Keris Kiai Bledheg Pamor “Carita Bungkem” Seakan Melukiskan Gerakan Tutup Mulut
IMNEWS.ID – SAMPAI akhir Agustus ini, sudah dua bulan lebih dari waktu yang diperkirakan “ketelisutnya” terompet peninggalan Mbah Glongsor dari almari penyimpanannya, di pos jaga makam, sejak pertengahan Juni lalu. Tetapi, kabar yang yang ditunggu dan perkembangan yang menggembirakan mungkin sudah habis, sisa harapanpun rupanya tinggal harapan saja.
Tetapi, sebuah keajaiban mungkin bisa saja datang kapan saja, kalau kejadiannya sudah berada di luar jangkauan nalar manusia. Karena jika dengan akal, cara santun dan penuh kasih-sayang sudah tidak bisa merubah sikap/keadaan, mungkin hanya kekuatan doa saja yang bisa mengatasinya. Dan itu semua, tak hanya milik KRA Panembahan Didik dan Pakasa Kudus.
Cara-cara yang bermartabat, beretika dan berketuhanan seperti itu bukan saja milik Ketua Pakasa Cabang Kudus dan seluruh warga dan pengurusnya. Atau milik warga Kampung Rendeng Wetan dan Desa Rendeng yang masih peduli dengan hilangnya terompet peninggalan KRT Prana Koesoemadjati, yang akrab dikenal dengan “Mbah Glongsor Alap-alap Gilingwesi” itu.
Tetapi, bisa menjadi milik banyak orang di wilayah yang sangat luas, yang masih peduli dengan pelestarian budaya Jawa dan suasana hari yang sedang kesal tetapi hanya bisa pasrah dan pupus harapan. Rasa simpati itu mungkin bisa melahirkan doa dan harapan, yang kekuatannya bisa melahirkan sebuah keajaiban, yaitu kembalinya terompet “secara baik-baik”.
Sampai datang kesibukan rapat membahas program kegiatan “Muludan” atau peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di bulan Mulud Tahun Je 1958 atau Rabi’ul Awal Tahun 1446 Hijriyah yang tinggal sekitar seminggu, KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro masih memiliki suasana hati yang kesal dan “geregetan”.
Saat dihubungi iMNews.id hingga semalam, Ketua Pakasa Cabang Kudus itu masih merasakan hati tidak lega atas “ketelisutnya” terompet Mbah Glongsor. Tetapi ia berharap, isu tentang latar-belakang hilangnya terompet yang mulai berkembang dan menjadi perbincangan warga Kampung Rendeng Wetan itu, bisa mendatangkan perkembangan positif.
“Iya. Setelah warga Rendeng Wetan dan Desa Rendeng pada umumnya membaca berita iMNews.id itu, banyak saya dengar pada rasan-rasan gemreneng membahas isu latar-belakang hilangnya terompet. Ada yang mengaitkan karena persaingan pencalonan pileg, persaingan Pilkada, persaingan pilihan pamong di kampung (RW) dan sebagainya”.
“Perbincangan itu saya dengar, rata-rata mengarah pada beberapa figur warga kampung. Tetapi, ada yang mengarah pada satu figur yang berkait langsung dengan hilangnya terompet Mbah Glongsor. Bahkan ada yang mengarah pada letak terompet di dalam rumah salah seorang warga. Karena ada yang mengaku melihat dari luar dan dalam rumah,” ujar KRA Panembahan Didik.
Tetapi, perkembangan ke arah terungkapnya kasus terompet yang ketelisut rupanya hanya sampai pada batas realitas dan fakta seperti itu. Karena, tidak bisa diharapkan bisa mengarah pada sebuah tindakan proses pembuktian atau pengembalian terompet, baik atas dasar kesepakatan maupun dengan kesadaran yang tulus mengembalikan, secara terbuka atau diam-diam.
“Saya sampai menyatakan, kalau terompet tidak dikembalikan, tahun depan benar-benar tidak akan ‘ngurusi’ kirab budaya mengangkat nama besar Mbah Glongsor. Karena, ya masih jengkel campur gregeten. Barangnya diyakini masih ada di rumah orang yang diduga menyembunyikan, tetapi tidak ada yang berani menjadi saksi. Itu yang bikin jengkel dan gregeten”.
“Saya tidak tahu perkembangannya nanti. Tetapi, kalau orang yang merasa dicurigai jadi malu, pasti akan menghilangkan jejak. Kemungkinan besar terompet yang menjadi barang bukti itu akan dibuang. Entah ke mana? Mungkin bisa tempat yang jauh dan sulit dilacak. Misalnya ke sungai yang dalam, seperti yang ada di dekat PG Rendeng,” ujar KRA Panembahan Didik.
Walau ada realitas di atas, tetapi Ketua Pamong Makam Mbah Glongsor itu sudah banyak mendapat pengakuan karena sukses menginisiasi dan menggelar kirab budaya bersama warga Kampung Rendeng Wetan, tepat pada peringatan HUT RI, Sabtu (17/8). Di antara yang menjadikan sukses itu, adalah 4 keris dan satu tombak yang berhasil dibeli untuk keperluan kirab itu.
Di antara 4 keris dan satu tombak yang diharapkan bisa “mengobati rasa kesal” karena bisa menggantikan terompet yang “ketelisut” itu, adalah keris Kiai Bledheg pamor “Carita Bungkem”, yang disebut KRA Panembahan Didik punya makna berkait dengan peristiwa hilangnya terompet dan kirab budaya. Dua makna itu akan menjadi rangkaian cerita kelak jika ada kirab.
Makna pamor “Carita Bungkem”, bisa menunjuk pada proses upaya pencarina terompet yang buntu, karena para saksi mata hanya “bungkam” dan tidak berani “bercerita” tentang fakta proses hilangnya dan keberadaan terompet. Tetapi, juga bisa bermakna, ketika keris Kiai Bledheg dipakai, semua orang bisa diam (bungkam/tidak berisik-Red) mendengar sambutannya.
“Saya sebenarnya ingin mecari satu tombak lagi, pamor ‘kecrek’ yang mirip sisik ikan tetapi berlapis emas Budha (lama). Sudah sebulan saya cari informasi, kok belum ada kabar baik. Pakasa Cabang Kudus akan menggelar kirab budaya ‘Muludan’ di bulan Mulud ini, dengan mengarak beberapa atribut termasuk tombak itu,” jelas KRA Panembahan Didik lagi. (Won Poerwono-habis/i1)