Pengurus Pakasa Punjer Semakin Eksis, Tetapi Pakasa Cabang (Kota) Surakarta Belum Pernah Ada
IMNEWS.ID – BILA Pakasa pada periode sejak lahir hingga 17 Agustus 1945 sebagai wadah pergerakan merintis kemerdekaan, pada periode 1945 hingga 1965 di zaman pemerintahan Presiden Ir Soekarno-Muh Hatta (Wapres), organisasi ini mengalami ujian berat. Ia ikut menjadi korban ketika Kraton Mataram Surakarta menghadapi pergolakan politik hebat sesudah menjadi bagian NKRI.
Dari berbagai sumber penulisan tentang sikap Kraton Mataram Surakarta di masa revolusi dan di awal kemerdekaan (RI), menyebut Pakasa ikut menjadi korban. Karena, elemen organisasi ini membentengi kraton menghadapi berbagai elemen yang menentang status Daerah Istimewa Surakarta, di antaranya PKI. Organisasi Pakasa sendiri, diindikasikan juga tertular “virus” komunis.
Berbagai peristiwa penculikan yang sangat diyakini dilakukan orang-orang PKI terjadi dalam pro-kontra soal status Daerah Istimewa Surakarta, seperti tersebut dalam pasal 18 UUD 45 (sebelum diamandemen). Akibat penculikan yang menimpa Patih Sosrodiningrat V, bahkan Sinuhun PB XII sendiri, Pakasa juga ketakutan. Akhirnya, keluarlah PP No 16/SD tahun 1946.
Penetapan Pemerintah (PP) No 16/SD (Sangat Darurat) tahun 1946 adalah keputusan pemerintah yang dianggap menjadi solusi atas pro-kontra terhadap status Daerah Istimewa Surakarta. Karena, gerakan “Revolusi Sosial” seperti yang ditulis Dr Sri Juari Santosa dalam bukunya “Suara Nurani Karaton Surakarta”, pembekuan status itu adalah satu di antara tiga tuntutan gerakan itu.
Sebagai ilustrasi, tiga tuntutan gerakan “Revolusi Sosial” yang diajukan organisasi “Barisan Banteng”, komunitas Kaum Buruh Negeri Surakarta, perwakilan kaum tani Kabupaten Klaten dan PKI itu, adalah menghendaki Daerah Istimewa Surakarta dihapus, Raja/Susuhunan (Sinuhun PB XII) diganti dan peraturan soal Daerah Surakrta dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Situasi pro-kontra yang berbuntut penculikan para tokoh penting Kraton Mataram Surakarta, jelas menyudutkan Pakasa sebagai benteng kraton yang menghadapi penentang status Daerah Istimewa Surakarta. KRMH (bukan KRMT-Red) Woerjaningrat selaku Wakil Pepatih-dalem sekaligus Ketua Pakasa Punjer, tidak kuasa menghadapi pergolakan politik dengan ancaman korban nyawa itu
Seperti itulah kira-kira suasana sosial politik yang menyelimuti organisasi Pakasa di awal NKRI. Penculikan banyak tokoh diculik PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI pada periode itu, masih berlanjut sampai datang periode G.30S/PKI di tahun 1965. Dinamika sosial-politik yang ekstrem saat itu, benar-benar menggencet kraton, termasuk Pakasa.
Lewat periode 1965, Pakasa terlanjut lumpuh dan vakum hingga periode 1970-an hingga akhir 1980-an. Barulah ada tanda-tanda kehidupan mulai bangkit lagi, setelah Gusti Moeng berkeliling di sejumlah daerah di Kabupaten Boyolali di awal 1990-an. Dalam situasi vakum dari kepengurusan dan kepemimpinan, masih ada warga Pakasa yang ingin tetap setia “sowan” ke kraton.
Dalam perjalanan panjang dari periode kelahiran, tumbuh remaja dan dewasa hingga periode 1965, semangat dan semboyan “Saraya, Setya, Rumeksa” tetap dibawa dan menjadi kekuatan bertahan dalam himpitan zaman. Setelah banyak menghadapi guncangan pada usia produktif (1931-195), Pakasa justru vakum lama pada usia 60-an (antara 1965-1990), yang biasa disebut “semeleh/menep”.
Warga Pakasa yang disambangi GKR Wandansari Koes Moertiyah bersama KPH Edy Wirabhumi dan KRMH Sapardi Yosodipuro di beberapa daerah eks Karesidenan Surakarta terutama di kabupaten Boyolali di awal 1990-an, memang belum sepenuhnya membangkitkan Pakasa. Baru menjelang hingga terjadi peristiwa suksesi 2004, sisa-sisa Pakasa bangkit dan diberdayakan bisa eksis lagi.
Pelan-pelan, sejak peristiwa suksesi 2004 Pakasa yang masih bersemboyan “Saraya, Setya, Rumeksa” itu kembali bermunculan bangkit di setiap daerah di wilayah eks Karesidenen Surakarta, bahkan menjalar di luar wilayah itu. Meskipun, di setiap daerah Pakasa, belum dilengkapi dengan penyusunan kepengurusan dan diresmikan menjadi cabang seperti sekarang.
Selama periode 2004-2017, bisa disebut sisa-sisa kekuatan organisasi Pakasa bangkit. Walaupun jumlahnya sudah sangat berkurang, karena generasi yang lahir di sekitar 1931-an sudah habis. Atau ada generasi baru keturunannya, tetapi belum sepenuhnya bisa menggantikan jumlah yang jauh berkurang secara alami itu. Kebanyakan di antara mereka, sudah berpengurus.
Sampai di usia 70-an tahun pada periode 2004-2017, ibarat perjalanan hidup manusia pada umumnya sudah tidak produktif bahkan sama sekali. Tetapi organisasi Pakasa pada periode itu, malah sedang berkembang yang ditandai dengan penetapan kepengurusan organisasi di setiap daerah kabupaten/kota yang disebut cabang. Ini bisa disebut periode embriyo kelahiran “reborn” Pakasa.
Kelahiran kembali atau “reborn” Pakasa pada periode itu, malah menghasilkan perkembangan positif di luar wilayah Surakarta. Yaitu terbentuknya pengurus Pakasa Cabang Ponorogo di tahun 2016, yang diketuai KRRA MN Gendut Wreksodiningrat. Kini, Pakasa Cabang “Gebang Tinatar” di Kabupaten Ponorogo yang dipimpin KP MN Gendut Wreksodiningrat itu, menjadi cabang paling bersinar.
Di bawah kepemimpinan KP MN Gendut, Pakasa “Gebang Tinatar” menjadi besar karena punya anggota tiga ribuan dan simpatisan yang jauh lebih besar. Karena, bagi warga kabupaten di Jatim itu, Pakasa identik masyarakat adat yang mengenakan perpaduan antara kostum “Panaragan” dan “Jawi jangkep”, sebagai simbol identitas kawula Kraton Mataram Surakarta sejak tahun 1745 (M).
Tetapi, ketika Pakasa berkembang ke luar wilayah Surakarta dan lahir Pakasa Cabang Ponorogo dan sebagainya, sejumlah Pakasa cabang di wilayah Surakarta justru semakin suram perkembangannya. Selain karena pergantian generasi secara alami, banyak yang mengalami perpecahan karena di antara pengurus berebut posisi ketua, yang membuatnya justru semakin suram dan vakum.
Pakasa Cabang Klaten, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo dan Wonogiri mulai mengalami guncangan pada akhir periode 2004-2017. Bahkan, bertambah runyam karena atensi kontestasi politik Pilkada dan Pilpres, dan tiga tahun “digilas” pandemi Corona. Sampai saat itu, Kota Surakarta justru tak pernah punya pengurus Pakasa, karena sama sekali belum pernah dibentuk.
Periode 2017-2022, ketika Kraton Mataram Surakarta dilanda prahara “insiden mirip operasi militer” 15 April 2017 pada saat Presiden Jokowi memimpin NKRI ini, di satu sisi kraton benar-benar “nyaris tenggelam”. Ibarat sedang dilanda banjir, setelah tergulung air bah, tinggal kelihatan kepalanya belepotan lumpur muncul di atas air. Tetapi, ada pelajaran baik yang muncul.
Pelajaran baik yang bisa dipetik adalah, prahara “banjir-bandang” yang menggulung Kraton Mataram Surakarta secara simbolik, seperti “menghipnotis” Sinuhun Suryo Partono dan kelompoknya. Tanpa mereka sadari, “banjir-bandang” datang membawa bantuan “dana hibah” yang bisa untuk beli mobil Pajero itu, ternyata ditumpangi simpati yang “membuatnya sesat dan tampak bodoh”.
Di sisi lain, “banjir-bandang” akibat “insiden mirip operasi militer” 15 April 2017 itu menjadikan Gusti Moeng dan hampir semua jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang setia kepadanya, “terlempar” ke luar kraton. Kerja adat dalam masa “pengembaraan” sejak 15 April 2017 itu masih “digilas” dengan pandemi Corona, sehingga ada yang tidak kuat “menderita” dan sulit bersikap.
Dalam suasana seperti ini, Pakasa justru bisa tumbuh dan berkembang subur. Dalam periode 2017-2022, jumlah pengurus cabang yang ditetapkan bisa menjadi lebih 20-an daerah kabupaten/kota. Anggotanyapun tentu bertambah, seiring dengan pertambahan jumlah cabang. Pertumbuhan Pakasa cabang yang meluas, seiring dengan munculnya basis kegiatan haul di berbagai daerah. (Won Poerwono – bersambung/i1)