Tak Hanya Kewibawaan, Harkat Dan Martabat, “Korban Jiwa” Juga Berjatuhan
IMNEWS.ID – PROSES “kehilangan” kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat dialami Kraton Mataram Surakarta mulai awal lahirnya NKRI, bisa dikatagorikan sebagai kehilangan potensi sumber daya ekonomi secara fundamental. Pada periode berikutnya, status Provinsi DIS yang hanya memenuhi unsur “de jure” saja hingga kini, jauh lebih besar nilainya.
Sampai pada periode tahun 1950-an, Kraton Mataram Surakarta sudah benar-benar kehilangan segalanya. Tidak hanya kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat, tetapi secara ekonomi dan potensi sumber daya ekonomi juga “habis”. Yang tersisa tinggal kedaulatan di bidang seni budaya yang di dalamnya ada adat, yang juga hendak dihancurkan di tahun 2004.
Periode tahun 2004 adalah tahap kehilangan kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat yang berbasis seni budaya dan sistem adat. Kehilangan di basis-basis fundamental peradaban itu, seakan menggenapi dan menyempurnakan dari kehilangan besar-besaran yang sudah terjadi pada beberapa periode sebelumnya. Tetapi upaya dan berbagai percobaan itu gagal.
“Gagalnya” upaya dan berbagai persobaan itu bukan berarti sama sekali belum terjadi, tetapi kandas di tengah proses perjalanan. Kini, arahnya justru berbalik dalam proses kembalinya kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat terutama yang berbasis seni budaya dan sistem adat. Ritual haul ke-391 tahun (Jawa) wafat Sultan Agung, Kamis (8/8) jadi penandanya.
Ritual peringatan wafat Raja pendiri Kraton Mataram Islam yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” di Sasana Handrawina itu menjadi momentum yang tepat, sebagai awal kembalinya kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat terutama yang berbasis seni budaya dan sistem adat. Ini sangat penting, karena beberapa hal itu adalah basis fundamental peradaban Mataram.
Mulai Kamis Pahing (8/8) atau tepat pada tanggal 2 Sapar Tahun Je 1958 proses kembalinya kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat terutama yang berbasis seni budaya dan sistem adat mulai bergerak. Ruang dan waktu yang akan dilewatinya pasti sangat panjang, karena banyak perintang dan penghlang di sekitar “Bebadan Kabinet 2004” dan Lembaga Dewan Adat.
Peristiwa eksekusi putusan MA No 87/Pdt.G/2019/PN Ska, 29 Agustus 2022 dalam suasana ritual haul wafat Sultan Agung, Kamis (8/8) itu, bisa dipandang sebagai maklumat secara “De jure” proses arah balik perjalanan kraton dari jurang kehancuran ke posisi yang seharusnya penuh keagungan, kemegahan dan kewibawaan. Tetapi secara “De facto”, perlu waktu.
Kembalinya keagungan, kemegahan dan kewibawaan secara simbolis “De facto” memang sudah terjadi, Kamis (8/8) itu. Tetapi, diperlukan ruang dan waktu panjang untuk bisa pulih kembali pada tempatnya dalam suasana yang harmoni, terutama dalam basis fundamental kraton yaitu sistem tata nilai budaya dan sistem adat yang ada di dalamnya.
Memang, fenomena “Nut jaman kelakone” tetap harus dipahami sebagai keniscayaan harus terjadi, sebagai bentuk penyesuaian bentuk keagungan, kemegahan dan kewibawaan kraton di alam modern ini. Untuk itu, sistem koreksi dan kendali harus tetap ada dan berfungsi baik. Tetapi, porsi dan kesempatan itu jangan sampai jatuh ke tangan para perintang dan penghalang.
Kini, arah balik kembalinya kewibawaan, kehormatan, harkat dan martabat kraton sedang bergerak dalam proses dari awal. Walau perjalanan masih panjang untuk kembali pulih, sikap optimistik harus tetap ada. Kewaspadaan harus tetap dimiliki. Semangat aktivitas kerja adat harus terus ditingkatkan, soliditas dan kekompakan harus dijaga erat.
Dalam perjalanan menapaki proses arah balik itu, sedikit demi sedikit jalan akan semakin terang dan terbuka dan arah tujuan akan semakin menjadi jelas. Di saat itulah, upaya mengasah kemampuan untuk meningkatkan kapasitas diri perlu perhatian. Karena, di sinilah letak kelamahan yang sudah terdeteksi, sebagai indikasi sebagian besar generasi mudanya.
Bersamaan dengan itu, semua misteri buruk akibat “perbuatan jahat” para “siluman” di seberang pelan-pelan pasti akan semakin terbuka jelas dan para pelakunya kelihatan hidungnya. Rupanya, ungkapan spontan KRT Supadi, warga Pakasa Cabang Pati yang menyebut “Sapa sing becik bakal ketitik, sapa sing tumindak ala bakal ketara”, itu memang tepat sekali.
Ungkapan itu memang benar juga, setidaknya untuk menunjukkan kepada publik, agar tahu betapa besar akibat yang ditimbulkan oleh “perbuatan melawan hukum” yang dilakukan Sinuhun PB XIII dan para pengikutnya. Karena penyalahgunaan SK Kemendagri No 430-2933 Tahun 2017, menelan “korban jiwa” sejumlah tokoh di jajaran “Bebadan Kabinet 2004”.
Setiap kematian, memang sudah menjadi keniscayaan yang wajar akan dialami setiap orang. Tetapi akal sehat tidak bisa diabaikan begitu saja, ketika satu demi satu tokoh penting “berguguran” dengan gejala yang sulit dipahami letak kewajarannya. Mulai dari KGPH Kusuma Yuda, tokoh yang gigih menentang “siluman Raja tandingan”, dan banyak lainnya.
Sebut saja KPH Satryo Hadinagoro yang disusul istrinya, GKR Galuh Kencono, GPH Nur Cahyaningrat, KP Winarno Kusumo, GKR Retno Dumilah, KPH Broto Adiningrat, KPH Kusumo Wijoyo dan sebagainya. Mereka rata-rata merasa tersakiti dan teraniaya secara batin, menjadi “korban” akibat “perbuatan melawan hukum”, juga “pengkhianatan Tiga Pengageng” di tahun 2004. (Won Poerwono – habis/i1)