Kraton Mataram Surakarta Semakin Akomodatif Terhadap Karya-karya Kreasi Baru
SURAKARTA, iMNews.id – Panggung pertunjukan “Sekaten Art Festival 2024” yang digelar selama lima malam berturut-turut dari Rabu (11/9) hingga Minggu (15/9) di Pendapa Sitinggil Lor, ditutup dengan 12 persembahan tari yang sebagian besar karya kreasi baru. Selain ada kesesuaian antara sajian dan suasana tempatnya, pertunjukan itu menjadi penanda sikap.
Yaitu penanda sikap Kraton Mataram Surakarta yang positif, konstruktif dan sangat memahami keniscayaan “Nut jaman kelakone” atau perubahan akibat adanya sentuhan inovasi. Sikap seperti itu nyaris tak pernah diucapkan oleh GKR Wandansari Koe Moertiyah, selaku pemilik otoritas atas lembaga Pengageng Sasana Wilapa maupun Lembaga Dewan Adat (LDA).
Namun, sikap akomodatif terhadap inovasi dan kreasi baru serta keniscayaan “Nut jaman kelakone” itu diwujudkan dengan tindakan nyata. Salah satunya, adalah menggelar panggung “Sekaten Art festival” selama lima hari dan ditutup Minggu (15/9) dengan tampilnya 12 repertoar tari dari enam sanggar tari yang ada di Surakarta dan sekitarnya.
GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, menutup seluruh rangkaian acara “Sekaten Art Festival 2024” dengan penyerahan piagam kepada masing-masing grup kesenian yang tampil dan sanggar yang menyajikan, diteruskan berfoto bersama.
Sajian di malam penutupan itu dibuka dengan tari “Dongklak” dan tari “Lenggang Nyai” yang durasinya rata-rata 7 menit, persembahan Sanggar Sang Citra. Berikutnya adalah sajian tari “Gambyong” dan tari “Kiprah Ratu Sewu” untuk kali ketiganya disajikan di panggung itu, yang durasinya hampir sama, 7 menit, persembahan Sanggar Pratama Budaya.
Giliran ketiga Sanggar Amarta yang menampilkan tari “Bubuka” dan tari “Ronggeng Nyentrik”, yang durasinya hampir sama dengan beberapa sajian sebelumnya. Giliran berikutnya persembahan Sanggar Gendewo Pinentang yang menyuguhkan tari “Gambyong Putri Solo” dan tari “Jaimasan”. Dari nama-nama judul tari, sudah mengisyaratkan bentuk-bentuk inovasi modern.
Dari Sanggar Pudak Petak Studio, hanya mengeluarkan sajian tunggal yaitu tari “Cendrawasih” yang begitu elok dan memukau penampilan dan kemewahan kostumnya. Untuk menggenapinya, Sanggar Amarta mengeluarkan satu sajian lagi yaitu tari “Kipas” berdurasi 8 menit. Terakhir adalah tari “Rara Ngigel” dan tari “Kethek” yang kembali disuguhkan Sanggar Pratama Budaya.
Dari 12 sajian judul tari, 80 persen disuguhkan oleh usia remaja bahkan ada yang sudah dewasa, sehingga mampu melakukan kontrol atas penampilannya sendiri. Rata-rata, sajian ini sesuai dengan para penonton segala usia. Tetapi sajian tari yang didukung anak-anak usia di bawah 9 tahun, penonton yang diperkirakan menyukai dari usia sebaya.
Media iMNews.id yang megikuti jalannya panggung “Sekaten Art Festival 2024” selama lima malam itu, mencatat animo penonton yang dimulai dengan kehadiran sekitar 200 orang di malam pertama, naik ke angka sekitar 300 orang di malam kedua dan sedikit menurun saat ada sajian musik religi khas Mataram Islam, karawitan “Laras Madya”, Kamis (12/9).
Di malam ketiga, Jumat (13/9), animo panggung pertunjukan seni tari di Pendapa Sitinggil Lor kembali meningkat ke angka 300-an orang. Terlebih di malam keempat, Sabtu (14/9), mungkin mancapai rekor tertinggi 400-an orang penonton. Jumlah animo itu sepertinya bertahan di malam terakhir Minggu (15/9), karena ada 12 sajian tari dan ada liburan panjang.
Panggung pertunjukan seni tari di Pendapa Sitinggil Lor, menjadi pelengkap upacara adat Sekaten Garebeg Mulud 2024. Karena, selain ada sajian ritual spiritual religi di Masjid Agung sebagai syi’ar budaya, diimbangi dengan sajian seni tari khas kraton dan kreasi baru sebagai bentuk “syi’ar budaya”. Keramaian “Maleman Sekaten”, adalah sisi ekonomisnya.
Dari sejumlah sajian itu, tari “Cendrawasih”, tari “Kiprah Ratu Sewu”, tari “Rampak Lutung” atau “Kethek”, du versi tari “Gambyong” dan tari “Kipas”, termasuk beberapa judul tari yang punya daya tarik tinggi terutama di kalangan penonton dewasa. Karena, garapan tarinya termasuk baik dan kombinasi warna kostum dan aksesorinya sangat beragam dan indah.
Khusus untuk tari “Kiprah Ratu Sewu” yang dibawakan hanya seorang penari bukan seribu atau “sewu”, sajian ulangan kali ketiga termasuk luar biasanya, bahkan dibanding judul-judul tari lainnya. Karena, dibawakan seorang penari dewasa yang sudah jadi, matang dan profesional, yang terlihat dari gerakannya serba ekspresif, tegas dan pas dengan iringannya.
Tari “Cendrawasih” yang melukiskan keindahan dan kelincahan satwa burung khas pulau Papua, juga benar-benar dibawakan dengan profesional, serius dan menebar pesona. Baik dari struktur gerak yang dilakukan maupun kombinasi warna kostum dan aksesorinya, sangat mendukung dan menyatu sebagai sebuah paket tarian gerak dan pesona burung Cendrawasih.
Suasana view dan lingkungan bangunan Pendapa Sitinggil Lor serta aura Kraton Mataram Surakarta, tak bisa dipungkiri menjadi daya dukung luar biasa bagi semua sajian tari kreasi baru itu. Karena matching dengan suasana dan tempatnya, menjadikan tari “Rampak Lutung”, “Cendrawasih” dan “Kiprah Ratu Sewu” tampak istimewa dan sangat mahal. (won-i1)