Di Kraton Mataram Surakarta Juga Punya Gending Gandrung Mangungkung
IMNEWS.ID – MELIHAT citra visual sajian tari “Bedaya Ladrang Mangunkung” atau “Mangun-Kung” dan mencermati data-data kesejarahan yang menjadi pendukungnya, menurut sejarawan Widodo Aribowo yang baru saja meraih gelar “Doktor” di bidangnya, adalah bentuk visualisasi dari kehidupan para wanita dari lingkungan rakyat jelata yang dilatih menjadi prajurit. Dalam keseharian, para wanita yang rata-rata berasal dari kalangan keluarga petani itu direkrut menjadi prajurit laskar wanita di zaman KGPAA MN I, namun bukan prajurit pegawai tetap di Pura Mangkunegaran.
“Jadi, dalam kehidupan kesehariannya ketika tidak dibutuhkan untuk perang. prajurit wanita ini berada dalam lingkungan keluarga masing-masing. Ada yang petani, buruh tani, pedagang di pasar dan sebagainya. Intinya, mereka itu dari kalangan rakyat jelata. Tetapi militansinya saat menjalankan tugas perang, luar biasa. Ketrampilan olah gaman dan derak bela dirinya, luar biasa. Pokoknya, laskar prajurit wanita yang tangguh-lah,” papar sejarawan dari Akademi Seni Mangkunegaran (Asga) yang Sabtu lalu (18/6) diwisuda di UNS atas gelar doktor yang diraihnya secara cumlaude, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Pemahaman dan visualisasi dalam keseluruhan gerak dan alur penampilan tari Bedaya Ladrang Mangunkung yang dimiliki Roesini SKar selaku koreografer sekaligus penyusunnya, juga seperti yang dilukiskan Dr Widodo Aribowo itu. Hingga kostum dan simbol-simbol atribut/aksesoris yang dipilih untuk dikenakan para penarinya, juga jauh dari kesan elite. Termasuk pula karawitan dan gending iringan Ladrang Gati Mangungkung yang digarap Lumbini Trihasta dan kemudian didisempurnakan oleh Bambang Rawan Sajajar.
Untuk Sang Penerus
Walau durasi sajian tari ini sejak awal disusun tahun 2011 hanya 25 menit, namun tari Bedaya Ladrang Mangungkung memiliki ciri-ciri yang sama dengan rumpun “Bedayan” yang ada di Pura Mangkunegaran, yaitu formasi baku dan jumlah penarinya hanya 7 wanita. Formasi baku itu ada yang berada dalam posisi “batak”, “apit kiwa” dan “apit tengen”, “endel” dan sebagainya. Formasi baku seperti ini, juga sama dengan ciri “Bedayan” yang ada di “induknya” yaitu Kraton Mataram Surakarta, meskipun jumlah penarinya lebih banyak yaitu 9 orang, misalnya seperti tari Bedaya Ketawang yang merupakan jenis tarian paling elit dan paling tinggi tempatnya di antara lembaga masyarakat adat penerus Dinasti Mataram.
Dalam catatan Roesini SKar, repertoar tari baru ini belum genap lima kali alias baru 4 kali dipentaskan di beberapa tempat, terakhir di Pura Mangkunegaran untuk “pisungsung” atau dipersembahkan kepada SIJ KGPAA MN X yang bisa dijadikan “tetenger” atau penanda masa jumenengnya mulai 12 Maret 2022 (bukan 2023, iMNews.id-21/6-Red). Pisungsung seorang abdidalem Langen Praja itu juga punya makna sebagai legitimasi KGPAA MN X sebagai karya pada masa jumenengnya, yang tentu akan membanggakan banyak orang, mulai dari “Sang Adipati” MN X, penyusun, para penari abdidalem Langen Praja dan semua uang menjadi saksi sejarah pada peristiwa persembahan tari itu.
“Dari atas sana”, KGPAA MN IX yang menyaksikan peristiwa itu pasti akan bahagai dan bangga pula, karena seorang penerusnya yang notabene anak lelaki satu-satunya dari Sang Prameswari sudah jumeneng nata. Sebagai bukti penerus kebesaran tahta dan tanda kasih-sayangnya, sang ayah “rela” memberikan penanda berupa tari Bedaya Ladrang Mangungkung. Bagi banyak pihak terutama Roesini SKar, mungkin dianggap sebagai kebetulan, tetapi hukum keniscayaan telah membuktikan bahwa repertoar tari yang sedianya sebagai pisungsung untuk KGPAA MN IX, Tuhan YME ternyata menghendaki menjadi pisungsung untuk Sang Penerus, KGPAA MN X.
Hanya Seorang Penyusun
“Sejak mulai menyusun di tahun 2011, kemudian ada keinginan untuk segera menyelesaikan, pokoknya kok ya ada-ada saja halangannya. Menjelang selesai, maunye dikebut agar rampung tuntas, untuk segera saya pisungsungkan kepada Kanjeng Gusti (KGPAA MN IX), kok ternyata ada pendemi dan Kanjeng Gusti mendahului surut. Dan nyatanya, di tahun 2022 ini rampung total dan baru bisa saya pisungsungkan kepada yang jumeneng (KGPAA MN X). Meskipun memang ada yang perlu dirubah ke arah yang lebih pas. Saya setuju merubah simbol senjata yang menjadi ciri tarian ini, agar lebih kelihatan gagah,” sebut Roesini SKar setelah mendengar masukan Dr Widodo Aribowo bahwa senjata khas prajurit Ladrang Mangun-Kung adalah tombak ukuran pendek (iMNews.id, 21/6).
Sikap akomodatif Roesini SKar terhadap masukan dan saran dari luar, memang sudah menjadi kebiasaan para empu (keris, tari, karawitan, pedalangan dsb), bahkan para Pujangga Mataram yang notabene Pujangga Jawa yang bisa dicermati dalam karya-karyanya. Apalagi, Roesini sangat sadar bahwa dirinya lebih pas disebut penyusun ragam gerak, makna, cerita dan berbagai suasana pendukungnya dari yang sebelumnya sudah ada, yang ternyata juga banyak dilakukan para empu dan Pujangga serta orang-orang hebat pendahulunya.
Pengakuan jujur seperti itu bahkan diberikan GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng, yang telah memiliki beberapa karya di bidang tari yang telah disusunnya, yang tidak lepas dari ciri-ciri sangat khas Mataram Surakarta, misalnya dalam tari Bedaya Suka Mulya yang dipersembahkan untuk peringatan Tumbuk Ageng tingalandalem jumenengan Sinuhun PB XII, beberapa tahun sebelum wafatnya di tahun 2004. Dalam kekaryaan yang menjadi penanda Sang Ayah di penghujung jumenengnya itu, Gusti Moeng mengaku hanya seorang penyusun.
Tersisa Foto Rusak
Sikap mulia dalam berkarya dan berkesenian seperti dicontohkan Gusti Moeng, Roesini dan kalangan seniman tradisional Jawa pada umumnya, ternyata tak berbeda dengan penegasan Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi dalam bukunya berjudul “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten”. Hasil penelitiannya tentang karya-karya para Pujangga terkenal Mataram Surakarta semisal RNg Ranggawarsita (abad ke-18), disebutkan ada karya sastra yang ditulis dari ciptaan pendahulunya. Bahkan, Sang Pujangga menulis ulang atau merubah karya pendahulunya, misalnya Serat Kalatidha yang sebagian isinya sudah pernah ditulis Prabu Jayabaya, pujangga sekaligus Raja Kraton Kediri (abad 12).
Kata “menyusun” dalam kekaryaan tari, banyak yang tidak lepas dari aktivitas merekonstruksi dari sebuah struktur bangunan tari yang punya cerita atau tema yang sudah ada, namun lama tak pernah divisualkan atau diperagakan dalam sebuah pertunjukan seni, karena sejumlah alasan misalnya para tokohnya atau bahkan generasinya sudah meninggal atau sudah berganti. Misalnya tari “Gandrung Mangungkung” yang diyakini sebagai karya di masa jumenengnya Sinuhun PB IV (1788-1820), tetapi kini tinggal catatan tentang iringan karawitan lengkap dengan “cakepannya” (iringannya), beserta foto-foto dokumentasi yang rata-rata sudah rusak karena usia.
“Pisungsung itu jelas akan menjadi identifikasi sekaligus karya Kanjeng Gusti Mangkunagoro X. Di situ Kanjeng Gusti Mangkunagoro X memberi teladan bagi warga peradaban Jawa, atau lebih luas lagi, bahwa masyarakat adat Pura Mangkunegaran sangat mencintai budaya Jawa. Mencintai budaya berarti cinta kebhinekaan. Bangsa yang bhineka itu adalah NKRI. Maka, cinta budaya berarti cinta NKRI. Cinta bangsa yang bhineka, berarti cinta NKRI. Saya ikut bangga dan sangat setuju itu. Saya mengucapkan selamat atas pisungsung itu,” ungkap tegas KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, pemerhati budaya Jawa dan kraton menjawab pertanyaan iMNews.id saat dimintai tanggapannya soal pisungsung tari itu, tadi siang. (Won Poerwono-habis/i1)