
Dari berbagai data sejarah termasuk karya-karya kajian dan penulisan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat/Jogja), perubahan besar peradaban Mataram Islam terjadi pada sejak Sinuhun Paku Buwana II masih bertahta di Kraton Mataram di Ibu Kota Kartasura (1727-1749). Pada saat itulah ritual “Wilujengan Nagari Sesaji Raja Wedha” dirubah “Sesaji Mahesa Lawung”.
Karena gelar “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” identik dengan nama tokoh Sinuhun PB II, maka tentu saja sekaligus identik dengan peristiwa lahirnya nama “negara” Mataram Surakarta atau nama Ibu Kota Surakarta Hadiningrat, pada 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. Saat itulah, nama Desa Sala dihapus dan diganti nama Kota Surakarta Hadiningrat.
Karena berbicara Sesaji Mahesa lawung berarti berbicara tentang Sinuhun PB II dan lahirnya “negara” Mataram Surakarta sekaligus Kota Surakarta, maka tentu saja tidak bisa mengesampingkan fakta tentang (Kabupaten) Ponorogo. Karena, nama “Mahesa Lawung” berarti kerbau liar atau disebut “umbaran”, yang dipenggal kepalanya untuk korban sesaji upacara itu.
Keterkaitan (Kabupaten) Ponorogo ketika berbicara Sinuhun PB II dan lahirnya “negara” Mataram Surakarta, karena sebelum membangun insfrastruktur Ibu Kota Mataram Islam di Surakarta, Sinuhun PB II terlebih dulu melakukan studi secara menyeluruh beradasar berbagai pengetahuan yang dilakukan sekitar tujuh tahun di (Kabupaten) Ponorogo sebelum tahun 1745.
Karena lumayan lama “berkantor” untuk menyusun strategi dan masterplan Ibu Kota baru Mataram Surakarta itu, Sinuhun PB II jelas banyak bergaul dengan masyarakat Ponorogo. Bahkan sempat “besanan” dengan pimpinan Pondok Tegalsari Gebang Tinatar, Kyai Muhammad Khasan Besari, yang kemudian banyak membantu merebut kembali Kartasura dan pindah ke Surakarta.
Di saat “boyong kedhaton” dari Ibu Kota lama Kartasura ke Ibu Kota baru Surakarta itulah, Sinuhun PB II dibekali sepasang mahesa bule oleh Bupati Ponorogo Adipati Surabrata. Sepasang mahesa bule itu bahkan mulai digunakan Sinuhun PB II sebagai “pusaka-dalem” saat arak-arakan proses “boyong kedhaton” mulai 14 Sura 1670 atau 17 Februari 1745.
“Tetapi, yang disembelih untuk sesaji Mahesa Lawung bukan keturunan yang pisungsung Bupati Ponorogo yang kemudian dibawa dalam boyong kedhaton dari Kartasura. Tetapi, untuk saat sekarang ya membeli dari masyarakat. ‘Kan banyak sekali. Yang sudah menjadi pusaka-dalem itu, turun-temurun sampai sekarang seperti yang ada di Alun-alun Kidul,” ujar Gusti Moeng.
Penjelasan Gusti Moeng dalam berbagai kesempatan wawancara dengan iMNews.id itu, sekaligus atau secara tidak langsung juga menjelaskan riwayat lahirnya upacara adat yang dibacakan KP Puspitodiningrat (Sekretaris Sasana Wilapa) saat ritual Mahesa lawung berlangsung di hutan Krendawahana, Kabupaten Karanganyar, belum lama ini (iMNews.id, 31/10).
“Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” yang dilakukan Sinuhun PB II di hutan Krendawahana, adalah upacara memohon keselamatan untuk Kraton Mataram Surakarta dan seisinya, begitu pula bagi bangsa dan NKRI. Sesaji yang ditanam berupa kepala kerbau dan berbagai bagian yang tak berguna bagi manusia, juga ikut dipendam/dibuang di situ.
Tetapi, ada semangat untuk menjaga keseimbangan alam dari ritual Sesaji Mahesa Lawung ini, yaitu melepas-liarkan berbagai jenis binatang yang menjadi mata-rantai predator secara alami, seperti ular dan burung pemakan hama/serangga. Catatan abdi-dalem juru-suranata KRT Handi Paningrat soal ritual Mahesa Lawung, sangat komit soal keseimbangan alam.
Ritual “Sesaji Mahesa Lawung” adalah bagian dari kegiatan adat untuk menjaga keseimbangan alam dan memelihara kekuatan spiritual kebatinan dan religi atas empat lokasi atau penjuru batas Kraton Mataram Surakarta secara spiritual. Karena, di batas utara itu ada simbol Dewi Kalayuwati, sedangkan di batas timur ada Sunan Lawu yang ritualnya tiap bulan Sura.
Batas spiritual kraton bagian barat adalah Gunung Merapi yang selalu dipelihara dengan ritual labuhan ke kawah Merapi tiap bulan Sura, karena di sana ada simbol Dewi Sekar Kedhaton. Sedangkan batas selatan adalah “segara kidul” yang dijaga Kangjeng Ratu Kencanasari yang punya panglima bernama Nyai Rara Kidul, yang sering dikunungi saat ritual Labuhan.
“Berbagai pemikiran soal menjaga keseimbangan alam dan keseimbangan peradaban dalam kehidupan, sampai nyata dalam kehidupan bernegara, sudah mulai dipikirkan secara lengkap oleh Sinuhun PB II. Karena beliau banyak belajar ke luar negeri, baik di Eropa maupun di Mesir dan Turki. Beliau banyak mempraktekkan soal teknologi dan pemerintahan eksekutif”.
“Pengetahuan teknologi dan pemerintahan, mulai dipraktekkan Sinuhun PB II ketika membangun infrastruktur Ibu Kota baru dan menjalankan pemerintahan Mataram Islam Surakarta. Berbagai potensi ekonomi makro hingga mikro, banyak yang dipraktikkan. Sebagian langsung dieksekusi, sebagian besar sisanya diekskusi penerusnya, Sinuhun PB III,” ujar Dr Purwadi. (Won Poerwono – bersambung/i1)