HTD Digelar Kraton Surakarta, di Saat Publik Penasaran Membutikan “Hebatnya” Timnas RI di Piala Asia
IMNEWS.ID – TANGGAL 29 April 2024 lalu, peringatan “Hari Tari Dunia” (HTD) ke-18 dilakukan berbagai kelompok seni, pekerja seni, sanggar dan lembaga pendidikan khusus seni secara serentak di Tanah Air. Setidaknya, ada pusat-pusat pendidikan dan seniman tari yang sangat berkepentingan menggelar kegiatan untuk memperingati HTD, bersamaan dengan beberapa negara lain.
Kampus ISI Surakarta, SMKN 8 Surakarta, Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS) menjadi pusat sekaligus motor penggerak kegiatan peringatan “hari besar seni tari” itu, yang jatuh tiap tanggal 29 April. Di Tanah Air, setidaknya ada kampus ISI Jogja, ISI Denpasar (Bali), ISI Padangpanjang (Sumbar), ISI Bandung (Jabar) bersama SMK-nya di kotanya.
Sebagai ilustrasi, selain di lima provinsi itu, pemerintah di zaman Orde Baru juga mengembangkan lembaga sekolah (SMK) di bidang seni di antaranya tari, di Surabaya dan Banyuwangi (Jatim), Banyumas (Jateng) dan Cirebon dan Bandung (Jabar). Kemudian beberapa kota lain provinsi berbeda, bahkan ada lagi di luar Jawa selain SMKN Padangpanjang dan SMKN Denpasar.
Ketika diidentifikasi, dari lima kampus ISI dan sejumlah SMKN terutama yang mempunyai jurusan seni tari, hampir bisa dipastikan sangat dekat kraton, atau berada di lingkungan/wilayah pusat budaya yang pernah ada kratonnya. Kraton Mataram Surakarta, jelas sangat dekat kampus ISI dan SMKN-nya, begitu Kraton Jogja, Puri Denpasar dan eks-Kraton Pejajaran.
Walau ISI dan SMKN Bandung kini tidak memiliki kraton lagi, tetapi Kraton Pajajaran, Siliwangi, Banten dan sebagainya meninggalkan warisan dan pengaruh seni budaya yang menyatu dalam kehidupan masyarakatnya dan lestari hingga kini. Surakarta juga menjadi perkecualian dalam soal daya dukung seni, karena punya TBS selain kampus ISI dan SMKN.
Kota Surakarta yang pernah menjadi Ibu Kota “negara” Mataram Surakarta dan penerus Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung dan Panembahan Senapati selaku pendiri Dinasti Mataram, punya perkecualian lagi, khususnya dalam potensi seni tari. Karena, pusat dan sumber Budaya Jawa di Kota Surakarta ini juga dilengkapi Kadipaten Mangkunegaran yang punya Asga.
Perkecualian seperti ini, juga dimiliki Kota Jogja, karena di sana ada kraton, Kadipaten Pakualaman, kampus ISI, SMKN dan lembaga mirip TBS. Meskipun dari sisi kekayaan seni misalnya, tari, masih kalah dengan Kraton Mataram Surakarta. Karena, kraton yang pernah eksis 200 tahun (1745-1945) ini, punya tari Bedaya Ketawang yang tidak dimiliki kraton lain.
Dengan melihat potensi yang begitu besar dan luas, apalagi di DKI juga punya sebuah Institut Kesenian Jakarta (IKJ), seakan menjawab terwujudnya HTD yang dicetuskan dan banyak didukung insan seni dari Kota Surakarta. Bahkan selalu konsisten menggelar peringatan “hari besar seni dan budaya” itu, sampai semua kota bergerak dan beraksi mengikutinya.
Dalam beberapa kali HTD, kampus pusat ISI Surakarta dan “markas seni” TBS yang selalu menjadi pusat peringatan dan pusat “pergerakan seni” tari HTD semakin dipadati para peserta yang datang dari berbagai daera sampai tahun 20202 lalu. Semakin berkurangnya daya tampung itulah yang mungkin menjadi alasan, peringatan HTD bisa dilakukan di luar dua pusat seni itu.
Saat peringatan HTD ke-17 tahun 2023, Kraton Mataram Surakarta masih ikut tampil di pendapa kampus ISI, Kentingan, Jebres. Waktu itu, Gusti Moeng (pimpinan Sanggar Beksa Kraton Mataram Surakarta) selaku pimpinan rombongan, menyajikan tari “Bedhaya Duradasih”, lengkap dengan prosesi ritual menyertakan rebab gading Kiai Pamedharsih, dalam karawitan iringan.
Tetapi pada peringatan HTD ke-18, 29 April lalu, peta kegiatan peringatan HTD berubah total dan melebar, tidak terpusat di kampus ISI dan TBS, Kentingan, melainkan di berbagai tempat yang memadai untuk pentas. Maka, di Jalan Slamet Riyadi, di eks-Taman Sriwedari, di lingkungan Kadipaten Mangkunegaran dan di Kraton Mataram Surakarta juga menggelar peringatan HTD.
Kerepotan kampus ISI dan “markas seni” TBS, justru menjadi keleluasaan Kraton Mataram Surakarta untuk menggelar karya-karya tari koleksinya sendiri, di markasnya sendiri dan bisa dinikmati secara leluasa oleh masyarakat adatnya sendiri dalam jumlah banyak. Bahkan bisa menampung animo masyarakat yang mencari tempat lebih prestisius untuk menyaksikannya.
Dan benar, Kraton Mataram Surakarta yang menggelar pertunjukan beberapa repertoar (judul) tari klasik khas kraton Senin malam (29/4) itu, menjadi sebuah momentum peristiwa tersendiri dan luar biasa, walaupun tempat yang digunakan hanya Bangsal Smarakata. “Panggung” pertunjukan yang sangat prestisius itu, memang hanya bisa menampung sekitar 200-an penonton.
“Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah itu, menambah catatan sejarah bagi kraton, hanya beberapa waktu setelah kraton ditutup lebih 5 tahun dan “dikuasai” sekelompok orang pengikut Sinuhun Suryo Partono sejak April 2017. Antara 2017-2022 itu, “kraton” yang “dibiayai” pemerintah, malah “lumpuh” dan “seperti tidak berguna”.
Begitu ada peristiwa “insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022 dan kembali tampil di HTD ke-17 pada April 2023, membuat nama besar Mataram Surakarta “kembali benar-benar berguna”. Apalagi, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA yang juga pimpinan Sanggar Pawiyatan Beksa, menghadirkan sajian tari dilengkapi prosesi kebesarannya.
Sangat diyakini, Bangsal Smarakata dipilih menjadi ajang/panggung pertunjukan HTD ke-18 malam itu, pasti ada alasannya, setidaknya sebagai cara mengetes atau “cek ombak” situasinya. Mengingat, kraton memiliki beberapa lokasi pentas yang lebih memenuhi sejumlah syarat, misalnya Pendapa Pagelaran Sasana Semewa yang bisa menampung penonton 5 ribu orang.
Tetapi upaya “cek ombak” atas situasi dan kondisi pada Senin Legi, 29 April itu mendapatkan berhasil nyata. Karena, di malam peringatan HTD itu, tepat saat pertandingan kesebelasan Timnas RI melawan Timnas Korsel, yang disiarkan secara langsung oleh sejumlah stasiun TV. Artinya, kegiatan HTD malam itu digelar “melawan” siaran pertandingan Piala Asia U-23.
“Hasil nyata” yang dimaksud adalah, antisipasi “Bebadan Kabinet 2004” yang memilih Bangsal Smarakata sebagai ajang pementasan beberapa repertoar tari untuk menyambut HTD 2024, jelas tidak sia-sia. Karena, dari 200-an kursi yang disediakan sampai di luar teras bangunan itu, masih terdapat sejumlah kursi kosong sampai seluruh sajian HTD berakhir.
Ketika dijelaskan lebih lanjut, seandainya sajian menyambut HTD itu digelar di tempat lain yang lebih luas misalnya Pendapa Sasana Mulya yang kini sedang direnovasi, Pendapa Sitinggil Lor, apalagi Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, akan semakin terasa sia-sia karena penontonnya sedikit atau akan banyak kursi kosong kalau tidak disaksikan secara “lesehan”.
Terlepas dari masih ada berbagai upaya untuk “menyiasati” agar anmimo penonton kesenian tradisi khas kraton lebih unggul dari siaran pertandingan sepak-bola, trend suasana umum di Tanah Air saat itu memang sedang “penasaran”. Bangsa ini ingin membuktikan kemampuan pelatih Sin Tae Yong, bisa membawa Timnas RI U-23 ke tahap delapan besar Piala Asia tersebut.
Ini juga berarti, bahwa suasana psikologi bangsa Indonesia pada umumnya, terutama kalangan generasi muda di berbagai kota seperti Surakarta, sedang ingin membuktikan rasa tidak percayanya, bahwa Timnas RI bisa lolos sampai 8 besar. Maka dari itu, peringatan HTD yang digelar kraton atau beberapa tempat lain, “dipaksa mengalah” oleh siaran pertandingan sepakbola. (Won Poerwono-bersambung/i1).