Proses Persesuaian Masih Berlangsung, Insiden Juga Selalu Menghadang
IMNEWS.ID – UPACARA adat atau ritual Sekaten Garebeg Mulud 2024 yang digelar Kraton Mataram Surakarta untuk menyambut hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW pada 12 Mulud Tahun Je 1958, kini sedang berlangsung. Berbagai acara pendukungnya khusus keramaian pasar atau “Maleman Sekaten”, sudah berjalan sekitar dua minggu sejak dibuka Minggu (25/9).
GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Pengageng sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA), membuka resmi “Maleman Sekaten 2024” yang dipusatkan di kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa itu, Minggu malam (25/9). Pengguntingan untaian melati dan donga wilujengan di depan Bangsal Pangrawit menjadi penanda pembukaan resmi “maleman”.
Sedikitnya ada 225 stan dagang, promo dan jasa berbagai jenis wahana mainan yang menyebar di sejumlah tempat terutama Pendapa Pagelaran. Beberapa sisa ruang yang dimanfaatkan untuk berbagai jenis kegiatan stan dagang dan wahana itu, memanfaatkan bagian kosong yang ada di Masjid Agung, lahan parkir lantai dua Pasar Klewer timur dan sebagainya.
Pinggir jalan di sebagian lingkar Alun-alun Lor juga “terpaksa” dimanfaatkan untuk stan dagang aneka produk terutama yang khas simbolik Sekaten Garebeg Mulud. Itu semua terpaksa dilakukan, karena Alun-alun Lor dan juga Alun-alun Kidul, sedang dalam finalisasi proyek revitalisasi, begitu pula di Masjid Agung juga sedang memulai direvitalisasi.
KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif Lembaga Hukum Kraton Surakarta-LHKS) menyebut (iMNews.id, 20/8), “Sekaten Garebeg Mulud 2024” ini adalah Sekaten di masa transisi. Bukan dalam makna transisi dari suasana kelembagaan kraton yang kini berupaya meredam segala persoalan yang dihadapi, tetapi transisi dari fungsi lama yang akan berubah ke fungsi baru.
Meski transisi itu bisa dimaknai perubahan sikap akibat fungsi Alun-alun Lor dan juga Alun-alun Kidul kelak akan berubah setelah direnovasi, tetapi pelaksanaan Sekaten Garebeg Mulud 2024 ini masih merasakan ada banyak persoalan internal yang belum terselesaikan. Setidaknya, persoalan yang berkait dengan proses persesuaian sebagai konsekuensi “damai”.
Peristiwa “perdamaian” 3 Januari 2023 antara Sinuhun Suryo Partono (PB XIII) dengan Gusti Moeng, dianggap publik secara luas sebagai tonggak dimulainya rekonsiliasi dari tingkat pucuk pimpinan. Dalam proses selanjutnya, rekonsiliasi diharapkan bisa terwujud menyeluruh dari atas ke bawah dan ke samping, dalam struktur kabinet maupun strata adat.
Langsung atau tidak, macet atau tersendat dan bahkan kalau rangkaian proses rekonsiliasi ini ada yang terlompati, sangat mungkin bisa mempengaruhi suasana masa transisi, akibat kedua alun-alun belum bisa berfungsi sebagai ajang “Sekaten Garebeg Mulud 2024”. Apalagi, ada persoalan di luar kedua makna itu yang menambah berat cara menyikapi transisi itu.
Salah satu contoh masalah di luar kedua makna transisi itu, adalah munculnya kabar melayangnya sebuah somasi dari lingkungan keluarga Sinuhun terhadap pihak pengusaha jasa hiburan. Somasi itu berisi peringatan agar pengusaha aneka jasa hiburan itu, tidak diperbolehkan ikut buka stan di arena Sekaten 2024 tetapi tidak dijelaskan apa alasannya.
Hal-hal yang berurusan dengan urusan administratif seperti itu, jelas menambah masalah dan menambah beban Bebadan Kabinet 2004 yang kini berusaha menata kembali tata kelola penyelenggaraan Sekaten Garebeg Mulud. Karena, selama enam tahun Sekaten dan keramaian pasar sebagai daya dukungnya, dikelola secara “liar” dan tidak jelas untuk apa hasilnya?.
Beban masalah dari luar kedua makna transisi itu, pernah terungkap dari pernyataan Gusti Moeng beberapa waktu lalu sebelum Sekaten Garebeg Mulud 2024 dibuka. Pihaknya harus mengembalikan sebagian nilai kontrak sewa lahan di Alun-alun Lor pada Sekaten 2023, yang diterima “panitia liar” karena sudah “ditebas” dan “dibayar” 2-3 tahun sebelumnya.
Selama enam tahun beroperasinya “panitia liar” mengurus Sekaten sejak 2017, berbagai masalah bermunculan. Salah satunya, masalah “wanprestasi” di antara peserta stan dan panitia, karena uang sewa lahan untuk 2-3 tahun ke depan sudah diminta. Bahkan, seorang tokoh “Pangeran” juga sempat ditangkap polisi karena dituduh menggelapkan uang setoran sewa lahan itu.
Makna masa transisi berikut, adalah upaya penguatan kelembagaan Kraton Mataram Surakarta di bawah Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Moeng sejak 2004. Inilah yang menampilkan dinamika dengan berbagai insiden yang mewarnai beberapa upacara adat, termasuk Sekaten Garebeg Mulud tahun 2023 dan 2024, yang baru saja berlalu.
Insiden terakhir adalah saat upacara ungeling gangsa sepisanan, Senin siang (9/9) pukul 13.30 WIB, kemarin. Ada seorang lelaki yang mengaku keluarga Sinuhun, datang ke Bangsal Pradangga Kidul. Dia meminta agar abdi-dalem yang bertanggung-jawab menabuh, menuruti “dhawuh” yang akan diberikannya selaku “utusan-dalem”, agar gamelan ditabuh “kali pertama”.
Karena KPP Haryo Sinawung yang diumumkan juru pambiwara sebagai pemberi “dhawuh”, maka gamelan ditabuh dan sudah 5 menit menyajikan gendhing Rambu. Dan Gusti Moeng yang ada di antara para pengunjung di situ, juga sudah menikmati “nginang bersama”. Maka, yang diduga “oknum pengacau” itu langsung disingkirkan dari Bangsal Pradangga, agar tidak mengganggu. (Won Poerwono-bersambung/i1)