Dari Kraton Demak hingga Mataram Kartasura, Hanya Ada Gendhing “Rambu” dan “Rangkung”
IMNEWS.ID – HAMPIR semua jenis kesenian karya peradaban masa lalu yang “dihasilkan” dan “disempurnakan” sedikitnya dalam 200 tahun selama berlangsungya “nagari” Mataram Surakarta (1745-1945), nyaris tak ada yang bisa dilindungi hak paten dan hak atas kekayaan intelektual dari lembaga yang berwenang di negara ini.
Ada banyak tantangan dan pertimbangan yang akan dihadapi para pemohonnya, termasuk lembaga yang pernah memiliki otoritas kekuasaan politik pemerintahan pada saat karya seni itu “diciptakan” atau “disempurnakan”. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, bebas sekali bagi siapa saja untuk mengklaim sebagai karyanya.
Para petualang bisnis di bidang seni pertunjukan yang menggunakan teknologi digital dan para kreator konten di dunia maya terutama YouTuber, terkesan “memanfaatkan” situasi dan kondisi kekosongan hukum kepemilikan atas karya-karya seni produk peradaban masa lalu, khususnya peradaban Jawa.
Era digital dan perkambangan teknologi internet membuka peluang lahirnya berbagai produk aplikasi konten di dunia maya, yang menjadi eforia munculnya konten-konten kesenian produk peradaban/budaya Jawa. Mereka berburu penghasilan dari memasang kreasi kontennya di internet.
Dari yang sudah banyak beredar, ada yang benar-benar menggunakan kemampuan profesional untuk menghasilkan produk konten seperti YouTuber, dengan harapan semakin meningkatkan penghasilannya. Tetapi, juga banyak yang proses produksinya sekadar iseng, apalagi targetnya kepuasan/senang apabila produk kontennya bisa viral.
Tetapi, produk konten kesenian seperti YoutTube berisi konser gending-gending karawitan yang banyak beredar di dunia maya dalam beberapa tahun ini, menunjukkan ciri-ciri yang semakin profesional proses produksinya. Tetapi sayang, banyak karya konten kreatif yang tidak mencantumkan nama lembaga penciptanya.
Seorang sentana-dalem “pandemen” (pecinta) seni karawitan, KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro dalam beberapa kali percakapan dengan iMNews.id, pernah menunjukkan beberapa produk konten kreasi konser karawitan yang dibuat seorang YouTuber. Dalam situs itu YouTube diberi judul “Gendhing Babar Layar Pelog Lima”.
Kemudian, ditunjukkan lagi YouTube berjudul “Ladrang Gegot” dan dalam kontennya tertulis Ondonesia, Java Centre Gamelan Solo; Le Jeu Des Sentimens. Solones Gamelan …. dan sebagainya. Juga produk konten berisi konser karawitan “Ladrang Ayun-ayun Laras Pelog Pathet Nem. Kemudian konten YoutTube “Gending Slebrak Pl 5”.
Dalam percakapan itu, KPP Nanang tidak mempermasalahkan apakah dalam produk konten itu mencantumkan identitas nama lembaga penciptanya atau tidak. Tetapi dia menyebutkan gending Ladrang Ayun-ayun punya semangat dan misi mengingatkan kepada warga peradaban secara luas agar tetap “menjaga kerukunan”.
Sentana-dalem yang tinggal di Kelurahan Sondakan, sebuah wilayah yang kini masuk Kecamatan Laweyan (Kota Surakarta) dan dulunya berasal dari Desa Singandaka (zaman Kraton Pajang-Red) itu, menyebut ada 8 gendhing “yasan” atau karya (pada masa) Sinuhun Paku Buwana (IV) jumeneng nata (1788-1820).
Delapan gendhing itu diciptakan Sinuhun PB IV untuk melengkapi atau “menyempurnakan” seluruh sajian atau “performance” seni spiritual religi Sekaten Garebeg Mulud. Tidak diceritakan alasan yang melatarbelakangi 8 gendhing itu diciptakan, tetapi Gamelan Sekaten dari Kraton Demak hingga Mataram, hanya ada dua gendhing.
Berbagai sumber yang berasal dari naskah manuskrip di Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta disebutkan, dari Kraton Demak (abad 15), tercipta sepasang gamelan (Sekaten) yaitu Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Bersamaan dengan itu, diciptakan gendhing “Rambu” dan gendhing Rangkung”.
Namun, Gusti Moeng pernah menyebutkan, gamelan Kiai Guntur Sari diserahkan Sultan Demak kepada putri “Raja” dari Kasultanan Kanoman, Cirebon (Jabar). Setelah Kraton Demak berakhir di zaman Sultan Trenggana (1521-1546), darah keturunannya mendirikan Kraton Pajang, tetapi tidak ada catatan tentang adanya Sekaten.
Setelah Kraton Pajang berakhir (1550-1587), yang di antaranya memunculkan nama besar Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya sebagai salah satu rajanya, darah keturunannya mendirikan Kraton Mataram dengan Raja pertama Panembahan Senapati (1588-1601). Sejak Mataram pertama itu, Dinasti Mataram terbentuk hingga kini.
Meski Kraton Mataram sampai berpindah Ibu Kota saat, Sinuhun Prabu Hanyakrawati jumeneng nata sebagai Raja Mataram kedua (1601-1613), data informasi tentang adanya ritual Sekaten Garebeg Mulud tidak pernah muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, cerita tentang gamelan Kiai Guntur Madu juga tidak muncul.
Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat yang akrab disapa Gusti Moeng itu, menyebutkan data yang diperolehnya bahwa baru di zaman Raja Mataram ketiga, yaitu Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrawati, ritual Sekaten Garebeg Mulud diadakan kembali. Karena, saat itu diciptakan gamelan Kiai Guntur Sari yang baru.
Perjalanan ritual Sekaten Garebeg Mulud setelah Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma wafat (1613-1645) dan Ibu Kota Kraton Mataram berpindah ke Kartasura saat Sinuhun Amangkurat I “yang Agung” bertahta menggantikannya (1645-1677), cerita tentang ritual Sekaten Garebeg Mulud juga tidak pernah ada.
Kisah sepasang gamelan Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu serta gendhing Rambu dan gendhing Rangkung yang selalu ditabuh di dua Bangsal Pradangga yang ada di halaman Masjid Agung, nyaris juga tidak ada ceritanya sepanjang perjalanan sejarah Kraton Mataram berIbu-Kota di Kartasura (1645-1745).
Dari beberapa naskah manuskrip yang masih tersimpan di Sasana Pustaka menyebutkan, cerita tentang ritual Sekaten Garebeg Mulud baru muncul lagi dalam progres yang semakin lengkap, megah dan besar setelah Sinuhun PB II memulai meneruskan tahtanya di “nagari” Mataram Surakarta hanya dalam dua tahun (1747-1749).
Meskipun “nagari” Surakarta Hadiningrat dideklarasikan pada 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, tetapi Sinuhun PB II belum bisa menjalankan berbagai kegiatan pemerintahan maupun adat secara penuh, termasuk upacara adat Sekaten untuk menyambut hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW itu.
Sampai digantikan Sinuhun PB III (1749-1788), proses pembangunan sarana infrastruktur pemerintahan dan aktivitas adat juga belum rampung semuanya. Kagungan-dalem Masjid Agung yang konon dijadikan prioritas untuk dibangun paling awal, ternyata juga baru pada Sinuhun PB IV benar-benar bisa selesai tuntas. (Won Poerwono-bersambung/i1).