Jangan Sampai Hanya Jadi “Restoran”, “Gedung Pertemuan” dan “Ajang Pertunjukan”
IMNEWS.ID – DALAM keperluan pembahasan, analisis dan kajian, membicarakan hal-hal yang cenderung pada “orientasi soal hasil”, bukan hal yang jelek atau kurang bijak bila dibanding membicarakan “prosesnya”. Sebab, yang akan dicapai adalah perbandingan antara hasil dari sebuah proses di satu tempat dengan hasil proses di tempat lain.
Dan yang akan dibandingkan adalah tema revitalisasi, objeknya kawasan bangunan bersejarah, lokasinya berdekatan di satu kota yaitu Surakarta dan revitalisasi yang dimaksud adalah proyek dari sumber yang sama, yaitu bantuan APBN yang melewati lembaga Kemen PUPR. Salah satu yang membedakan, mungkin waktu penganggaran dan jumlah rupiahnya.
Oleh sebab, dengan membandingkan bantuan proyek revitalisasi dari sumber yang sama, terhadap kawasan bersejarah yang sama, di lokasi kota yang sama, tentu akan memudahkan untuk dievaluasi hasilnya. Setelah itu, bisa diketahui maksud dan tujuan yang ingin dicapai, baik oleh pihak pemberi bantuan maupun pihak yang diberi bantuan.
Tetapi memang, nasihat yang diberikan lewat lagu dangdut campursari “Aja Dibanding-bandingke” yang dinyanyikan remaja Farel, ada benarnya. Karena, konotasi negatif dari “membanding-bandingkan” itu rata-rata kurang baik. Ada kesan iri di dalam cara atau perilaku itu, yang dalam terminologi budaya Jawa termasuk “ora pantes”.
Upaya membandingkan “hasil” dari proyek revitalisasi bantuan pemerintah di sini, berada dalam terminologi mencari motif alasan dan tujuan di balik pemberian itu. Karena, berkait dengan posisi hubungan antara yang memberi dan diberi, serta sejarah panjang yang melatar-belakangi posisi masing-masing dan hubungan yang pernah terjadi.
Salah satu unsur yang sama dari bantuan proyek revitalisasi yang berasal dari pemerintah atau penguasa itu, adalah bahwa antara kawasan dengan bangunan (Pura) Kadipaten Mangkunegaran dan kawasan dengan bangunan Kraton Mataram Surakarta, adalah sama-sama kawasan bersejarah yang dilindungi UU Cagar Budaya No 11/2010.
Karena waktu bantuan proyek revitalisasi datangnya berbeda dan kawasan beserta bangunan Kadipaten Mangkunegaran lebih dulu selesai dan sudah bisa bermanfaat “sesuai fungsi masing-masing”, maka urutan struktur berfikirnya sebaiknya melompat ke depan dengan pertanyaan, “akankah kraton dijadikan seperti Kadipaten Mangkunegaran?”.
Kalau “dijadikan seperti” dalam terminologi revitalisasi seperti yang sudah terlihat di Kadipaten Mangkunegaran, itu jelas tampak indah secara citra visualnya, juga menarik bagi publik yang sedang mencari view untuk berselfie. Tetapi, ketika memakai terminologi “manfaat dan tujuan”, ini yang lebih penting dari kata “dijadikan seperti”.
“Manfaat dan tujuan” lebih penting untuk dicermati dari sekadar mencari arti atau makna dari kata “dijadikan seperti”. Karena, jika kemudian menganalisis “hasil” dari proses revitalisasi itu, justru lebih baik bersikap “waspada”, apalagi ketika bantuan itu dimulai dengan penyusunan perencanaan tanpa keterlibatan “kraton”.
“Keterlibatan kraton” dalam arti secara representatif benar-benar mewakili sesuai otoritas, legal standing, kapasitas kemampuan, kebutuhan dan sebagainya seperti dimiliki jajaran “Bebadan Kabinet 2004”. Bukan keterlibatan kraton dalam arti figur perorangan, apalagi tidak punya segala kapasitas yang dibutuhkan (iMNews.id, 18/4).
Sikap waspada itu perlu cepat diperlukan, selagi yang dikerjakan baru kawasan Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul, yang itupun masih banyak catatan seperti disebut dalam risalah yang diserahkan Gusti Moeng kepada Kepala Dinas Kimpraswil. Juga berbagai hal yang disebut KPH Edy Wirabhumi dalam kalimat “Nututi layangan pedhot”.
Karena garis besarnya, bantuan proyek revitalisasi itu jangan sampai membuat Kraton Mataram Surakarta kelak berubah “fungsi dan manfaatnya”. Karena, bantuan proyek revitalisasi itu sudah mengubah manfaat dan fungsi Kadipaten Mangkunegaran hanya sekadar sebagai “gedung pertemuan”, “rumah makan” dan “ajang panggung pertunjukan”.
Pendapa Agung Kadipaten Mangkunegaran adalah Pendapa Kepatihan dari Kraton Kartasura pemberian Sinuhun PB (antara II-III), fungsinya untuk menggelar segala macam upacara adat kebesaran, di antaranya tingalan wiyosan (ulang tahun tahta). Setelah direvitalisasi, digunakan untuk resepsi “ngundhuh mantu” seperti fungsi gedung pertemuan.
Bale Prayimayasa yang kini juga tampak indah dan gemerlap setelah direvitalisasi “mirip restoran”, dan menjadi tempat “royal dinner” atau makan siang siapa saja yang ingin bergengsi. Begitu pula, lapangan Pamedan Mangkunegaran dari barat ke timur, yang sudah direvitalisasi dan berubah view maupun makna yang menyertainya.
Pendapa Agung dan Bale Pracimayasa, adalah bagian penting ikonik Kadipaten Mangkunegaran. Sedangkan Lapangan Pamedan, setelah direvitalisasi selalu menjadi ajang pertunjukan musik (modern) dengan label festival. Akankah Kraton Mataram Surakarta direvitalisasi untuk sekadar menjadi fasilitas ajang keperluan seperti itu?. (Won Poerwono-habis/l1).