Mulai Abad 16, China Menularkan Ketrampilan Memasak dan Ukir Kayu
SURAKARTA, iMNews.id – Belasan mahasiswa Xihua University, China, Kamis siang (18/7) kemarin berkunjung ke Kraton Mataram Surakarta. Para mahasiswa program “Kursus Budaya Jawa” yang dibuka Jurusan Sastra FIB UNS itu, mendapat penjelasan singkat tentang Budaya Jawa oleh GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA.
Rombongan yang diantar Dr Yusana Sasanti Dadtun selaku ketua program/rombongan, diterima Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) selaku tuan rumah pimpinan “Bebadan Kabinet 2004”, di eks Kantor Sinuhun PB XI. Kedatangan para mahasiswa ini “Negeri Tirai Bambu” ini, menambah sejarah hubungan antara Kraton Mataram Surakarta dengan Republik China.
Dalam kesempatan memberi sambutan di depan para tamunya itu, Gusti Moeng menjelaskan banyak hal secara singkat tentang sejarah kraton, berbagai kegiatan menjalankan adat tradisi yang ada di kraton rutin tiap tahun sepanjang waktu hingga kini, juga sampai pada posisi kraton di alam republik. Gusti Moeng juga menyinggung hubungan antara kraton dengan Republik China.
Dari berbagai data manuskrip yang pernah dieksplorasi, nyaris tidak ada hubungan langsung antara Kraton Mataram Surakarta dengan Republik China secara kelembagaan pemerintahan melalui pimpinan kedua pihak. Tetapi, ada beberapa data yang membuktikan terjadinya hubungan atau pengaruh antara budaya Jawa yang bersumber dari kraton dengan budaya China.
Tetapi hubungan riil yang pernah terjadi di luar kelembagaan masing-masing atau “non goverment organization” (NGO), pernah dilakukan antara Kraton Mataram Surakarta dengan sebuah konsursium hubungan budaya dan ekonomi beranggotakan China, Inggris, Singapura, Malaysia dan Indonesia (Kraton Mataram Surakarta). Hibungan itu terjadi sejak 2004 hingga kini.
Hubungan kebudayaan secara riil, seperti disebut dalam kajian sejarah Dr Purwadi pada sejarah perjalanan Kabupaten Kudus, sebagai salah satu contohnya. Yaitu terbentuknya kabupaten ini menjadi pusat industri dan niaga sejak zaman Sunan Kudus (Wali Sanga), setidaknya mulai abad 14-15. Kudus menjadi kota industri dan dagang maju dibanding daerah-daerah sekitarnya.
“Kemajuan Kudus menjadi surut dan selalu diberi stigma negatif dari fakta sesungguhnya yang serba positif dan bermanfaat itu, karena ulah para politisi berhaluan kiri sejak sebelum 1945 (NKRI lahir-Red). Kudus sebagai basis wilayah pengaruh Sunan (Sunan Kudus dan Muria), selalu dibenturkan dengan Kabupaten Pati sebagai basis tokoh leluhur dinasti di luar Wali Sanga”.
“Cara membenturkannya melalui narasi yang dibangun dalam cerita-cerita ketoprak yang dipentaskan. Ada hubungan kemitraan dalam menyusun skenario cerita-cerita yang membenturkan citra Kudus dengan Pati yang berlatar-belakang Dinasti Mataram di satu sisi. Kemudian dibenturkan dengan Dinasti Mataram mulai Kartasura dan Surakarta, secara langsung,” ujar Dr Purwadi.
Tetapi, lanjutnya, dalam soal hubungan antara China dengan kraton, sudah terjadi sejak zaman Kraton Demak, melalui seni kerajinan ukir (sungging) dan kegiatan dagang atau niaga. Kejayaan Kudus dalam soal religi, pusat dagang dan industri masih berlanjut sampai sekarang. Dari situ ada nama The Ling Sing, saudagar China yang berpengaruh di Kudus.
“Pelabuhan di Lasem, Rembang, dulu digunakan untuk keluar-masuk para saudagar dari China maupun komoditas-komoditas kayu dan mebel ukir serta beberapa jenis produk insdustri saat itu dari Jepara, Grobogan dan sebagainya. Banyak Bupati dan keluarga Raja yang menangani administrasi keluar-masuknya barang, produk industri dan orang di beberapa pelabuhan di Jawa,” tambahnya.
Perihal hubungan budaya dan ekonomi itu, secara tidak langsung juga diakui KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro selaku Ketua Pakasa Cabang Kudus. Menurutnya, tokoh saudagar China bernama The Ling Sing yang kemudian banyak dikenal dengan Kyai Telising itu, adalah tokoh yang kali pertama mengajarkan ketrampilan ukir (sungging) kayu kepada warga Kudus.
“Jadi, ketrampilan seni ukir itu justru kali berawal dari Kudus. Yang mengajarkan ngukir atau nyungging, Kyai Telising. Karena di Kudus lebih berkembang santrinya atau urusan ngajinya, maka banyak tempat kerajinan ukir berubah menjadi pesantren. Jadi, para pengrajin ukir pada pindah ke Jepara. Ayah saya dulu juragan kayu jati, bahan ukir,” ujar KRA Panembahan Didik.
Ketua Pakasa Cabang Kudus itu juga mencontohkan, sampai kini Kudus masih punya banyak perusahaan yang sukses dan kaya, sebagai peninggalan industri zaman para Wali Sanga. Banyak pengusaha berkelas nasional di bidang industri rokok, produk elektronik, perusahaan percetakan negara dan sebagainya sukses, karena semboyannya “Bagus, Ngaji, Dagang” (Gusjigang-Red)
Dari kajian sejarah Dr Purwadi, Hubungan budaya China dan Jawa juga terjadi pada zaman Kraton Mataram ketika berIbu Kota di Kartasura (1601-1745). Yaitu ketika Sinuhun Amangkurat Jawi mengirim sejumlah juru masak istana sebagai utusan kraton, untuk belajar cara-cara memasak dan mengadopsi beberapa menu resep masakan China.
Tidak hanya itu, secara khusus Sinuhun Amangkurat Jawi juga mengirim kalangan abdi-dalem usia muda untuk belajar mengukir ke China. Salah satu kelompok abdi-dalem yang diutus belajar “nyungging” di China itu berasal dari Jepara. Hasil pengetahuan yang didapat dari belajar ke China itu, wilayah yang dekat dengan Ibu Kota Kartasura, yaitu sekitar Baki, kaya menu masakan.
Baki yang kini menjadi satu kecamatan tersendiri di wilayah Kabupaten Sukoharjo, hingga kini masih memiliki masakan khas yang tersisa, yaitu nasi liwet dengan lauk sambel goreng jepan. Setelah Sinuhun Amangkurat Jawi merintis pengembangan ketrampilan rakyatnya, Sinuhun PB II yang meneruskan telah membukukan ratusan resep masakan seperti yang tertulis dalam “Serat Centhini”.
“Serat Centhini” adalah naskah manuskrip yang secara khusus ditulis pada zaman Sinuhun PB V, untuk merangkum hasil penemuan dan pengumpulan resep-resep menu masakah khas Kraton Mataram Kartasura hingga Mataram Surakarta yang jumlahnya lebih dari 350 resep menu masakan. Resep menu masakan itu termasuk gudeg dan sambel goreng cecek, ayam panggang daun talas dan sebagainya.
“Maka, Kraton Mataram Kartasura mewariskan Mataram Surakarta resep masakan yang luar biasa lezat, banyak macamnya dan berkelas. Yang termasuk gudeg itu. Wilayah (Kabupaten) Ngawi, Madiun, Nganjuk dan sekitarnya, menjadi daerah pemasuk kebutuhan sayur-mayur bagi Kraton Mataram Kartasura hingga Mataram Surakarta,” ujar Dr Purwadi. (won-i1)