Menggelar Karya-karya Para Leluhurnya Sendiri, Karena Kraton Sumbernya Budaya Jawa
SURAKARTA, iMNews.id – Jajaran “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta kembali menginisiasi pergelaran seni pertunjukkan tari untuk ikut memeriahkan peringatan Hari Tari Dunia (HTD) ke-18, sejak kraton ditunjuk dan dilibatkan dalam penyajian seni tari itu, ketika masih bergabung di kawasan kampus Kentingan.
Di ajang peringatan HTD ke-18 yang digelar Senin malam, 29 April, kraton menggelar 4 repertoar “bukan karya orang lain”, tetapi karya para leluhurnya sendiri, karena kraton adalah sumbernya budaya Jawa. Yaitu tari “Bedhaya Sukoharjo”, tari “Sancaya Kusumawicitra”, tari “Srimpi Sangupati” dan tari “Bandayuda” sebagai sajian terakhir.
Ajang pentas yang digunakan, adalah Bangsal Smarakata yang merupakan bagian dari aset peninggalan sejarah penerus Mataram Islam alias di tempatnya sendiri. Pentas digelar mulai pukul 19.00 WIB dan berakhir pukul 22.00 WIB lebih, hampir sama dengan saat berlangsunya siaran langsung pertandingan bola Timnas RI melawan Uzbekistan, tadi malam.
Meski animo sebagian besar bangsa yang hampir rata menyebar di Nusantara, termasuk di Kota Surakarta ini sedang tertuju pada siaran langsung laga “patriotik” kesebelasan Timnas RI untuk melawan Timnas Uzbekistan, tetapi suasana gelar seni peringatan HTD di Bangsal Smarakata nyaris tidak terpengaruh.
Hasilnya, “HTD” yang digelar kraton “versus” (vs) siaran langsung Piala Asia antara Timnas RI melawan Timnas Uzbekistan yang digelar beberapa stasiun TV nasional, tadi malam, perbandingan posisinya bisa disebut sangat bervariasi atau multitafsir, tergantung dari mana melihatnya.
Karena, sajian “Bebadan Kabinet 2004” untuk HTD di kraton yang prestisius itu tetap sukses, tenang, damai dan penuh apresiasi, walau ada sejumlah kursi undangan di dekat Kori Kamandungan masih banyak yang kosong. Tetapi suasana hati di Bangsal Smarakata masih beruntung dibanding kekalahan Timnas RI yang kebobolan 2 gol, tadi malam.
Seni pertunjukan yang prestisius, memberi banyak nilai dan manfaat, di tempat yang prestisius dan materi sajian yang prestisius itu, karena keempat repertoar tari yang disuguhkan adalah karya-karya para leluhur Mataram Surakarta sendiri. Tempatnyapun, di Bangsal Smarakata yang jelas di lingkungan habitat budaya Jawa paling inti.
Seperti disebutkan KP Budayaningrat dan KP Siswanto Adiningrat yang bergantian menjadi MC pertunjukan, sajian pertama tari “Bedhaya Sukoharjo (Sukaharja-Red)” di HTD, tadi malam, punya riwayat digelar kali pertama saat Sinuhun PB IX (1861-1893) selesai membangun Pesanggarahan Langenharjo, kini masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo.
Karya tari itu sempat “direkonstruksi” Gusti Moeng di tahun 1998, dan tadi malam tersaji dalam durasi 45 menit. Jenis tari “Bedhayan” yang masih menjadi pusaka-dalem ini, pernah digelar di ajang HTD di Pendapa Ageng kampus ISI Surakarta di kawasan Kentingan sebagai pusat peringatan HTD, beberapa tahun lalu.
Kalau tari “Bedhaya Sukoharjo” punya makna “suka” memberi ungkapan/ucapan/kabar keselamatan (“harjo”), sajian kedua adalah tari “Sancaya Kusumawicitra” berdurasi sekitar 20 menit. Tari yang punya makna melukiskan tatacara bertanding “beretika” itu, menjadi contoh edukasi yang bagi siapa saja, terutama “para tokoh bangsa” ini.
Tarian “Sancaya Kusumawicitra” yang diciptakan semasa Sinuhun PB I jumeneng nata (1660-1705) di Kraton Mataram yang berIbu-Kota di Plered dan Kartasura, oleh Sinuhun PB IX disebut “perang gending” yang mengutamakan halusnya sifat satria, yaitu mengedepankan sopan-santun walau sedang “berperang”, “berkompetisi” atau “bertanding”.
Sajian ketiga adalah tari “Srimpi Sangupati” yang diadaptasi Sinuhun PB IX (1861-1893) dari nama aslinya “Srimpi Sang Apati” karya Sinuhun PB IV (1788-1820). Oleh Sinuhun PB X (1893-1939), nama tari yang maknanya diciptakan untuk putra mahkota Pangeran Adipati Anom, dikembalikan dengan makna harus berbekal ketika sudah siap mati.
Sajian keempat atau penutup, adalah tari “Wireng” dari kata “wira-ing” Bandayuda karya semasa Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) yang aslinya bernama tari “Wireng Lawung”. Oleh Sinuhun PB IV (1788-1820) diganti namanya dengan tari “Bandayuda”, dengan mengganti peralatan pendukungnya, seperti “tameng” dan “bindhi”.
Oleh Sinuhun PB IX, tarian berdurasi 20 menit ini dirubah namanya menjadi tari “Bandabaya” dengan makna filosofi yang melukiskan empat nafsu yang menjadi sifat dasar manusia. Mengakhiri sajian peringatan HTD, Gusti Moeng mengajak foto bersama semua penari dan seniman karawitan, termasuk pesinden.
Sebelum semua sajian tari disuguhkan, ada suguhan spesial, yaitu konser karawitan Ladrang Srikaton, laras Slendro pathet Manyura. Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/pimpinan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Surakarta, dalam sambutannya menjelaskan ikhwal HTD dan kursus/latihan tari untuk yang mulai diaktifkan kembali. (won-i1).