Seni Santiswaran, Karawitan Laras Madya, “Lelagon Singiran” yang Juga Seni Syi’ir (seri 5 – habis)

  • Post author:
  • Post published:April 15, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Seni Santiswaran, Karawitan Laras Madya, “Lelagon Singiran” yang Juga Seni Syi’ir (seri 5 – habis)
KARAWITAN SYI'IR : "Lelagon Singiran" karya Sinuhun PB V yang disebut KPP Nanang dalam buku "Sinuhun Sugih", berkembang positif di wilayah Pakasa Cabang Jepara dengan sebutan Seni Karawitan Syi'ir seperti yang disuguhkan di ajang Hari Jadi Pakasa di Pendapa Pagelaran, beberapa tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seni Karawitan Syi’ir Pakasa Jepara, Akulturasi yang Ideal dan Patut Didorong Berkembang

IMNEWS.ID – SECARA tidak langsung, menguak profil seni Santiswaran atau Laras Madya yang berasal dari Kraton Mataram Surakarta dan pernah berkembang luas di masyarakat sejak lama hingga kini, sama saja menggali warisan seni budaya Jawa yang telah bersentuhan secara akulturatif dengan Islam, tetapi selama ini terpendam “jati diri” dan asal-usulnya.

Mengapa bisa terpendam? Dari banyak studi penelitian dan kajian sejarah yang dilakukan banyak tokoh, misalnya 4 tokoh yang disebut pada seri tulisan sebelumnya (iMNews.id, 14/4), mengungkap banyak faktor penyebabnya. Selain itu, malah ikut tergali berbagai jenis seni budaya Jawa karya peradaban masa lalu (Mataram) yang sudah “terkubur” dalam oleh perubahan.

Salah satu di antara para tokoh yang melakukan penelitian dan kajian sejarah, bahkan khusus sejarah Mataram Surakarta, yaitu Dr Purwadi, menyebutkan bahwa ada perubahan sosial yang sangat tinggi bahkan tajam dinamikanya setelah ada NKRI. Jadi, setelah “negara” Mataram Surakarta yang berusia 200 tahun (1745-1945) itu berakhir pada 17/8/1945, semua menjadi berubah.

BUTUH PENDUKUNG : Prosesi kirab ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” yang sedang melewati jalan Supit Urang Kulon ini, lebih 10 tahun lalu masih disaksikan masyarakat pengunjung yang berdiri di pinggir jalan untuk “ngalab berkah”. Berbagai ritual di kraton dan di desa-desa, mutlak butuh masyarakat pendukung yang melegitimasi banyak hal. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Perubahan itu akibat Amerika (USA) ingin menguasai negara-negara baru yang lahir antara 1945-1950. Salah satu contohnya, melalui PBB dunia diatur dengan visa dan paspor. Padahal, para petani, pedagang, pengrajin, seniman dan sektor jasa dari kelas rakyat, sebelumnya bebas ke negara mana saja untuk menjual produk dan jasanya”.

“Kalau masyarakat sekarang terbagi dalam kekuasaan, agama dan kampus yang menjadi potensi tekanan (kalau tidak boleh disebut menindas) terhadap seni dan rakyat, tetapi kampus yang saya maksud adalah beberapa ilmu yang diajarkan di sana. Ilmu-ilmu sosial, manajemen bisnis dan ekonomi makro, misalnya, itu yang melatarbelakangi lahirnya visa dan paspor,” tunjuk Dr Purwadi.

Model ekonomi liberal itulah yang ikut mematikan berbagai kesenian tradisional produk peradaban/budaya Jawa. Karena faham liberalisme tidak menghendaki sistem sosial kraton, ritual adat, tradisi dan seni budayanya. Perilaku liberalistik ini menyusup luas ke organ-organ penguasa, sehingga melengkapi potensi ancaman anasir-anasir negatif dalam 30-an tahun ini.  

PEMANDANGAN INDAH : Selain beberapa ikon khas yang menonjol seperti seni Laras Madya, ritual hajad-dalam “Malem Selikuran” adalah pemandangan indah dan penuh daya tarik visual dan esensial yang bermanfaat bagi masyarakat pengunjung dalam berbagai kategori. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seberapa keberanian kekuasaan NKRI menghadapi pengaruh liberal Amerika?, sangat mudah dilihat dari seberapa besar keberpihakan kekuasaan kekuasaan sampai di tingkat daerah, terhadap eksistensi kraton dengan aset-aset “tangabel” dan “intangabel”-nya, masyarakat adat dan berbagai kesenian tradisional produk budaya/peradabannya?.

Kraton Mataram Surakarta dengan budaya Jawa yang dihasilkan dan wilayah-wilayah eks “nagari” Mataram yang menjadi sebaran budayanya, menjadi contoh nyata yang bisa dicermati profilnya sampai detailnya dari waktu ke waktu hingga kini, untuk mendapat jawaban dari pertanyaan seberapa keberanian melawan liberalistik dan seberapa keberpihakan penguasa terhadap kraton.

Kraton Mataram Surakarta menjadi contoh kasus yang bisa menjawab dua pertanyaan besar itu, karena sampai kini masih menjadi korban, objek dan sasaran perilaku liberalistik dan sikap yang sama sekali tidak berpihak dari kalangan penguasa. Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan, juga menjadi contoh kasus perlakuan semacam itu, karena insiden-insiden yang dialami belum lama.

PEMIKIRAN SERIUS : Masyarakat pengunjung “pengalab berkah” yang nyaris hilang dari suasana indah ritual “Malem Selikuran” dengan view Masjid Agung saat malam hari seperti ini, harus menjadi pemikiran serius keluarga besar kraton, masyarakat adat dan pihak-pihak yang butuh ketahanan budaya nasional. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan memetakan potensi ancamannya dan durasi datangnya potensi ancaman itu, tentu semakin menjadi jelas bagaimana cara mengatasinya? Kekuatan mana yang bisa menjadi potensi untuk menghadapi potensi ancamannya sekaligus memperlambat atau menahan laju atau bahkan strategi untuk “melawan” ancaman desakralisasi, demitosisasi, delegitimasi dan dekulturisasi.

Kini, masyarakat pengunjung yang datang “ngalab berkah” berbagai upacara adat yang digelar di kraton maupun yang terjadi pada gelar rirtual tradisi di daerah-daerah pedesaaan, sudah semakin sedikit. Yang ada tinggal masyarakat adat yang melembaga dalam Pakasa di tingkat cabang, tetapi belum semua daerah terbentuk, dan rentan terjadi perpecahan karena ada anasir politis.

Di tingkat pusat, Pakasa Punjer, Pangarsa LDA dan Pengageng Sasana Wilapa sebagai pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” dan para tokoh penting seperti putra mahkota KGPH Hangabehi, perlu percepatan proses regenerasi dan harus menjadi kendali. Tetapi mereka mendesak butuh “nutrisi”, “amunisi” untuk memperkuat kelembagaan, langkah-langkah koordinatif dan menjaga soliditas.

TAMPIL BERPERAN : Putra mahkota KGPH Hangabehi sebagai generasi muda calon pemimpin sudah seharusnya mulai banyak tampil di berbagai upacara adat di dalam dan di luar kraton. Keteladanan itu itu bisa mempercapat untuk membangun legitimasi dalam berbagai kategori. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sementara itu, potensi kekuatan dan pengembangan seperti pada kasus fenomena munculnya seni karawitan Syi’ir di wilayah binaan Pakasa Cabang Jepara dan juga beberapa grup seni Santiswaran, Gembrungan atau “Lelagon Singiran” yang bertahan di beberapa daerah seperti Ponorogo, Klaten, Sukoharjo dan beberapa daerah lain, perlu didorong potensi pemeliharaannya.

Keberadaan Pakasa memang menjadi lembaga yang kini paling punya alasan untuk menjangkau pemberdayaan, pengembangan, penguatan berbagai jenis kesenian tradisional yang berbasis budaya Jawa akulturatif dengan religi di berbagai daerah. Tetapi, bersamaan itu juga bisa melakukan edukasi ke arah membangun kembali legitimasi terhadap budaya Jawa dan kraton dan sikap ngalab berkah.

Sasaran terakhir di atas, untuk mengembalikan masyarakat pendukung “ngalab berkah” seperti yang dulu pernah ada. Keberadaan mereka mutlak diperlukan, mudah “didatangkan” karena lebih cair, dan tidak perlu “digiring” masuk organisasi Pakasa, karena  mungkin mereka tidak butuh berserikat. Bebaskan Pakasa dari anasir politik, biarkan kedua unsur legitimator ada dan besar. (Won Poerwono-habis/i1).