Jelaskan Perkembangan Situasi Terakhir, Bagikan Paket Bingkisan Lebaran
SURAKARTA, iMNews.id – “Serat Wulangreh” karya Sinuhun PB IV adalah satu di antara sejumlah karya sastra para Pujangga Jawa (Surakarta), yang mengajarkan seseorang tak hanya taat menjalankan agama, tetapi juga punya “tata krama” seperti yang terkandung dalam Budaya Jawa. Tema itu yang menjadi pokok bahasan “ustadz” Suparman asal Pacitan (Jatim), sore tadi.
Di hadapan berbagai elemen jajaran Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat Kraton Mataram Surakarta, pensiunan guru agama yang pernah bercita-cita menjadi dalang wayang kulit itu, memberi tausyiyah di acara berbuka puasa bersama dan pembagian paket bingkisan Lebaran. Tausyiyah disampaikan dalam Bahasa Jawa “krama inggil” yang jelas mudah dipahami.
“Saya dulu pernah ikut belajar di sanggar pasinaon pambiwara. Karena sebenarnya ingin jadi dalang, seperti adik saya (Ki Purbo Asmoro-Red). Tetapi, akhirnya kok malah jadi guru agama dan sering diundang untuk memberi tausyiyah, khususnya di acara resepsi pernikahan. Tapi, ya malah beruntung. Saya bisa mendapatkan ilmu tentang agama, sekaligus Budaya Jawa”.
“Dan sekarang kalau saya diundang untuk memberi tausyiyah, sebelumnya selalu saya tanyakan kepada pihak pengundang. Apakah saya boleh menyampaikan pesan-pesan siraman rohani itu dalam Bahasa Jawa (krama inggil dan madya-Red)? kalau tidak boleh, lebih baik saya tidak menerima undangan itu. Karena menurut saya, budaya lebih tepat untuk itu,” ujar Suparman.

Ditegaskan, sebelum belajar ilmu (termasuk agama-Red), sebaiknya belajar tata-krama dan Budaya Jawa yang kitab-sucinya “rasa” atau kalbu. Dalam penjelasannya, dia mengungkap sedikit pengalamannya mengisi acara, tetapi menolak untuk disebut gelar kekerabatannya. Karena, dirinya takut melakukan kesalahan dalam pengucapan, yang bisa mempermalukan nama kraton.
“Saya sangat berhati-hati dalam soal itu, apalagi sebelum belajar di sanggar pasinaon. Karena saya punya pengalaman, ada seorang bergelar Kanjeng Raden Arya (KRA), tetapi Bahasa Jawanya pating-pecothot ora karuan. Ini yang justru memalukan nama kraton. Karena sumber Budaya jawa dan tata-krama dari sini. Sanggar pasinaon pambiwara juga di sini,” tunjuknya.
Dia menyebut, sering mengritik para dalang yang banyak dikenal karena sering bergaul. Karena sebagian besar dalang, memiliki kemampuan bertutur kata dalam “janturan”, “antawecanan” dan sebagainya, dengan Bahasa Jawa yang tinggi yang menurutnya luar biasa. Tetapi, para dalang itu lupa menuntun keluarganya bertata-krama dan berBahasa Jawa dengan baik.
Suparman menangkap paparan Gusti Moeng ketika menyampaikan sambutan tunggal saat membuka acara berbuka puasa bersama dan pembagian bingkisan Lebaran itu. Yaitu soal perjuangan Gusti Moeng (Pangarsa LDA) yang membutuhkan waktu 6 tahun lebih untuk bisa mendapatkan “rasa keadilan” di bidang hukum, yang menurut Suparman merupakan perjuangan yang tanpa henti.

“Perjuangan yang tanpa henti atau dilandasi dengan kesungguhan dan keikhlasan itu, pasti akan mendapatkan ridho Allah SWT. Saya melihat itu ada pada Gusti Moeng dan seluruh kerabat yang setia mendukungnya. Oleh sebab itu, saya ingin berdoa mudah-mudahan Daerah Istimewa Surakarta yang menjadi cita-cita perjuangan, juga akan terkabul,” tandas Suparman.
Suparman yang bertausyiyah penuh tata-krama dan “andhap-asor” itu, sudah dua kali Ramadhan sampai tahun 2025 ini diundang Gusti Moeng (pimpinan Bebadan Kabinet 2004/Pangarsa LDA). Langkanya figur ustadz yang menguasai bahasa Jawa krama inggil dengan baik, menjadi kendala bagi kraton yang ingin menghadirkan pengisi siraman rohani dalam acara-acara seperti itu.
Sementara itu, dalam sambutan tunggalnya Gusti Moeng menyampaikan berbagai hal yang dirangkai menjadi satu. Terutama masalah perkembangan situasi terakhir proses hukum yang diupayakan, setelah selama enam tahun Kraton Mataram Surakarta “direpotkan” oleh berbagai peristiwa yang tendensinya merusak “kewibawaan” kraton, dari internal dan eksternal kraton.
Secara tersamar, Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) itu juga menyiratkan ekspresi terkabulnya doa dan perjuangan yang selama 6 tahun dilakukan bersama jajaran Bebadan Kabinet 2004 dan semua elemennya. Doa dan perjuangan yang terkabul itu, adalah terbitnya putusan MA atas PK yang dilakukan pihak tergugat penyalahgunaan SK Kemendagri No 430-2933 tahun 2017.

Penjelasan soal putusan PK Mahkamah Agung (MA) RI RI No. 1006/PK/Pdt/2022 yang sudah dieksekusi Pengadilan Negeri (PN) Surakarta pada 8 Agustus 2024 itu, secara terpisah dilakukan KPH Edy Wirabhumi dalam sebuah konferensi pers, Rabu (26/3). Di depan sejumlah wartawan di warung wedangan itu, dijelaskan surat klarifikasi yang diterbitkan Pangarsa LDA.
Acara berbuka puasa bersama dan pembagian paket bingkisan Lebaran kepada sekitar 400 anggota masyarakat adat dari berbagai elemen Bebadan Kabinet 2004 dan LDA itu, adalah bentuk penjelasan perkembangan situasi terkahir untuk kalangan internal kraton. Hampir semua figur tokoh penting dan semua elemen hadir di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, petang tadi.
Semua figur sentana trah darah-dalem yang disebutkan berjumlah 30-an orang, memang tidak bisa hadir semuanya, karena rata-rata usianya di atas 60 tahun. Begitu pula, dua kakak kandung Gusti Moeng yaitu KGPH Puger dan KGPH Madu Kusumonagoro yang sebelumnya sudah sering muncul, sangat disayangkan petang tadi tidak kelihatan di acara itu.
Bahkan, adik bungsu Gusti Moeng, yaitu GKR Ayu Koes Indriyah yang disebut-sebut punya kapasitas memimpin Sanggar Pawiyatan Paes-Tatabusana Penganti Jawa gagrag Surakarta sebagainya ketuanya, juga tidak hadir. Padahal, Gusti Moeng sempat menegaskan, kegiatan belajar-mengajar siswa sanggar paes tahun 2025 ini akan segera dimulai di Bangsal Marcukunda.

Meski begitu, KGPH Hangabehi yang disebut-sebut akan menjadi “putra mahkota” jelas hadir dan duduk berdampingan dengan Gusti Moeng. Sementara, tiga adiknya masing-masing KPH Bimo Djoyo Adilogo (Bupati Juru-Kunci Astana Pajimatan Imogiri), KRMH Suryo Manikmoyo dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo juga kelihatan. BRAy Arum, rupanya hadir mewakili ayahanda, KGPH Madu.
Sementara itu, Pakasa Cabang Jepara juga masih punya kegiatan di bulan Ramadhan ini. Yaitu kegiatan audiensi utusan pengurus cabang ke kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Pemkab Jepara, Rabu (26/3). Utusan yang dipimpin KRT Anam Setyonagoro (Ketua Yayasan Praja Hadipuran Manunggal) itu, untuk percepatan pembahasan Perda Pelestarian dan Pemajuan Adat/Budaya Jepara. (won-i1)