Pemerintah Harus Jalankan Amanat Pasal 18 UUD 45 dan Aturan Turunannya, Sesuai Konsensus Nasional
IMNEWS.ID – FORUM perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar PBB di bulan September hingga Desember 1949 di Kota Denhaag, Belanda, selain berupa penegasan posisi NKRI di mata dunia sebagai negara yang baru merdeka dan terbentuk serta secara final diakui dunia, juga punya kaitan dengan konsensus nasional di internal bangsa di Nusantara tersebut.
Konsensus nasional yang paling mendasar dan berkekuatan hukum atau sah secara konstitusional itu, adalah kesepakatan tentang status Daerah Istimewa Surakarta sebagai provinsi seperti yang masih tertulis secara jelas dan tegas pada pasal 18 UUD ayat 1. Walau UUD sudah diamandemen beberapa kali, pasal itu tetap ada dan berisi amanat yang sama atau tidak berubah.
Konsensus yang ditegaskan dalam konstitusi, tentu sebuah keputusan atau kesepakatan berkekuatan hukum mendasar yang tidak main-main. Pasal demi pasal, ayat demi ayat dalam UUD 45 punya nilai bobot yang sama untuk dipedomani, dilaksanakan dan diwujudkan setiap anak bangsa, khususnya penguasa atau pemerintah yang menjalankan negara dan memandu arah bangsa ini.
Karena menjadi landasan menjalankan pemerintahan dan pemandu arah perjalanan bangsa, konsensus yang sudah dituangkan dalam pasal-pasal UUD 45, tentu serius dan mengakomodasi segala aspek, utamanya aspek rasa keadilan bagi setiap insan bangsa. Termasuk insan bangsa di wilayah Surakarta di dalam entitas masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta.
Soal rasa keadilan dan kedudukan yang sama di muka hukum tertinggi atau konstitusi ini, yang sudah 78 perjalanan NKRI belum bisa diberikan negara melalui pemerintahnya kepada yang berhak. Yaitu rasa keadilan dari perujudan pasal 18 ayat 1 UUD 45 sebagai hak konsitusional masyarakat wilayah Surakarta untuk mendapatkan kembali statusnya sebagai Daerah Istimwa.
Bahkan tidak hanya itu, di depan keluarga besar trah Sinuhun PB XI yang sedang menggelar wilujengan khol-nya, Gusti Moeng menyebut, pasal 18 ayat 1 UUD 45 juga menurunkan Perpres No 19 tahun 1964 yang intinya memerintahkan agar negara/pemerintah memelihara Kraton Mataram Surakarta, berupa santunan kepada semua pegawai yang ada di dalamnya.
“Itu saja tidak pernah dijalankan pemerintah kok. Intinya, rasa keadilan yang tidak pernah diwujudkan negara kepada masyarakat adat Mataram Surakarta. Perpres itu jelas-jelas mewajibkan pemerintah untuk menyantuni semua pejabat dan abdi-dalem di kraton. Rasa keadilan juga menjadi amanat konstitusi tentang hak sebagai Daerah Istimewa bagi Surakarta”.
“Saya juga banyak mendapat data dan fakta sejarah dari bukunya mas (Dr) Julianto Ibrahim (dosen FIB UGM-Red), yang berjudul ‘Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan’. Ya, ternyata semakin jelas menggambarkan bagaimana sebenarnya perilaku orang-orang republik di luar kraton, di sekitar kemerdekaan,” tunjuk Gusti Moeng mencontohkan.
Apa yang disinggung Gusti Moeng itu, adalah bagian dari sesorahnya yang cocok diberi tema besar proses kelahiran NKRI di tahun 1945 dan nasib Kraton Mataram Surakarta. Sesorah dengan tema besar itu, bagian demi bagian sudah disinggung di berbagai kesempatan, misalnya pada peringatan genap setahun kembalinya “Bebadan Kabinet 2004”, 17 Desember 2023 lalu.
Sesorah diteruskan pada tanggal 27 Desember, yang tepat pada tanggal peringatan peristiwa KMB yang kini berusia 74 tahun dalam kegiatan khataman Alqur’an. Sedianya, peringatan peristiwa KMB akan dilakukan dengan acara khusus dengan mementaskan wayang kulit. Tetapi, waktu terlalu mepet dan situasi kurang mendukung.
Dan, saat sesorah berlanjut di depan keluarga besar trah Sinuhun PB XI, bagian yang diangkat untuk diulas sangat tepat konteksnya. Karena, tokoh Sinuhun PB XI adalah satu di antara sejumlah tokoh nasional dari Kraton Mataram Surakarta yang sangat menonjol perannya di sekitar kemerdekaan RI, yaitu sebagai penggagas BPUPK.
Uraian dan ulasan Gusti Moeng menukik ke data-data dan fakta hasil penelitian Dr Julianto Ibrahim, khususnya yang terkumpul dalam buku berjudul “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan”. Buku yang banyak menampilkan suasana dan masalah sosial di masa revolusi di wilayah Surakarta antara tahun 1945-1950-an itu, bisa memberi gambaran lebih jelas soal nasib kraton.
Bila menganalisis bagian demi bagian yang ditampilkan dalam buku “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan”, sebenarnya bisa dilacak jejak rusaknya kehidupan sosial budaya di sekitar wilayah eks kedaulatan Kraton Mataram Surakarta, kalau tidak boleh disebut juga melanda banyak wilayah Nusantara yang dihuni bangsa ini.
Apalagi, yang dilukiskan dalam judul buku tentang tokoh sentral “Bandit” dan “Pejuang” itu, terkesan tipis sekali bedanya, meskipun masih bisa dilihat lagi secara kasuistik. Karena, keduanya terkesan kurang peduli atau bahkan mengesampingkan rasa keadilan terutama terhadap kraton, ketika membangun bangsa dan negara ini, waktu itu.
Berubahnya kesepakatan di BPUPKI dan “burgaining” soal status Daerah Istimewa Surakarta di ajang konferensi KMB yang diingkari, bisa disebut menjadi awal rusaknya pengelolaan negara dan bangsa ini. Tetapi, ideologi “kiri” dan “kanan” baik berdiri sendiri maupun berkolaborasi, juga banyak menyumbang atas buruknya nasib Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-bersambung/i1).