“Friksi” Internal Diciptakan, Event Tandingan Didukung Kekuasaan, Desakralisasi “Digalakkan”
IMNEWS.ID – DI awal tahun 1980-an, Universitas Negeri Surakarta (UNS) Sebelas Maret dipimpin seorang rektor yang bernama Prof Dr Koento Wibisono. Dia adalah penulis buku “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”, seorang ahli filsafat dari Perancis.
Kehadiran penganut ilmu sosial yang dikembangkan Auguste Comte itu, sulit dielakkan telah berpengaruh terhadap profil lembaga perguruan tinggi yang dia pimpin di Kota Surakarta itu. Maka tidak bisa dielakkan, bidang keilmuan sosial yang dikembangkan di kampus itu berangsur-angsur mempengaruhi produk lulusannya.
Oleh karena itu, tidak aneh kalau dalam kurun waktu antara 1980-an hingga awal tahun 2000, terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan di wilayah yang pernah menjadi sebaran budaya Jawa, sekitar Kraton Mataram Surakarta. Bahkan, masih terasa pengaruhnya di wilayah etnis Jawa atau daerah asal/kelahiran para lulusannya.
Jadi, para pimpinan UNS yang sudah masuk dalam “skenario besar” sebagai agen desakralisasi, demitosisasi dan delegitimasi terhadap budaya Jawa yang berasal dari kraton-kraton penerus Dinasti Mataram, itu jelas bukan kebetulan. Tetapi merupakan bagian penting dari upaya untuk melepaskan bangsa ini dari spirit masa lalunya.
“Jadi, tidak hanya melalui UNS. Tetapi juga melalui kampus-kampus lain yang berada di wilayah sebaran budaya Jawa. Intinya, agar terjadi perubahan sosial dalam budayanya. Agar Masyarakatnya tidak lagi memelihara mitos, mistik, magis, klenik dan spirit ngalab berkah. Tetapi berpikir rasional, religius dan bersyariat”.
“Jadi, kalau iMNews.id menyebut upaya menghapus budaya Jawa prosesnya secara masif, terstruktur dan tersistem sejak ada NKRI, itu betul. Salah satunya melalui semua lembaga perguruan tinggi, termasuk UNS. Pengaruhnya disebar melalui ilmu-ilmu sosial yang diajarkan kampus-kampus sebagai mata kuliah,” ujar Dr Purwadi.
Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang banyak mengkaji sejarah perjalanan Kraton Mataram, khususnya Mataram Surakarta ini, membenarkan telah terjadi proses penghapusan budaya Jawa. Atau setidaknya memori kolektif publik peradaban Jawa dari spirit masa lalu, yang di dalamnya ada sikap batin masyarakat Jawa.
Spirit masa lalu yang telah terlahir dalam sikap spiritual kebatinan masyarakat Jawa, adalah ruang yang nyaman bagi kehidupan sosial yang sangat berpengaruh dalam aktivitas kesehariannya, dalam profesi apapun. Walaupun hanya sebagai petani, buruh, pendidik dan pegawai rendah sampai menengah lainnya.
Masyarakat kelas bawah sampai menengah inilah, yang sebenarnya menjadi basis pendukung riil sikap spiritual kebatinan di lingkungan budaya Jawa atau Kraton Mataram Surakarta sebagai sumber dan pusat pelestariannya. Karena, masyarakat kelas atas terutama para tokoh pemimpin dan pejabatnya, rata-rata justru sejak dulu berbeda.
Masyarakat kelas atas terutama yang punya jabatan, hingga kini justru memelihara gaya hidup feodalistik melebihi lingkungan struktural dan kultural terbatas di dalam kraton. “Gaya feodalistik” inilah yang menjadi senjata Tan Malaka dan kelompok Komunis, untuk memberi contoh cara menghancurkan kraton dan budaya Jawa.
Melihat perjalanannya sejak NKRI lahir, berarti proses “penghancuran” budaya Jawa dan nilai-nilai yang ada di dalamnya benar-benar lengkap. Selain dari kekuasaan upaya menghapus budaya dan sikap spiritual kebatinannya, juga berusaha menghancurkan simbol-simbol nama besar budaya Jawa dan Kraton Mataram Surakarta.
Upaya penghapusan budaya Jawa dan simbol-simbol kebesaran Mataram, mirip seperti “mesin penghancur” itu seakan berada di semua lini kehidupan. Dimulai sejak rezim Orde Lama, lalu “diintensifkan” selama 32 tahun rezim Orde Baru, dan rezim reformasi yang membuka masuknya anasir-anasir radikalisme dan intoleransi, nyaris tanpa filter.
Kombinasi dari berbagai unsur dan elemen itu, benar-benar menghadang dan mengepung hak masyarakat adat untuk mengekspresikan kehidupan spiritual kebatinannya, melalui berbagai jenis upacara adat. Nyaris tidak ada celah yang bisa diterobos, karena barikade-barikade penghadang dan penghancur itu tak hanya dari lingkup eksternal.
Mencermati peristiwa suksesi alih kepemimpinan di tahun 2004, jelas tampak sekali barikade-barikade mesin penghancur budaya Jawa dan simbol-simbol kebesaran Mataram itu, justru datang dari kalangan internal. Sejumlah tokoh putra/putri Sinuhun PB XII, telah digunakan seorang tokoh kerabat yang menjadi tangan panjang kekuasaan.
Kalau sebelumnya penguasa “masih bersembunyi” di balik tokoh kerabat yang menjadi “cukong” atau penyandang dananya, rangkaian friksi yang puncaknya terjadi di tahun 2017, peran kekuasaan sudah terang-terangan. Sinuhun Suryo Partono yang sudah “cacat tetap”, dimanfaatkan sebagai “kekuatan tandingan” di dalam kraton hingga kini. (Won Poerwono-bersambung/i1)