Anggapan Sesat Kalau Punya Pangkat dan Gelar, Merasa Sudah Melestarikan Budaya Jawa
IMNEWS.ID – MENCERMATI perjalanan lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara yang bisa bertahan sampai 31 tahun hingga kini dalam situasi dan kondisi memprihatinkan, rasanya sudah tidak mungkin sampai hati memberi beban tambahan selain yang sudah begitu berat dipikul. Karenanya, tak berlebihan bila sanggar ini disebut lembaga “pengabdian dan perjuangan”.
Tetapi realitas bahwa Kraton Mataram Surakarta kini sudah mendesak butuh “pilar” penyangga pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungannya, itu menjadi kebutuhan dan keniscayaan. Peran dan fungsi atau sedikit bagian dari “pengabdian dan perjuangan” sanggar pambiwara dan Pasipamartanya, sangat diperlukan untuk menggenapi bekal posisi pilar-pilarnya.
Pilar-pilar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, kini memang sudah berubah komposisinya seiring dengan berubahnya paradigma kraton di zaman republik, modern dan suasana global. Kalau dulu pilar-pilar itu terdiri dari keluarga inti termasuk keluarga raja, sentana-dalem, abdi-dalem dan kawula-dalem yang terpisah dalam lingkungan, kini tidak demikian.
Strata adat telah berubah dan fenomena “Nut zaman kelakone” telah terjadi seperti yang ada sekarang ini. Pilar-pilar itu hanya berupa beberapa figur sentana-dalem dan abdi-dalem garap yang bekerja pada jajaran Bebadan Kabinet 2004, keluarga raja dan elemen-elemen di bawah Lembaga Dewan Adat (LDA) seperti Pakasa cabang, Putri Narpa Wandawa dan sebagainya.
Di antara beberapa elemen itu, Sanggar Pasinaon Pambiwara menjadi sangat penting dan trategis posisinya sebagai lembaga ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton. Tetapi dengan segala keterbatasan sanggar berikut Pasipamarta-nya, elemen Pakasa cabang menjadi pilihan kedua sebagai ujung tombak pelestari dan penjaga yang diharapkan.
Kini, pengurus Pakasa Punjer yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi sebagai Pangarsanya telah menghasilkan lebih 40 pengurus Pakasa cabang di berbagai daerah yang tersebar di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY. Selebihnya, banyak embriyo cabang yang punya potensi didewasakan menjadi cabang mandiri dengan kepengurusan yang lengkap, misalnya seperti Cabang Pacitan.
Tetapi, melihat gerak perkembangan organisasi Pakasa cabang yang pesat itu, sepertinya baru menyentuh kuantitasnya, tetapi belum disertai perkembangan dan peningkatan kualitasnya. Sehingga, bila disandingkan dengan lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara, terkesan sangat jauh berjarak dan sering kurang memperlihatkan representasi Budaya Jawa secara riil.
Melihat realitas seperti ini, sangat diperlukan instrumen untuk membagi sedikit jerih-payah “pengabdian dan perjuangan” sanggar pambiwara dan Pasipamartanya, untuk meningkatkan perkembangan Pakasa dari sisi kualitas. Karena sejak awal, KPH Raditya Lintang Sasangka sudah menegaskan, bahwa sanggar bukan tempat untuk mencari pangkat dan gelar kekerabatan.
Penegasan itu sudah beberapa kali disampaikan Pangarsa Sanggar Pasinaon Pambiwara itu dalam beberapa kesempatan wisuda lulusan sanggarnya. Ini berarti, saluran untuk mendapatkan dukungan legitimatif dari masyarakat di luar berbagai elemen kelembagaan Mataram Surakarta, memang tersedia beberapa dan Pakasa menjadi salah satu saluran peluang yang terbuka.
Tetapi karena ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton selain sanggar sangat dibutuhkan dan mendesak, memang diperlukan sebuah instrumen untuk mengatasi “ketimpangan” dari unsur kualitas Pakasa cabang. Karena, untuk menjadi ujung tombak itu, tentu disertai konsekuensi logis yaitu memenuhi syarat kualitas selain kuantitasnya.
Untuk keperluan itu, sering kali di saat berlangsung upacara wisuda penyerahan partisara berisi kekancingan tentang pangkat dan gelar kekerabatan yang digelar di kraton, beberapa saat sebelumnya dilakukan pembekalan. Ada dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara yang ditugasi untuk memberi pembekalan tentang pengetahuan singkat pengantar wisuda.
“Saya sering mendapat tugas untuk memberi pembekalan kepada para calon wisudawan yang dilakukan di kraton. Mengingat kesempatannya ya hanya beberapa saat menjelang wisuda, maka waktunya terbatas. Dalam waktu yang terbatas hanya beberapa menit itu, tentu sangat sedikit yang bisa saya berikan. Porsinya jelas sangat jauh dibanding menjadi siswa sanggar”.
“Menjadi siswa sanggar harus menempuh proses belajar-mengajar sampai 6 bulan. Dan pelajaran yang diberikan bukan hanya soal pengetahuan pambiwara (MC) atau micara. Tetapi banyak pengetahuan lain dalam Budaya Jawa, juga sejarah kraton yang menjadi sumber budaya itu. Inilah yang membedakan antara sanggar dan Pakasa,” ujar KP Budayaningrat, menjawab iMNews.id.
“Dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara itu tidak merinci pernyataannya, tetapi bermaksud menegaskan bahwa belajar sampai 6 bulan di sanggar, bertujuan melestarikan Budaya Jawa. Pangarsa sanggar menegaskan, lembaganya bukan tempat bagi para pencari pangkat dan gelar sesebutan, meskipun banyak yang beranggapan lain soal alasan melestarikan Budaya Jawa.
Alasan yang “sesat” ini banyak menghiasi warga dan pengurus Pakasa di berbagai cabang. Bahkan, banyak di antara para penerima pangkat dan gelar kekerabatan selama ini, tidak menjadi warga organisasi pelestari budaya manapun, termasuk Pakasa. Bahkan belum diketahui, bentuk riil pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton apa yang dilakukan?. (Won Poerwono – bersambung/i1)