Peristiwa yang Lebih dari Sekadar Memaknai “Weton Pasaran” dan Hari Kelahiran
IMNEWS.ID – SENIN Kliwon (13/5) “malem” Selasa Legi, adalah malam menjelang “weton pasaran” dan hari kelahiran Sinuhun Paku Buwana (PB) XII yang jumeneng nata selama 59 tahun (1945-2004) di Kraton Mataram Surakarta. Bagi masyarakat adat peradaban/budaya Jawa, hari kelahiran yang tepat tiba “weton pasarannya”, selalu diperingati dalam ritual tertentu.
Perilaku spiritual kebatinan yang penuh makna “ketuhanan” itu, dilakukan masyarakat Jawa apalagi di kalangan Raja dan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya budaya Jawa. Sebagai salah satu cara untuk selalu mengingat kehadiran (kelahiran)-nya di dunia, dan selalu bersyukur karena telah diizinkan Allah SWT menikmati kehidupan di dunia.
Peringatan “weton pasaran” dan hari kelahiran, juga mengandung makna untuk selalu mengingatkan bahwa insan pemiliknya selalu diingatkan dari mana asal-usulnya dan karenanya wajib berterma kasih kepada kedua orang-tua yang telah melahirkan dirinya ke dunia. Semua rangkaian cara berbhakti melalui peringatan weton kelahiran itu, arahnya tertuju pada Tuhan YME.
Sama seperti saat insan peradaban/budaya Jawa, terutama di lingkungan kraton, begitu keluar dari rahim sang ibu, lalu disambut dengan doa, dan setelah “sepasar” (lima hari) diberi nama, disertai seperangkat untuk mendukung ungkapan doa. Sepaket “uba-rampe” berupa “inthuk-inthuk” dan “kembang setaman” itu, adalah perwujudan doa dan harapan untuk si bayi.
“Kisah” mengenai “hilangnya” berbagai ekspresi spiritual kebatinan dan religi atau doa dari “pancaran seni budaya” Jawa yang bersumber dari kraton (Mataram Surakarta), sangatlah kompleks faktor penyebab dan pengaruhnya. Nasibnya kurang lebih sama yang dialami berbagai produk seni budaya/peradaban lainnya, seperti yang terurai pada tulisan lain iMNews.id, 14/5.
Namun hingga kini masih ada sisa-sisa dari masyarakat Jawa di berbagai pelosok yang setia melakukan cara-cara “beretika, berlogika dan berestetika” itu dalam menandai setiap peristiwa dalam kehidupanannya. Keberadaan berbagai elemen seperti Pakasa cabang, diharapkan tetap melestarikan perilaku bernilai kemanusiaan sekaligus penuh nilai-nilai ketuhanan itu.
Yang jelas, di tahun 2024 ini “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta sudah berhasil menggelar kembali “Konser Orkestra Musik Karawitan” untuk memperingati “weton pasaran” dan hari kelahiran Sinuhun PB XII yaitu “Selasa Legi”, tetapi pertunjukan konser itu digelar malam menjelang yaitu hari Senin “malem” Selasa.
Ajang gelar konser karawitan “weton” Selasa legi itu, tidak lain adalah Bangsal Smarakata, tempat yang sangat ideal untuk gelar karya seni khas Mataram Surakarta berukuran “sedang”, terutama dari sisi daya tampung penyaji dan penontonnya. Karena, kraton punya koleksi karya seni pertunjukan yang salah satu syaratnya, butuh tempat berdaya tampung besar.
Dua kali gelar “konser orkestra musik karawitan” untuk weton kelahiran Sinuhun PB XII yang sudah kembali terlaksana itu, adalah “malem” Selasa Legi di bulan Ramadhan dan “malem” Selasa Legi, 13 Mei lalu. Tradisi gelar konser karawitan ini adalah lanjutan yang sudah pernah dilakukan selama Sinuhun PB XII jumeneng nata, sebelum hingga pasca ada NKRI.
Namun, Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) menyatakan, kegiatan konser karawitan “weton Selasa Legi” itu beberapa kali terhenti masing-masing dalam waktu cukup lama. Misalnya, saat di Surakarta dilanda pergolakan (pertumpahan darah) di sekitar tahun 1945, aktivitas penculikan tokoh-tokoh kraton di tahun 1946-1948, dan juga G30S/PKI tahun 1965.
Dalam catatan GKR Wandansari Koes Moertiyah saat wawancara untuk siaran live streaming konser karawitan, Senin malam (13/5) itu menyebutkan, waktu panjang di akhir-kahir zaman rezim Orde Baru aktivitas konser karawitan juga sering libur panjang. Tahun 2004 dimulainya era Sinuhun Suryo Partono, peringatan wetonnya berupa pentas wayang kulit di Bale Agung.
“Jadi, baru tahun 2011 konser karawitan weton wiyosan malem Selasa Legi diaktifkan kembali. Sebelumnya, berarti sudah 8 tahun tidak ada. Dulu, konser karawitan selalu disiarkan langsung bekerjasama dengan RRI (Stasiun Surakarta). Sejak 2017,
konser libur panjang lagi sampai tahun 2022 saya bisa masuk kraton lagi, dan baru sekarang bisa dimulai”.
“Untuk tahun 2024 ini, konser karawitan weton wiyosan Sinuhun PB XII berarti sudah terlaksana dua kali, sampai di malam ini. Mudah-mudahan, kegiatan seni yang menjadi roh dan nafas kehidupan kraton ini bisa berjalan terus sampai akhir zaman. Tetapi, sekarang bisa disiarkan secara live streaming. Jadi, tidak disiarkan RRI (Stasiun) Surakarta,” ujar Gusti Moeng.
Dan benar saja, pertunjukan seni “Konser Orkestra Musik Karawitan” peringatan “weton wiyosan” Sinuhun PB XII, Senin malam (13/5) itu, terkesan semakin menambah Kraton Mataram Surakarta “lebih hidup” dan “bernyawa”. Karena, selama enam tahun (2017-2022) kraton dibiarkan “kosong seperti tak bernyawa””, sepi tetapi “serem” yang mengesankan seperti tanpa kehidupan.
Selama itu, kraton tak terdengar ada gamelan iringan latihan tari, konser karawitan weton, tanpa upacara adat “ngisis wayang” yang biasanya berbareng dengan gladen tari Bedaya Ketawang, sepi dari lalu-lintas pengunjung Sasana Pustaka dan tanpa berbagai kegiatan yang sebenarnya menjadi “nyawa” atau “roh” kehidupan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta.
Maka, “malem Selasa Legi” kedua, Senin malam (13/5) Mei itu, Kraton Mataram Surakarta kembali mencatat sejarah, karena konser karawitan weton Selasa Legi kembali berjalan. Suasana di Bangsal Smarakata malam itu semakin terasa “bernyawa”, karena “roh” kehidupan kraton sudah kembali bersemayam di situ dan membuat seluruh bagian kraton seakan “hidup kembali”.
Di tempat yang selalu dijadikan pusat transit dan kegiatan-kegiatan koordinatif setiap upacara adat selain gladen tari dan karawitan kantor Keparak Mandra Budaya dan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta, malam itu kembali bersinar setelah dijadikan ajang gelar peringatan Hari Tari Dunia (HTD) ke-18 oleh Bebadan Kabinet 2004, tepat pada 29 April.
Sinar penerangan memang ikut membangun suasana di “malem Selasa Legi” itu, membuat sajian empat gendhing utama konser karawitan malam itu terasa syahdu tetapi wingit. Alunan sepasang gamelan pusaka Kiai Mangunsih (Slendro) dan Kiai Pamedarsih (Pelog), terdengar “pulen” tetapi seakan menghipnotis, bisa menghanyutkan pikiran ke alam bawah sadar.
KPH Raditya Lintang Sasangka selaku “tindhih” abdi-dalem karawitan pada konser malam itu, juga peran Dr KRT Joko Daryanto bersama sejumlah timnya untuk menentukan pilihan gendhing yang tersaji malam itu, sungguh terasa benar-benar memadukan empat karakter gendhing yang disajikan malam itu. Mulai dari yang halus menusuk kalbu, sampai yang bikin hati “renyah”.
Di antara Gendhing “Sindhenan Srimpi Dhempel”, Gendhing “Ima-ima”, Gendhing “Montro Kendho” dan Gendhing “Ladrang Rangu Asmara” sebagai sajian gendhing utama malam itu, punya kekuatan menghanyutkan kesadaran pikiran para penikmat ke alam bawah sadarnya. Apalagi, rata-rata tiap gendhing, disajikan dalam durasi 30 menit alias utuh.
Ada 30-an seniman abdi-dalem Keparak Mandra Budaya yang terlibat, baik sebagai penabuh berbagai instrumen gamelan Slendro dan Pelog itu, maupun sebagai “wiraswara” (vokalis pria). Masih ditambah lima pesindhen abdi-dalem, dua di antaranya adalah pesinden senior abdi-dalem kraton yang tersisa, yaitu Nyi Cendani Laras dan Nyi Puspita Laras. (Won Poerwono-bersambung/i1).