Karena Tidak Paham Sejarah, Rekonstruksi “Boyong Natapraja” Jadi Tidak Proporsional dan Rasional
NGANJUK, iMNews.id – Setelah beberapa kali Pemkab Nganjuk (Jatim) menggelar sebuah rekonstruksi peristiwa sejarah terbentuknya Kabupaten Nganjuk dalam wujud kirab budaya, untuk kali pertama Pemkab menggelar ritual serupa melibatkan Kraton Mataram Surakarta. Tetapi tak jelas apa yang sudah dipahami, namun wujud kirab yang digelar Kamis sore (6/6), banyak yang tak rasional.
Dalam barisan kirab yang panjang dan diperkirakan melibatkan lebih dari 500 orang itu, Pemkab yang diduga melalui “event organizer” atau “EO”, berusaha “mencoba melukiskan” rekonstruksi sejarah peradaban yang melahirkan Kabupaten Nganjuk. Entah Siapa yang menyusun rekonstruksi sejarah yang selama ini dipedomani Pemkab, Nganjuk dianggap identik dengan Empu Sendok.
Simbol-simbol peradaban abad 10 yang melukiskan kisah Empu Sendok dan kehidupan peradaban saat itu memang nyaris tidak muncul dalam barisan kirab. Tetapi, nama tokoh yang terkenal pada zaman antara Kraton Mataram Kuno (abad 10) dengan Kraton Kahuripan (abad 11), sebelum Kraton Kediri (abad 12) ini, dianggap banyak berperan terhadap eksistensi masyarakat Kabupaten Nganjuk.
“Ini salah satu yang saya anggap kurang rasional. Terlalu jauh kalau eksistensi Kabupaten Nganjuk dianggap berhubungan dengan masa peradaban Empu Sendok. Masyarakat akan semakin bingung membayangkan ciri-ciri kehidupan peradaban Empu Sendok. Karena, dalam kehidupan sekarang ini nyaris tak ada yang bisa diidentifikasi sebagai peninggalan Empu Sendok di Nganjuk”.
“Dari simbol-simbolnya yang tampak pada kirab budaya ini, juga nyaris tidak ada tanda-tanda yang bisa diyakini sebagai karya Empu Sendok di Nganjuk. Menurut saya, Empu Sendok hanya lewat Nganjuk saat menuju Kraton kahuripan. Yang namanya orang lewat, tentu bisa diperkirakan intensitas pengaruhnya untuk mewarnai peradaban di Nganjuk,” ujar Dr Purwadi.
Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja ini, mengenakan busana adat Jawa lengkap ketika berada dalam barisan Bregada Prajurit Tamtama dan Korsik Drumbandnya, yang memandu langkah beberapa bragada prajurit lain dari Kraton Mataram Surakarta. Kehadiran kraton juga menjadi satu dengan tampilnya warga Pakasa Cabang Nganjuk yang diketuai KRAT Sukoco, Kamis sore kemarin.
Menurut Dr Purwadi yang bersama iMNews.id ikut mengawal kontingen “Kraton Mataram Surakarta” pada kirab budaya Kamis sore kemarin, menggali sejarah eksistensi Kabupaten Nganjuk lebih jelas dan detil dari sudut perjalanan sejarah Kraton Mataram Surakarta. Karena, Kabupaten Nganjuk menjadi wilayah kedaulatan Kraton Mataram sejak Panembahan Senapati (1588-1601).
Wilayah Nganjuk yang “diduga” menjadi Ibu Kota baru setelah wilayah (kini kecamatan-Red) Berbek, memang sudah ada sejak zaman Kraton Majapahit (abad 14) atau Kraton Demak (abad 15). Tetapi baru tertata menjadi satu wilayah administrasi pemerintahan sejak zaman Sinuhun Amangkurat IV, dan Kabupaten Nganjuk resmi didirikan RT Adipati Sasrakusuma pada tanggal 10 April 1720.
“Ini riil dan sangat rasional. (RT Adipati) Sasrakusuma itu Bupati pertama Nganjuk dan sebagai tokoh pendiri kabupaten ini. Yang melantik Bupati pertama itu, Sinuhun Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi (1719-1726). Maka, ciri-ciri peradaban yang mudah dikenali di masyarakat Nganjuk, adalah ciri-ciri Mataram yang dekat sekali dengan Mataram Surakarta,” ujar Dr Purwadi.
Turunnya utusan Kraton Mataram Surakarta berupa beberapa bregada prajurit dan korsik drumband serta elemen masyarakat adat Pakasa Cabang Nganjuk, melengkapi keragaman warna simbol-simbol yang tampak pada barisan kirab budaya peringatan hari jadi ke-1087 Kabupaten Nganjuk. Dalam situs internet, hari jadi itu dihitung dari tanggal 10 April tahun 937 Masehi atau abad 10.
Visualisasi dari pemahaman tentang peradaban Empu Sendok memang nyaris tidak tampak ciri-ciri simbolnya, tetapi di situ ada ciri-ciri simbol Mataram Islam saat berIbu Kota di Kartasura. Simbol-simbol itu diperagakan sejumlah peserta kirab yang mungkin beranggapan sebagai ciri simbol busana “Bupati Manca” pada zaman Empu Sendok maupun Mataram Islam.
Walau simbol-simbol itu ikut menambah keragaman warna budaya pada event kirab budaya “boyong natapraja”, Kamis siang kemarin, tetapi simbol-simbol yang ditampilkan itu tidak tepat atau salah persepsi. Karena menurut KP Budayaningrat (dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Surakarta), busana yang dikenakan itu adalah busana “pesisiran” bukan untuk pejabat Bupati.
Pemandangan yang tidak proporsional dan tidak rasional yang ditampilkan pada kirab, juga tampak di sejumlah atribut yang dikenakan atau dibawa para pesertanya. Tetapi, simbol-simbol pengaruh Empu Sendok pada peradaban abad 10 di Kabupaten Nganjuk, sama sekali tidak tampak. Yang tampak justru kehadiran rombongan utusan-dalem dari Kraton Mataram Surakarta.
Walau penampilan prajuritnya ada yang lanjut usia dan banyak dikomentari penonton yang berdesak-desak sepanjang rute kirab sekitar 2 KM itu, tetapi penampilan yang meliputi kostum, vandel umbul-umbul identitas dan ragam suara aransemen musik drumbandnnya, sungguh mencuri perhatian. Penyelenggara mengidentifikasi peserta ini sebagai “Bregada Ungel-ungelan”.
Belum lagi penampilan KRAT Sukoco (Ketua Pakasa Cabang Nganjuk) yang memperagakan busana “Bupati Manca” Mataram Surakarta, cukup indah, anggun dan tampak agung walau tidak direkomendasikan hadir dalam proporsi itu. Namun KRAT Sukoco berharap, kirab budaya yang menggandeng kraton dan Pakasa cabang, akan berlanjut kerjasamanya dengan kualitas yang lebih baik di tahun depan. (won-i1).