Menjadi Ajang Pemahaman Antar Gaya dan Penjelasan Makna Filosofi di Balik Nama dan Istilah
IMNEWS.ID – Para pamong Sanggar Pawiyatan Tata-Busana & Paes Pengantin Adat (Jawa) gaya Surakarta dan Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta tidak salah, sejak kali pertama menggelar upacara wisuda lulusannya dari babaran (angkatan) I hingga yang ke III, (iMNews.id, 16/1), digelar di tempat yang menjadi bagian dari industri pariwisata.
Setidaknya, hotel berbintang merupakan ruang publik berprivasi yang yang punya nilai tinggi pula dalam urusan publikasi dan sebaran informasi, karena menjadi bagian dari marketing jasa akomodasi tersebut. Ruang publik di luar kraton ini, menjadi tempat yang paling cocok untuk promo kegiatan atau produk ekslusif-ikonik macam tatacara perkawinan adat.
Dan yang perlu dipahami lagi, forum seminar dan ajang dialog serta diskusi di dalamnya yang membahas soal tema-tema eksklusif dan ikonik macam tatacara perkawinan adat klasik/tradisional yang berasal dari Kraton Mataram Surakarta, juga sangat tepat digelar di ruang publik berprivasi macam hotel berbintang, yang tak perlu ada batasan adat untuk datang.
Namun, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, tak sembarang memilih hotel sebagai tempat menggelar upacara wisuda yang disertai peragaan bagian tatacara perkawinan hingga forum seminarnya. Karena, tetap ada sikap selektif yang dimiliki untuk menentukan tempatnya.
Hotel Kusuma Sahid atau KSPH Surakarta, dipilih karena memiliki kriteria yang dibutukan untuk menggelar acaranya. Yaitu sebuah hotel yang masih merawat sebagian besar bangunan inti bekas rumah tinggal seorang putra-dalem Sinuhun PB X yang bernama GPH Kuyumayuda atau yang dikenal dari keluarga besar “Kusumadiningrat”.
Bangunan utama yang dijadikan gelar upacara wisuda dan kelengkapannya itu, masih utuh lebih 90 persen dari aslinya dan tampak sangat terawat. Sebab itu, ketika digunakan untuk menggelar peragaan bagian tatacara perkawinan adat Jawa gaya Surakarta, menjadi sangat tepat, menyatu dan seakan menyaksikan peristiwa tatacara perkawinan di lingkungan kraton pada masa lalu.
“Pertama, pertimbangan kami adalah kekhawatiran kalau upacara wisuda dan peragaan salah satu tatacara perkawinannya digelar di dalam kraton. Para undangan dan peserta seminar akan ribet dengan protokoler adat yang berlaku di kraton. Karena bagimanapun, kami harus tetap menjaga paugeran adat dengan protokoler adat baku, kalau sowan ke kraton”.
“Yang kedua, dengan melihat nilai publikasi dan promo produk upacara tatacara perkawinan adat Jawa gaya Surakarta, yang paling tepat harus digelar di hotel berbintang. Perimbangan berikut, kami ingin tetap ngestokaken dhawuh Sinuhun PB XII, untuk tetap menjaga kraton untuk dihormati dan dihargai sebagaimana fitrahnya,” tandas Gusti Moeng menjawab iMNews.id.
Dalam berbagai kesempatan dan wawancara sebelumnya, Gusti Moeng sering mengungkapkan bahwa Sinuhun PB XII sering berpesan agar tetap menjaga kraton sebagai tempat berlakunya paugeran adat dalam setiap kegiatan adatnya. Jangan sampai, kraton dijadikan sebagai tempat “jag-jagan” atau tampil dan berlaku seenaknya sebagai tamu, tanpa menghormati aturan adat yang ada.
Sebagai tempat promo dan publikasi produk kemasan tatacara perkawinan adat Jawa gaya Surakarta, menjadi tepat ketika dibahas dalam forum seminar. Namun, forum dimaksud lebih diutamakan sebagai sarana untuk menjelasakan, sosialisasi dan menunjukkan apabila selama puluhan tahun tatacara adat perkawinan menjadi milik publik secara luas ada kekeliruan dalam praktiknya.
“Karena, semua simbol benda dan uba-rampe serta bagian-bagian tatacaranya, sudah melekat makna filosofinya yang urut dan lengkap menjadi satu-kesatuan pengertian. Jadi, kalau salah satu benda, uba-rampe atau bagian dari tatacara ditiadakan atau dikurangi, makna filosofinya akan ikut hilang. Makna secara keseluruhan juga bisa berubah,” jelas RMRP Restu Setiawan.
Saat dihubungi iMNews.id, kemarin, Ketua Sanggar Pawiyatan Tata-Busana & Paes Pengantin Adat (Jawa) gaya Surakarta itu menyatakan bahwa dirinya mendukung kebijakan Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan dalam menata organisasi kelembagaan sanggar dan tata-laksana kegiatan wisuda, menyesuaikan kebutuhan publik tetapi ada penekanan unsur proteksinya.
Karena kemasan produk tatacara perkawinan adat Jawa gaya Surakarta itu memiliki satu-kesatuan makna filosofi yang lengkap, diperlukan upaya memproteksi agar simbol-simnbol cirikhas “gagrag” Surakarta tetap tampak jelas dan utuh. Proteksi juga dimaksudkan untuk menjaga semua makna filosofi dan tata-nilai yang ada di dalamnya, juga dipahami secara utuh dan benar.
Untuk itu, forum diskusi dan dialog pada seminar sebagai penutup acara Selasa (16/1) siang itu, juga menjadi ruang dan ajang pemahaman antar gaya atau “gagrag”. Bahkan, para peserta seminar dari berbagai daerah seperti Magelang, Jogja, Bandung, Malang, Semarang dan Surakarta, bisa memencermati letak perbedaan yang sekaligus akan memperkaya referensi/wawasan.
Kekayaan referensi/wawasan produk-produk tatacara perkawinan adat dalam bingkai budaya Jawa saja, tentu akan menambah koleksi ragam yang bisa menjadi pilihan masyarakat yang akan memanfaatkan jasa Wedding Organization (WO). Selain itu, juga menambah penguasaan istilah atau nama serta makna filosofinya, agar bisa diedukasikan kepada masyarakat luas secara tepat. (Won Poerwono-bersambung/i1).