Pakasa Perlu Disineregikan Dengan Berbagai Elemen Lain, Menjadi Tantangan
IMNEWS.ID – WALAU tantangan berbagai rintangan dihadapi bahkan sudah dirasakan di banyak wilayah cabang, tetapi Pakasa “new reborn” semakin memiliki daya tarik bagi kalangan masyarakat adat dan warga peradaban yang punya rasa cinta atau “sutresna” pada budaya Jawa.
Bila dihitung plus-minus angka pertumbuhannya, jumlah lembaga Pakasa cabang terus bertambah dalam satu dekade terakhir, meskipun bisa disebut kurang ideal kalau wilayah Pakasa dianggap identik dengan jumlah/luas eks wilayah “nagari” Mataram Surakarta, apalagi kalau dengan sebaran budaya Jawa sudah meluas secara nasional.
Pertumbuhan dan perkembangan Pakasa cabang, juga belum bisa paralel dengan angka pertumbuhan jumlah para abdi-dalem atau masyarakat adat “sutresna budaya” Jawa. Karena, antara keduanya berbeda, yang bisa diukur dan dibandingkan tetapi tidak paralel pertumbuhan dan perkembangannya.
Realitanya, ada warga peradaban yang sudah masuk dalam kategori “sutresna budaya” (Jawa), atau bahkan menjadi bagian dari masyarakat adat, tetapi belum tentu membentuk Pakasa cabang atau secara sukarela masuk ke dalam organisasi di tingkat cabang yang sudah lebih dahulu ada.
Pakasa memang menjadi jalur rasional dan cara ideal untuk mengabdi di bidang pelestarian seni budaya Jawa yang sangat realistik, karena di sana terbuka ruang yang leluasa mengekspresikan rasa cinta dan semangat hidup serta menghidupi seni budaya Jawa. Tetapi, faktanya masih sampai batas-batas seperti disebut di atas.
Sepanjang pengamatan iMNews.id sejak 2004 saat masih berada di hari Suara Merdeka, keberadaan organisasi Pakasa bisa dibilang sangat dibutuhkan sebagai legitimasi Kraton Mataram Surakarta, mengingat sejak 1945 kraton sudah tidak memiliki kedaulatan wilayah, politik bahkan bidang lain yang “tidak seharusnya” hilang begitu saja.
Dalam “kerangka dibutuhkan” itu, proses pelembagaan dan pertumbuhannya tidak sepenuhnya murni sebagai ekspresi kebutuhan warga peradaban yang berada dalam masyarakat adat, apalagi yang sudah diikat secara adat dengan gelar kekerabatan. Karena ada trend, memiliki gelar kekerabatan dan menjadi anggota Pakasa karena tujuan lain di luar idealisme yang diharapkan.
Artinya, kalau dalam kerangka pertumbuhan dan perkembangan Pakasa “new reborn” ada kebutuhan sangat mendesak dan sangat penting untuk ketahanan budaya nasional demi utuhnya NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika, warga peradaban dalam beberapa level lebih spesifik di atas juga belum bisa dijamin mau menjadi anggota Pakasa.
Situasi dan kondisi secara umum di Tanah Air dalam beberapa dekade sejak di masa rezim Orde Baru hingga terakhir di alam kebebasan sekalipun, ternyata tidak banyak menguntungkan bagi perkembangan organisasi Pakasa. Mungkin saja, masih ada yang mengira Pakasa seperti wajah lama dianggap sudah “berkenalan” dengan politik dan “kenal” ideologi komunis.
Riwayat masa lalu Pakasa seperti itu jelas sangat tidak menguntungkan, meskipun Pakasa “new reborn” mulai dirintis periode 1990-an, 2004 dan menjelang 2017 hingga selama jajaran “Bebadan Kabinet 2004” berada di luar kraton hingga kini, menghadapi tantangan besar ketika berusaha menjadi Pakasa yang benar-benar lahir kembali atau “new reborn”.
Dinamika budaya global, sosial, politik dan ekonomi yang sangat dinamis sesekali sangat tajam mencuat di atas permukaan, tentu membuat posisi Kraton Mataram Surakarta tidak banyak mendapat keuntungan, tetapi justru banyak dirugikan. Suasana seperti itu bahkan juga dirasakan kalangan anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN).
KPH Edy Wirabhumi, Pangarsa Pakasa Punjer yang juga memimpin Majlis Adat Kraton Indonesia (MAKN) selaku ketua umum pengurus pusat (DPP) menyebut, situasi dan kondisi kalangan kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat anggota MAKN, sama-sama tidak diuntungkan oleh pemerintahan yang berganti-ganti pemimpin tiap lima tahun itu.
Karena posisi, situasi dan kondisi Kraton Mataram Surakarta tidak beruntung di bawah kepemimpinan pemerintahan siapa saja selama itu, itu sangat berpengaruh pada eksistensi pengurus Pakasa Punjer yang menjadi “anak kandung” kraton. Padahal, selama 10 tahun terakhir yang presidennya dijabat tokoh “wong” Surakarta.
Keberadaan Lembaga Dewan Adat yang telah terbukti menjadi kebutuhan kraton di masa kini dan mendatang, tentu banyak diharapkan akan bisa memayungi dan melindungi Pakasa “new reborn” dalam tujuan utama, melestarikan seni budaya Jawa dan menjadi modal kuat ketahanan budaya nasional.
Eksistensi Lembaga Dewan Adat (LDA) yang punya landasan hukum nasional semakin menjadi payung besar bagi Pakasa dan cabang-cabangnya, juga elemen-elemen lain yang pernah dilahirkan kraton. “Bebadan Kabinet” yang menjalankan otoritas Kraton Mataram Surakarta, adalah pusat dan sumber budaya Jawa serta para “expert” pemelihara dan pelestarinya.
Kraton yang memiliki elemen berbagai sanggar pawiyatan dan pasinaon dalam wilayah “kabudayan” atau budaya Jawa, sebenarnya bisa bersinergi atau saling dukung atau bahkan bisa menjadi mata rantai legitimasi bagi kraton. Tetapi, dalam beberapa waktu hingga kini, pintu-pintu untuk proses sinergi belum terbuka dan prosesnya belum bisa berjalan.
Padahal, akan sangat ideal apabila di antara semua elemen legitimatif bagi Kraton Mataram Surakarta dan bagi lestarinya budaya Jawa serta tujuan ideal lebih luas ketahanan nasional, seharusnya bisa bersinergi kuat. Kini menjadi tantangan besar yang perlu diwaspadai dan diperhatikan, karena yang selama ini terdengar tidak pernah ada titik temu sinergitas.
Yang banyak terdengar malah ekspresi ketidak-cocokan antara masing-masing elemen, karena memang belum didapat desain koordinasi sinergitas serasi terutama antara Pakasa dan Sanggar Pasinaon Pambiwara. Padahal, sinergitas bisa diwujudkan pula dengan Sanggar Paes dan Tatabusana, Sanggar Pawiyatan Beksa, Sanggar Pasinaon Pedalangan bahkan dengan Sasana Pustaka.
Sinergitas yang dibutuhkan antar semua elemen termasuk Pakasa cabang, bisa terwujud dalam kegiatan tugas “Tugur”, ritual “ngisis wayang” dan sebagainya. Aktivitas ini bisa dirangkai dengan “bawa rasa” tentang segala macam pengetahuan yang diajarkan di Sanggar Pasinaon Pambiwara. Ini baru menyangkut tatacara proses transfer pengetahuannya.
Tetapi kalau berbicara mekanisme yang rasional untuk transfer knowledge tentang apa saja yang diajarkan di Sanggar Pasinaon Pambiwara, tentu perlu ada cara yang menjembatani agar warga Pakasa bisa mendapat segala pengetahuan tentang budaya jawa dan sejarah Kraton Mataram Surakarta dengan menjadi siswa sanggar.
Sinergitas dua elemen itu sangat penting, mengingat warga Pakasa yang sudah mendapatkan ikatan adat berupa gelar kekerabatan harus paham betul soal budaya Jawa beserta semua bidang-bidangnya serta (sedikitnya) tentang sejarah Mataram Surakarta. Karena akan terdengar aneh dan lucu, kalau ada seorang abdi-dalem berpangkat KRT, tetapi tidak paham soal budaya Jawa.
Apalagi pangkat “Kanjeng Pangeran” (KP) yang pernah diobral “pihak seberang” selama lebih dari lima tahun (2017-2022), bahkan sebelum 2017 dan sesudah 2022 kepada oknum-oknum tertentu, termasuk seorang “Wali Kota”. Apakah pantas ada seorang “Pangeran” yang jadi bulan-bulanan saat digerebek warga sedang berselingkuh dan beritanya disebar luas lewat medsos?
Memang menjadi dilematis, ketika ada tokoh publik terpandang bahkan berpangkat dari luar wilayah etnik atau bahkan dari bangsa asing, mendapat gelar kekerabatan dari kraton, baik yang “KRT”, “KRAT” atau “KP”. Niat baik Sinuhun PB XII yang memulai memberikan gelar kekerabatan kepada tokoh dan warga di luar masyarakat adat itu, pasti didasari harapan mulia.
Siapapun yang dianggap pantas mendapatkannya, selain merupakan penghargaan untuk memuliakan atas jasa-jasa ketokohannya, sebaliknya diharapkan dukungannya terhadap kraton, sedikitnya disebut dalam doanya. Tetapi, ada konsekuensi menyertai kalau tokoh yang mendapat gelar itu sama sekali tidak paham tentang kraton, apalagi tentang budaya Jawa. Ini baru satu contoh. (Won Poerwono-bersambung/i1).