Gamelan Sekaten Berukuran Jumbo dari Majapahit ?
IMNEWS.ID – DALAM sebuah sambutannya di acara audiensi dengan guru-guru Bahasa Jawa SMA se-Jateng yang diterima di ndalem Kayonan, Baluwarti , belum lama ini (iMNews.id, 7/9/2022), GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) menyebut tak lama lagi akan datang bulan Mulud kalender Jawa di Tahun Ehe 1956 atau sekarang ini, digelar upacara adat Sekaten atau atau hajaddalem gunungan Garebeg Mulud untuk memperingati hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW. Di situ terselip beberapa informasi tentang gamelan Sekaten, yang disebutkan sudah ada sejak zaman Kraton Majapahit akhir (abad 14), yang kemudian disempurnakan oleh Sunan Kalijaga dan para Wali Sanga dan gamelan untuk Sekaten itu diberi nama Kiai Naga Wilaga pada zaman Kraton Demak (abad 15).
“Jadi, pada zaman Kraton Demak yang dipimpin Raden Patah (Sultan Bintoro I) kemudian berganti anaknya, Adipati Unus (Sutan Bintoro II) dan masih diteruskan generasi ketiga (cucu) yaitu Raden Trenggono (Sultan Bintoro III). Sekaten pada zaman Kraton Demak, keperluannya sama, yaitu syi’ar Islam dengan event peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Waktunya juga di bulan Mulud. Setelah raja ketiga di Demak, Sekaten ditiadakan karena pusat pemerintahan kraton pindah ke Pajang yang didirikan Sultan Hadiwijaya. Gamelan Sekaten dibawa putri Sunan Gunungjati yang bernama KR Ayu Mas Nyawa dibawa ke Cirebon, dan disimpan di Kraton Kanoman,” sebut Ketua LDA Kraton Mataram Surakarta yang akrab disapa Gusti Moeng, mengutip catatan abdidalem pengulu KRTH Handipaningrat saat dimintai konfirmasi iMNews.id, belum lama ini.
Catatan KRTH Handipaningrat, tentu saja merupakan hasil penggalian informasi dari data-data sejarah tinggalan para leluhur peradaban yang rata-rata ditulis secara manual atau dalam bentuk manuskrip dengan bahasa dan aksara Jawa. Dan data-data informasi tentang gamelan Sekaten yang ada di dalam upacara adat perayaan Sekaten itu, didapat dari Serat Wali Sanga dan Serat Babad Sekaten dan Serat Kali Jaga yang aslinya masih tersimpan di Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta, tetapi kemudian dialihaksarakan dan dialihbahasakan ke dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia dalam aksara latin.
Gamelan Sarana Syi’ar
Dari data-data sejarah itu disebutkan, bahwa keramaian ritual Sekaten yang mulai kelihatan terkesan akulturatif untuk syi’ar Islam itu tidak terjadi lagi di Demak (1478-1549) karena kraton sudah menjadi kadipaten dan gamelannya dibawa ke Kraton Kanoman Cirebon. Oleh sebab itu, selama Sultan Hadi Wijaya memimpin Kraton Pajang sampai dipimpin dua generasi keturunannya (1550-1587), perayaan Sekaten tidak ada, mengingat gamelan Sekaten untuk sarana syi’ar berada di Cirebon (Jabar) dan tidak ada penggantinya.
Ketika kraton berpindah ke Kutha Gedhe dan bernama Kraton Mataram yang dipimpin Panembahan Senapati (1588-1601)sampai berganti keturunannya, Prabu Hanyakarawati (1601-1613), perayaan Sekaten masih nihil alias tidak ada, yang bisa dianalisis karena sarana pengganti gamelan untuk keperluan syi’ar Islam tidak ada. Ilustrasi ini menjadi penting, karena ada penelitian yang menganalisis bahwa keberhasilan Para Wali Sanga melakukan syi’ar Islam karena ada sarananya yaitu berupa tradisi upacara yang menggunakan peralatan simbol-simbol produk budaya Jawa, di antaranya gamelan Sekaten itu.
Dari penjelasan tiga catatan manuskrip dokumen sejarah Sekaten itu menyebutkan, baru ketika Sultan Agung Pabu Hanyakrakusuma menggantikan tahta ayahandanya (Prabu Hanyakrawati) berhasil mendirikan Kraton Mataram Islam dan memindahkan Ibu Kotanya ke Kerta mulai tahun 1613, peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW kembali diadakan dengan wujud upacara adat Sekaten. Sebagai salah satu sarananya diciptakan gamelan Sekaten yang diberi nama Kiai Guntursari, yang sejak saat itu perayaan Sekaten yang waktunya ditetapkan dengan kalender Jawa di bulan Mulud itu, disajikan pula simbol-simbol kearifan budaya Jawa berupa gunungan.
Robbuna dan Roukhun
“Salah satu unsur penting perayaan Sekaten, adalah benda budaya berupa gamelan itu. Memang benar gamelan Sekaten yang tersimpan di Kraton Mataram Surakarta sekarang ini, ada kemiripannya dengan gamelan Sekaten di Kraton Demak, yaitu soal ukurannya yang jumbo. Tetapi, wujud fisiknya tidak sama. Dari sisi pola tabuhannya, justru mirip dengan gamelan Gong Gedhe yang ada di Bali. Pola tabuhan yang disebut ‘Sekati’ itu, mirip dengan pola tabuhan ‘bonang’ gamelan Sekaten. Relief beberapa candi peninggalan Majapahit (abad 14), memperlihatkan cara-cara menabuh Gong Gedhe yang ada di Bali. Banyak ahli menduga, gamelan Sekaten sudah ada pada zaman majapahit,” sebut Joko Daryanto SSn MSn, abdidalem karawitan dari Kantor Pengageng Mandra Budaya Kraton Mataram Surakarta, yang berhasil meraih gelar doktor selama mengabdi di kraton hingga tahun 2017.
Di acara “Mahambara Gamelan Nusantara; Gamelan Indonesia untuk Dunia. Tribute to Rahayu Supanggah” di halaman Bali Kota Surakarta (iMNews.id, 17/9/2022), nama seniman Joko Daryanto SSn MSn tertulis dalam daftar sejumlah seniman penyaji Konser Tiga Gamelan di lembar acara malam itu, lengkap dengan gelar doktornya. Abdidalem karawitan ini menabuh instrumen ‘demung’ duplikat gamelan Sekaten yang dimiliki ISI Surakarta, dengan ukuran “wilahan” dan alat pemukulnya atau “tabuh”-nya yang ukurannya serba jumbo, yang malam itu mengambil sebagian gending-gending khas Sekaten, “Rambu” yang diadaptasi dari kata “Robbuna” (Allah Pangeranku-Red)dan “Rangkung” yang diadaptasi dari kata “Roukhun” (jiwa besar/luhur-Red).
Gamelan Sekaten yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta, ada sepasang atau dua perangkat yaitu yang bernama Kiai Guntur Sari sebagai peninggalan dari Mataram Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Sinuhun Paku Buwana (PB) III (1749-1788) dengan kebesaran hatinya berbagi gamelan Sekaten dengan pamannya bernama Pangeran Mangkubumi, yang diizinkan mendirikan Kraton Jogjakarta dan bergelar Sultan Hamengku Buwono (HB) I pada tahun 1755. Sinuhun PB IV yang menggantikan ayahandanya (PB III), menggenapi gamelan Sekaten menjadi sepasang atau dua perangkat dengan menciptakan gamelan Kiai Guntur Madu pada masa jumenengnya, tahun 1788-1820.
Sangat Pantas Diakui
Perayaan Sekaten untuk mengarak hajaddalem gunungan Garebeg Mulud dalam peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, jelas tidak lepas dari unsur pokok sepasang gamelan yang diperdengarkan di Bangsal Pagongan Lor (utara) dan Pagongan Kidul (selatan) yang ada di halaman kagungandalem Masjud Agung Kraton Mataram Surakarta. Unsur keberadaan Masjid Agung menjadi penting, bahkan sangat penting bagi Sinuhun PB II yang membangun pusat pemerintahan “nagari” (negara) Mataram Surakarta sebelum deklarasi bergantinya Desa Sala menjadi “nagari” Mataram Surakarta Hadiningrat pada 20 Februari 1745 dengan mendahulukan mendirikan Masjid Agung.
“Selain sebagai sarana beribadah bagi kepentingan umum atau seluruh rakyatnya, Masjid Agung menjadi pusat ajang perayaan hari besar Islam, untuk meneruskan yang sudah dimulai para penduhulunya yang sudah mendirikan Kraton Mataram Islam. Maka, Sinuhun PB II mendahulukan membangun Masjid Agung, kemudian dilanjutkan Sinuhun PB III dan dilengkapi di masa Sinuhun PB IV. Termasuk, diciptakan gamelan Sekaten Kiai Guntur Madu, agar perayaan Sekaten menjadi lebih menarik dalam rangka syi’ar agama,” jelas Gusti Moeng yang menyambut baik keinginan Pemkab Demak kembali menghidupkan ritual Sekaten.
Sepasang gamelan Sekaten yaitu seperangkat gamelan Kiai Guntur Sari di Bangsal Pagongan Lor dan Kiai Guntur Madu di Bangsal Pagongan Kidul di halaman Masjid Agung Kraton Mataram Surakarta, bila diperdengarkan secara bergantian menyajikan gending Rambu dan Rangkung, merupakan ekspresi konser orkestra musik gamelan yang luar biasa mirip yang diadakan Kraton Jogja. Sepasang instrumen gamelan yang berukuran jumbo, terlebih gamelan Kiai Guntur Madu, menjadi koleksi yang sangat istimewa dan luar biasa dalam khasanah instrumen musik gamelan Indonesia dan sangat pantas diakui Unesco sebagai warisan budaya tak benda (intangable) yang ada di Indonesia. (Won Poerwono-bersambung/i1).