Apakah Produk Kebijakan Sinuhun Bisa Dipertanggungjawabkan Secara Hukum?
IMNEWS.ID – “KRISIS kepemimpinan” yang di dalamnya sangat menonjol “krisis figur pemimpin” dan “krisis kebijakan produk pemimpin” yang mewarnai kondisi “force majour”, menjadi peristiwa yang menonjol di balik semua peristiwa yang selama lebih lima tahun ini (April 2017-Desember 2022) terjadi di kraton. Dan, sumber “krisis kepemimpinan” itu berasal dari titik sentral kelembagaan “raja” atau Sinuhun yang dipegang Suryo Partono, yang sering “diklaim” atau dicatut namanya sebagai penanggung-jawab tertinggi di kelembagaan Kraton Mataram Surakarta.
Tetapi, karena kondisi “krisis” dan “darurat” terjadi karena faktor lemahnya kepemimpinan di titik sentral karena figur pemimpinnya sudah tidak memiliki kapasitas yang normal secara fisik dan psikis, maka benar saran pribadi KPP Wijoyo Adiningrat dan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat, Dr Purwadi (iMNews.id, 1/11). Keduanya menganjurkan agar segera ditunjuk seorang pejabat “Plt” dari antara yang memang sudah disiapkan untuk keperluan itu, yaitu putra mahkota KGPH Hangabehi. Karena, kepemimpinan yang lemah sangat merugikan citra, fungsi dan eksistensi kelembagaan Kraton Mataram Surakarta, yang seharusnya kuat untuk menghadapi tantangan zaman.

Lemahnya kepemimpinan yang justru menghasilkan situasi krisis dan serba darurat, salah satu akibat yang bisa ditimbulkan adalah semakin menurunnya kewibawaan, harkat dan martabat kraton dari pergaulan publik, baik secara nasional maupun internasional. Seiring dengan berbagai tantangan berat yang lahir dari krisis kepemimpinan ini, posisi Lembaga Dewan Adat sebagai organ baru di kelembagaan Kraton Mataram Surakarta sudah siap dan memadahi untuk kepentingan pelestarian dan kelangsungan kraton ke depan, baik ketika berada di tengah sistem hukum nasional, maupun internasional.
Namun, sekali lagi akibat lemahnya kepemimpinan Sinuhun Suryo Partono, harus diakui bahwa produk kelembagaan kraton sangat mengurangi kekuatan legitimasi yang dibutuhkan publik untuk berbagai keperluan di eksternal kraton, misalnya dinamika sosial, budaya, politik dan sebagainya yang dijalankan pemerintahan NKRI. Dan sebaliknya, segala produk kebijakan lembaga Sinuhun Suryo Partono sangat lemah dari sisi kekuatan hukum, karena nyaris tidak punya landasan hukum kelembagaan yang sudah diatur dalam sistem hukum nasional.

Kalaulah ada produk kebijakan yang masih bisa diterima atau dipakai pihak lain di eksternal kraton, semisal Pemkot Surakarta dan jajaran ke atas maupun ke bawah, tentu akan bersifat sementara dan khusus untuk hal-hal yang ringan atau karena “bisa disiasati” (dimanipulasi-Red). Tetapi untuk jangka panjang ke depan, tidak ada yang bisa menjamin produk kebijakan itu bisa memenuhi segala persyaratan yang dibutuhkan sistem hukum nasional, jika kraton khususnya Sinuhun tidak punya lembaga berbadan hukum seperti LDA, Yayasan Kraton Surakarta dan segala bentuk badan hukum yang sudah lama disiapkan “Bebadan Kabinet 2004”.
“Bebadan Kabinet 2004” sudah lama mengantisipasi akan datangnya kebutuhan mendasar dan urgen segala bentuk badan hukum yang dibutuhkan kraton, sebagai syarat untuk berhubungan dengan pihak manapun di luar kraton yang punya jaminan kekuatan hukum seperti yang dibutuhkan dalam sistem hukum nasional. Untuk itu, sangat tepat apabila dalam mengejar ketinggalan pada proses regenerasi dan alih kepemimpinan dalam suasana yang “krisis” dan “darurat” ini, Pengageng sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat melakukan sosialisasi tentang LDA, Yayasan Kraton Surakarta dan keputusan MA tertanggal 29 Agustus 2022 dengan intensitas tinggi.

Dengan mencermati kondisi riil antara eksistensi ketokohan individu Sinuhun Suryo Partono yang begitu lemah di satu sisi dan eksistensi kelembagaan “Bebadan Kabinet 2004” dan LDA yang memiliki berbagai elemen yang melegitimasi baik di dalam dan di luar kraton yang semakin menguat, ini jelas melukiskan ketimpangan jalannya organisasi Kraton Mataram Surakarta. Produk-produk kelembagaan “Bebadan Kabinet 2004” dan LDA jelas memiliki kekuatan hukum, tetapi apakah produk ketokohan individu Sinuhun Suryo Partono memiliki kekuatan hukum atau bisa dipertanggungjawabkan secara hukum?
Jawabannya tentu tidak dan tidak mungkin bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, dengan catatan kalau tidak ada persekongkolan untuk menyimpang, karena dalam situasi dan kondisi krisis kepemimpinan dan lemahnya figur pemimpin, justru bisa dimanfaatkan orang-orang di sekelilingnya. Karena orang-orang yang yang selama ini “mengklaim” atas nama Sinuhun dan atas dhawuh Sinuhun, diduga menerima “order” atau “disetir” dari pihak eksternal, misalnya untuk menolak dan melawan keberadaan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuai GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng itu.

Berbagai lembaga selain LDA yang dimiliki kraton sebagai kebutuhan untuk bekal perjalanannya di alam modern, jelas menjadi salah satu cara yang bijak untuk mengembalikan wibawa, harkat dan martabat kraton. Dan realitas kebutuhan yang menyesuaikan perubahan zaman ini, rata-rata sudah dipahami para anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) karena pengalaman-pengalaman yang dihadapi Kraton Mataram Surakarta ditularkan kepada kalangan anggota MAKN di berbagai forum pertemuan. Karena, kalangan anggota MAKN juga membutuhkan perangkat organisasi yang berlandaskan hukum, demi kelangsungan masing-masing di masa depan.
Memang, di alam modern yang menjunjung tinggi kebebasan dalam bingkai NKRI ini, bagi lembaga masyarakat adat seperti Kraton Mataram Surakarta, tak mudah melakukan berbagai inovasi sebagai kebutuhan yang ternyata sangat penting. Namun, supremasi hukum harus tetap dijunjung tinggi, agar masyarakat adat juga paham hukum seperti dicontohkan “Bebadan Kabinet 2004” dan Lembaga Dewan Adat. SK Kemendagri No : 430-2933 tahun 2017 tentang penetapan status dan pengelolaan kraton terpaksa digugat, dan putusan MA (29 Agustus 2022) menyebut bahwa tiga pihak tergugat yaitu Sinuhun, Kemendagri dan KGPH Tedjowulan diputuskan salah dan kalah. (Won Poerwono-habis/i1).