“Insiden Mirip Operasi Militer 2017”, Puncak Perlakuan Tidak Bermartabat dan Jauh Dari Adab
IMNEWS.ID – PERISTIWA “insiden mirip operasi militer” yang dilakukan sekitar 2 ribuan personel Brimob dan 400-an persenel tentara pada April 2004, bisa digolongkan dalam kategori “perbuatan melawan hukum” dan “pelanggaran HAM”. Karena, belasan orang yang “ditangkap” dalam evakuasi yang diduga atas perintah Kapolda Jateng waktu itu, semua digelandang ke Mapolda.
Di antara yang digelandang dan diperiksa di Mapolda, waktu itu, seorang wanita abdi-dalem berusia 70-an tahun yang diizinkan tinggal di lingkungan Bangsal Keputren. Karena, tugasnya di bidang kebersihan yang bergabung dengan para “abdi-dalem Kebon Darat”. Selebihnya, adalah beberapa staf kantor Pengageng yang siang itu masih berkantor di lingkungan Pendapa Magangan.
Dalam peristiwa mirip “penggerebekan sarang teroris” itu, Gusti Moeng dan beberapa pejabat penting di kraton justru berada di sebuah hotel di Jalan Slamet Riyadi kawasan Purwosari. Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA itu berada di sana, karena ada pejabat Wantimpres yang disebut sebagai utusan Presiden Jokowi, ingin bertemu dengan kedua pihak untuk tujuan rekonsiliasi.
Tetapi, ditunggu hingga lebih 30 menit “pihak seberang” tidak tampak, begitu pula pejabat Wantimpres dimaksud, juga tidak kelihatan. Akhirnya justru Gusti Moeng dan beberapa sentana-dalem yang mendampingi mendapat tilpon agar segera kembali ke kraton. Karena, kraton kedatangan personel Brimob dan tentara begitu banyak, yang mengevakuasi semua yang ada di dalam.
Tak hanya mengevakuasi dan menahan figur yang saat itu sedang bertugas di kraton, semua pintu akses keluar-masuk kraton juga begitu cepat ditutup rapat, dikunci dan dijaga dua unsur aparat keamanan itu, baik di luar dan di dalam. Belakangan Gusti Moeng baru mengetahui, untuk “menyerbu” kraton itu, dikerahkan 2 ribu personel Brimob dan 400-an personel tentara (TNI).
Entah bagaimana peristiwa “penyerbuan” hingga “mirip operasi militer” itu bisa terjadi? Suatu saat, “tabiat jahat” ini pasti akan terbongkar oleh waktu. Yang jelas, Kraton Mataram Surakarta telah mengalami peristiwa yang menyedihkan, perlakuan tidak bermartabat jauh dari adab di alam republik “yang katanya” ber-Pancasila, “berdemokrasi” dan menjunjung “supremasi hukum”.
Hasil penelusuran iMNews.id sejak masih bergabung di harin Suara Merdeka mengikuti peristiwa itu terjadi di tahun 2017, memang belum banyak mendapatkan data dan informasi meyakinkan, tentang inti persoalan yang menjadi alasan “insiden mirip operasi militer” itu. Semua masih tertutup rapat, walau masih banyak saksi pelaku, korban dan yang melihat sisi-sisinya.
Tetapi setidaknya, dari sebagian besar yang pernah diperiksa di Mapolda Jateng saat Irjen Pol Condrokirono menjabat Kapolda menyebutkan, pada intinya ribuan aparat keamanan gabungan itu “terkena fitnah” atas laporan palsu seorang “Pangeran” yang masih mempertahankan jabatan Pengageng Parentah Kraton di tahun 2017, di saat Bebadan Kabinet 2004 resmi berlaku.
Seorang “Pangeran” yang selama enam tahun lebih bergabung “di seberang” dan telah dinyatakan “melakukan perbuatan melawan hukum” sesuai eksekusi (iMNews.id, 8/8) itu, disebut-sebut “Bebadan Kabinaet 2004” telah memasukkan “laporan palsu yang menyesatkan” ke Mapolda. “Pangeran” itu menuduh penanggungjawab Bebadan dituduh “memalsukan dokumen negara”.
Ketika semua dianalisis, termasuk pengakuan sejumlah figur yang pernah diperiksa di Mapolda, waktu itu, didapat kesimpulan yang tidak rasional apabila laporan itu berupa dugaan pemalsuan dokumen negara, yang menjadi alasan pengerahan ribuan personel Brimob dan tentara. Belakangan barulah berkembang informasinya, bahwa oknum “Pangeran” juga melaporkan hal lain.
Hal lain yang dilaporkan itu, adalah dugaan mobilisasi para pesilat dari luar kraton, yang disebutkan dalam jumlah banyak dan telah “menduduki” kraton. Bila laporan itu memenuhi fakta kebenaran, itupun belum bisa dijadikan dasar dan alasan untuk mengerahkan ribuan personel bersenjata, melakukan evakuasi “mirip operasi militer”, seperti sedang menggrebek sarang teroris.
Sebab, bila benar ada mobilisasi para “seniman silat”, pasti ada alasan dan dasarnya yang rasional. Mengingat, KPH Edy Wirabhumi adalah seorang pamong perkumpulan pesilat di wilayah khusus kraton, yang juga pejabat di tingkat pusat. Dalam beberapa waktu, banyak wayah-dalem dan sentana yang belajar seni bela diri itu, untuk berolah-raga dan menjaga kesehatan.
Unsur tujuan dan manfaat seni bela diri itu bagi sebagian keluarga besar kraton, saat itu, sudah jelas berada di wilayah positif. Tetapi tuduhan mobilisasi apalagi disebut untuk tujuan yang negatif, jelas tidak pernah ada faktanya alias sekadar laporan palsu yang bernada fitnah. Tetapi, pemerintah sudah terlalu apriori terhadap kraton, terlebih aparatnya.
Aparat keamanan dan penegak hukum, sudah terlalu apriori terhadap “Bebadan Kabinet 2004” yang dianggap “sulit diajak kerja-sama”, tetapi dibuat “kecelik” oleh laporan palsu seorang oknum “Pangeran” itu. Rasa malu atau “kisinan” karena tidak mendapati satupun “pesilat asing” di dalam kraton, sulit dihindari wajah institusi aparat keamanan (gabungan) itu.
Institusi Polda juga “kecelik” kalau tidak boleh dikatakan “tertipu”, karena menelan mentah-mentah laporan dugaan pemalsuan dokumen negara oleh oknum “Pangeran” pelapor. Padahal hanya proses penganugerahan “kekancingan” berisi gelar kekerabatan, sebagai kewajiban kraton untuk menghargai setiap upaya pelestairan Budaya Jawa dan upaya menjaga kelangsungan kraton. (Won Poerwono-bersambung/i1)