Prosesi Malem Selikuran “Plat Merah” Dikawal 4 Truk Brimob dan Pasukan Motor
SURAKARTA, iMNews.id – Di tengah “pisowanan” hajad-dalem ritual “Malem Selikuran” di kagungan-dalem Pendapa Masjid Agung Kraton Mataram Surakarta, Gusti Moeng kembali menegaskan bahwa upacara adat menyambut “Lailathul Qadar” sudah ditarik kembali ke Masjid Agung, karena Taman Sriwedari/Kebon Raja sudah tidak ada.
Penegasan itu untuk kembali mengingatkan warga masyarakat adat Mataram Surakarta yang hadir di Masjid Agung, Minggu malam (31/3). Karena, generasi baru atau warga yang belum lama bergabung melalui berbagai elemen khususnya Pakasa cabang dari sejumlah kabupaten, rata-rata belum mengetahui adanya perubahan situasi itu.
Seperti diketahui, Taman Sriwedari/Kebon Raja yang berangsur-angsur kehilangan isi esensialnya berupa sajian pemandangan dan suasana rekreatif (hutan kota-bonbin) antara tahun 1980 hingga 1990-an oleh berbagai faktor terutama kebijakan Pemkot, penyelenggaraan “Maleman Sriwedari” menjadi semakin menyimpang jauh.
Event “Maleman Sriwedari” selama bulan puasa berlangsung dan esensinya untuk menghadirkan prosesi ritual “Malem Selikuran”, semakin ditinggalkan masyarakat pengunjungnya dari tahun ke tahun. Dan event itu sempat ditiadakan sejak awal tahun 1990-an, dan ritual “Malem Selikuran” ditarik kembali di tahun 2000-an.
Penulis yang mengikuti sejak aktif di Harian Suara Merdeka hingga iMNews.id ini mencatat, semakin sepinya
pengunjung akibat berbagai faktor, di antaranya perubahan trend bentuk pertunjukan/hiburan dan bergantinya generasi yang belum bisa diantisipasi pihak penyelenggara yaitu Pemkot setempat.
“Tetapi, karena Taman Sriwedari/Kebon Raja sudah lama tidak ada. (Yang ada) Itu sudah bukan Taman Sriwedari. Maka, prosesi Malem Selikuran ditarik kembali ke Masjid Agung. Kalau masih ada yang melakukan (kirab prosesi-Red) sekarang ini, itu hanya menjalankan SPj saja,” tandas Gusti Moeng dalam sambutannya.
Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah, dalam sambutan tunggal menutup rangkaian ritual “Malem Selikuran” di Masjid Agung, Minggu malam (31/3) itu, sempat menyinggung prosesi kirab ritual serupa tadi malam, yang lokasinya terpusat di Taman Sriwedari.
Seperti diketahui, sampai tadi malam, Ramadhan tahun 2024 ini masih ada dua penyelenggaraan ritual “Malem Selikuran” yang masing-masing didukung sejumlah bregada prajurit dan segala macam uba-rambe wilujengan. Tetapi, rute perjalanan ritual yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” dan Malem Selikuran “Plat Merah” berbeda.
Ritual dengan segala kelengkapannya yang digelar “Bebadan Kabinet 2004”, berawal dari Bangsal Smarakata lalu keluar ke halaman Kamandungan. Dari sinilah, prosesi kirab ritual yang didukung 500-an orang berjalan kaki mengelilingi jalan lingkar dalam Baluwarti, baru menuju kagungan-dalem Masjid Agung.
Sedangkan prosesi ritual Malem Selikuran “Plat Merah” yang didukung 4 truk pasukan Brimob dan satu kelompok pasukan polisi bermotor, keluar dari kraton sekitar pukul 19.00 menuju Pendapa Sitinggil Lor dan berjalan menuju Taman Sriwedari. Upacara adat yang diikuti Sinuhun Suryo Partono ini, berpusat di Taman Sriwedari.
Prosesi ritual yang digelar “Bebadan Kabinet 2004”, baru berangkat dari halaman Kamandungan sekitar pukul 20.30 dan berjalan mengelilingi jalan lingkar Baluwarti sekitar 40 menit. Prosesi yang didukung prajurit, barisan “oncor”, “ting” dan uba-rampe wilujengan dan pengombyong, tiba di Masjid Agung pukul 21.20 WIB.
Sementara barisan prosesi yang didukung sekitar 500-an tiba di Masjid Agung, di dalam pendapa masjid sudah tampak masyarakat adat yang sudah menunggu. Mereka kebanyakan warga Pakasa cabang dari berbagai daerah di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY yang tidak mengikuti kirab tetapi langsung menunju Masjid Agung.
Kedatangan barisan prosesi, diterima para takmir Masjid Agung di Topengan masjid. Serah-terima hajad-dalem dilakukan KPP Haryo Sinawung SPd selaku utusan-dalem kepada Drs Mufti Raharjo selaku takmir Masjid Agung. Acara berlanjut dengan doa wilujengan yang dipimpin abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro.
Di Masjid Agung, tampak KRRA MN Gendut Wreksodiningrat bersama sekitar 30-an pengurus dan warganya, karena ada 20-an warganya yang bergabung dengan beberapa Bregada Prajurit, yang tugasnya memandu dan mengawal kirab “Malem Selikuran” bertabur bintang untuk memperingati turunnya Nabi Muhammad SAW dari Gunung Jabal-Nur.
Tampak pula Ketua Harian Pakasa Cabang Ngawi, KRT Suyono Sastrorejo bersama 40-an anggota rombongannya. Juga KRAT Bagiyono Rumeksonagoro (Ketua Pakasa Cabang Magelang) bersama rombongan. KRAT Seviola Ananda (Ketua cabang) bersama 20-an anggota rombongan Pakasa Cabang Trenggalek, juga kelihatan sampai di Masjid Agung.
Pengurus Pakasa Cabang Klaten dan Boyolali juga kelihatan saat masih di Bangsal Smarakata, termasuk 16 anggota rombongan Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin ketuanya, KRA Panembahan Didik Gilingwesi. “Perjuangan” KRA Panembahan Didik ikut “Malem Selikuran” tertahan di Bangsal Smarakata, karena masih berkursi-roda.
Sebagian besar Pakasa Cabang Kudus sampai di Masjid Agung, karena bertugas sebagai abdi-dalem “Kanca Kaji” yang ikut bergabung abdi-dalem jurusuranata, bertugas mendoakan hajad-dalem Malem Selikuran. Termasuk pula, rombongan Pakasa Cabang Pati yang dipimin ketuanya, KRAT Mulyadi Puspopustoko.
Sedangkan Pakasa Cabang Jepara, walau ketuanya (KRA Bambang S Adiningrat) tidak hadir, tetapi sekitar 20 rombongan yang diutusnya, memberi manfaat ganda. Ada separo rombongan yang dipimpin KRT Anam Setyodipuro bergabung pasukan “Semut Ireng”, mengusung uba-dampe wilujengan hajad-dalem dari kraton ke Masjid Agung.
Sedang separonya lagi yang dipimin RT Rasmaji, ikut bergabung abdi-dalem “Kanca Kaji” ikut mendoakan hajad-dalem Malem Selikuran di masjid. Karena ada dukungan abdi-dalem ulama dari Kudus, Pati dan Jepara, KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo dan abdi-dalem “Kanca Kaji” lain tampak jadi banyak dan memenuhi ujung “ambengan”.
Hal yang selalu menarik setiap ada ritual Malem Selikuran di Masjid Agung, adalah pembagian nasi gurih “Tumpeng Sewu” yang selalu diperebutkan sebagai bentuk “ngalab berkah”. Walau sudah diumumkan, jumlah paket nasi itu ada 1.500 bungkus, peserta upacara banyak yang tidak sabar untuk lebih dulu mendapatkannya.
Dan hal paling menarik dari peristiwa adat religi itu, adalah tampilnya grup Santiswaran atau Laras Madya yang semua anggotanya usia muda, kompak dan penuh semangat menyajikan gendhing-gendhing bernuansakan ajaran agama. Gusti Moeng yang ikut menyantap “nasi tumpeng”, menjadi objek foto dan video para awak media. (won-i1).