Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 30, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 2 – bersambung)
BERBICARA SEARAH : Saat "sesorah" di forum sarasehan yang digelar di kompleks situs "Sela Gilanglipuro", Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Bantul (DIY), Gusti Moeng hanya bisa berbicara searah. Forum edukasi itu tidak membuka ruang tanya-jawab yang bisa meningkat menjadi pemahaman pengetahuan sejarah. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Gusti Moeng Sanggup Hadir Menyemarakkan Ritual Haul Kali Pertama yang Akan Digelar

IMNEWS.ID – DI forum sarasehan “Gendu-gendu Rasa” yang digelar Komunitas Purnaman Gilanglipuro, Bantul, DIY di kompleks prasasti “watu gilang” atau Sela Gilanglipura di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantuk, Rabu Legi malam (24/4) lalu (iMNews.id, 29/4), Gusti Moeng yang diundang sebagai pembicara sempat berjanji.

Di depan sekitar lebih dari 70 peserta sarasehan, Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat yang pernah menjadi anggota DPR RI dua periode terpisah itu, berjanji akan hadir memeriahkan ritual haul atau khol Panembahan Senapati, yang kelak akan digelar masyarakat adat sekitar kompleks prasasti “Sela Gilanglipuro”.

“Nanti perlu dicari tanggal dan bulan wafat eyang Panembahan Senapati. Tanggal dan bulan dalam kalender Jawa ya. Itu yang akan menjadi pathokan diselenggarakannya haul atau khol surut-dalem. Upacara adat ini mudah-mudahan bisa mewujudkan harapan masyarakat menjadikan desa ini sebagai Kampung Budaya Mandiri”.

BUKAN WARGA : Sekitar 50-an peserta forum sarasehan yang digelar di kompleks situs “Sela Gilanglipuro”, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Bantul (DIY) selain 30-an orang rombongan yang dibawa Gusti Moeng dari Kraton Mataram Surakarta, ternyata bukan warga sekitar prasasti. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Selain itu, melalui upacara adat ini mudah-mudahan kelak memberi manfaat secara luas, utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, bagi setempat dan masyarakat Bantul pada umumnya. Tapi, masyarakat luas perlu tahu, objek apa yang ada di sini, dan bagaimana hubungannya dengan Mataram yang masih ada sampai kini”.

“Masyarakat perlu diedukasi, jangan hanya melihat kraton dari ‘tata lahir’ atau wujud fisik saja. Tetapi perlu dipahami secara ‘tata batin’ atau wujud non-fisiknya, begitu juga prosesnya. Jadi, ketika menghadapi segala macam informasi yang berkaitan dengan kraton, ‘kena ora percaya, ning aja maido’,” pinta tegas Gusti Moeng mengedukasi.

GKR Wandansari Koes Moertiyah menandaskan soal itu, ketika “sesorah”nya menyinggung rutinitas kerja adat yang dilakukan di lingkungan kraton yang yang “serba sakral” itu. Juga diungkapkan pengalamannya yang dicaci dan setengah “diteror”, karena dirinya menjadi salah satu pelaku yang berada di dalam kraton.

PARTISIPASI PENUH : Hampir semua kegiatan di Kraton Mataram Surakarta dan tempat-tempat lain yang berkait dengan sejarah Mataram, selalu mendapat partisipasi dan dukungan penuh publik masyarakat adat. Misalnya seperti keterlibatan warga Pakasa Cabang Ngawi, ketika ikut kerjabhakti resik-resik kraton, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Keberanian Gusti Moeng berbicara keras, tandas, “blak-blakan” berdasar data dan fakta di forum sarasehan dalam format “kedinasan” malam itu, terdengar sangat “menohok” pihak-pihak yang selama ini dianggap merugikan kraton, bahkan dianggap berusaha “menenggelamkan” Kraton Mataram Surakarta dari pergaulan nasional dan internasional.  

“Yang sudah-sudah, Gusti Moeng banyak berbicara di lingkungan formal, seperti DPRD (Jogja), kampus (UNY) dan lingkungan formal. Baru malam itu (Rabu malam, 24/4), beliau berbicara di tengah lingkungan masyarakat. Walaupun, yang hadir di forum itu, sifatnya kedinasan. Karena menggunakan anggaran Dinas Kebudayaan”.

“Tetapi, ya sama saja. Sama keras dan blak-blakan. Karena beliau sangat menguasai data dan faktanya. Jadi, punya dasar landasan berbicara yang kuat. Yang kemarin itu (Rabu, 24/4), meskipun kegiatan kedinasan, yang datang elemen masyarakat umum. Tetapi bukan masyarakat setempat,” ujar Dr Purwadi, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

SWADAYA MANDIRI : Berswadaya mandiri yang menjadi ikrar Kraton Mataram Surakarta untuk terus hidup sampai akhir zaman, juga diteladani kalangan Pakasa cabang. Misalnya, kirab budaya yang digelar Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin KRA Panembahan Didik ini, segala kegiatannya yang digelar selama ini benar-benar mandiri. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walaupun yang hadir pada forum sarasehan bukan dari kalangan kampus dan para wakil rakyat yang rata-rata sudah  mengenal Gusti Moeng, tetapi menurut Dr Purwadi beberapa elemen yang hadir malam itu warga dari luar Desa Gilangharjo. Masyarakat lingkungan sekitar prasasti itu hanya diwakili Lurah Gilangharjo, Drs Mardiyono.

“Jadi, acara itu tidak ada unsur partisipasi publik. Dan itu sudah umum terjadi di Jogja. Setiap ada kegiatan, selalu (diupayakan-Red) dibungkus dalam format kedinasan. Agar bisa dibiayai dengan uang negara, dana keistimewaan DIY. Dananya memang besar, tetapi hampir semua acara nyaris tidak ada partisipasi publik”.

“Karena modelnya begitu, banyak hal yang bersifat kewajaran tidak bisa dijangkau pengadaannya secara spontanitas. Karena, semua sudah dianggarkan sejak awal. Padahal, tidak semua kegiatan punya ragam kerepotan yang sama. Mosok, kehadiran Gusti Moeng dan rombongan sampai tidak dipikirkan pengadaan tempat transitnya,” tunjuk Dr Purwadi.

APALAGI JEPARA : Soal berswadaya mandiri menjalankan kegiatan terutama dalam rangka pelestarian budaya Jawa, contohlah dan teladanilah masyarakat adat Pakasa, apalagi Pakasa Cabang Jepara yang dipimpin KRA Bambang S Adiningrat (Ketua Pakasa Jepara), acara di luar provinsipun didukung penuh dengan kehadiran pasukannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peneliti sejarah dan penulis lebih dari 100 judul buku, termasuk “Biografi Sinuhun PB II” itu, mengaku banyak terlibat menginisiasi kegiatan Kraton Mataram Surakarta khususnya jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang ada di wilayah Jogja dan sekitarnya. Termasuk mengisi acara sarasehan Komunitas Purnaman Gilanglipuro itu.

Oleh sebab itu, dia juga bisa membandingkan dan menilai bahwa keras dan “vulgarnya” pernyataan Gusti Moeng berbicara di wilayah Jogja, bisa membuat masyarakat biasa sampai “terperangah” mendengarnya (iMNews.id, 25/4). Tetapi agak berbeda ketika yang mendengarkan kalangan warga kampus dan wakil rakyat di DPRD.

Warga Pakasa Cabang Jogja satu-satunya yang masih aktif itu, bisa membedakan antara berbagai kegiatan berbasis seni budaya di Jogja yang dibiayai negara, tapi nyaris tanpa partisipasi publik. Sedangkan kegiatan serupa di lingkungan Kraton Mataram Surakarta, selalu didukung publik terutama Pakasa, walau biayanya swadaya mandiri. (Won Poerwono-bersambung/i1).