KPH Edy Wirabumi dan Dr Purwadi Jadi Pembicara Diskusi di Bangsal Smarakata
SURAKARTA, iMNews.id – Lebih dari 150 mahasiswa semester I Fakultas Hukum UNS berkunjung ke Kraton Mataram Surakarta untuk melakukan studi lapangan, Sabtu (21/10) siang tadi, mulai pukul 12.30 WIB. Kunjungan pengenalan diterima KPH Edy Wirabhumi di Bangsal Smarakata. Di tempat itu, “para tamu” dari universitas yang kelahirannya pernah didukung kraton di sekitar tahun 1975 itu, “dijamu” dalam forum diskusi sejarah yang di dalamnya ada pengetahuan tentang hukum, KPH Dr Edy Wirabhumi SH MH dan Dr Purwadi SS MHum yang menjadi pembicaranya.
“Saya dulu alumnus FH UNS di tahun 1980-an sampai S2 juga di situ. Saya masih sempat berkuliah di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa. Jadi, Kraton Mataram Surakarta ikut melahirkan UNS. Bahkan meminjamkan bangunan dan kompleks Pagelaran sebagai kampus pusat dan tempat perkuliahan. Rektornya saja, yang pertama dari kerabat kraton, yaitu GPH Haryo Mataram SH. Kraton Surakarta sudah 200 tahun usianya, kalau dihitung dari tahun 1745 hingga 1945. Di balik itu ada cerita tentang pemilihan tiga tempat. Yang paling panjang usianya, ya di sini ini,” papar KPH Dr Edy Wirabhumi saat mendapat kesempatan pertama berbicara.
Selanjutnya diungkapkan Pimpinan Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS) itu, sebelum pindah ke Surakarta, kraton berIbu-Kota di Kartasura. Kraton dipindah ke Surakarta oleh Sinuhun Paku Buwana (PB) II, yang seterusnya berganti kepemimpinan kepada generasi berikutnya, yang mengalami situasi dan kondisi seiring perjalanan peradaban di Nusantara ini. Sinuhun PB VI (1823-1830) menjadi Pahlawan Nasional, karena mendukung (membiayai-Red) perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda (1825-1830) dan keduanya dibuang ke luar Jawa. Sinuhun PB VI dipenjara, sementara kepimpinan di Kraton Mataram Surakarta kosong.
Karena membuat roda pemerintahan terganggu, kekosongan kepemimpinan diisi pamannya yang bernama RMG Malikis Solikin, yang jumeneng sebagai Sinuhun PB VII (1830-1858), karena anak PB VI masih dalam kandungan. Sinuhun PB VII wafat, anak PB VI juga belum siap menggantikan karena usianya sangat muda, maka kekosongan jabatan diisi seorang paman (PB VI-Red) lainnya yang bernama GRM Koesen yang kemudian jumeneng nata sebagai Sinuhun PB VIII (1857-1861). Barulah setelah PB VIII wafat, anak dari Sinuhun PB VI yang bernama RMG Duksina meneruskan kepemimpinan Kraton Mataram Surakarta bergelar Sinuhun PB IX (1861-1893).
KPH Edy Wirabhumi mempersingkat paparannya dengan menyinggung sekilas para tokoh penerus di Mataram Surakarta, terutama yang berkait dengan peran serta kraton dan tokoh-tokohnya terhadap lahirnya NKRI. Di situ ada peran Sinuhun PB X yang banyak membangun infrastruktur di wilayah Mataram Surakarta, terutama di Kota Surakarta karena dikenal raja paling kaya-raya. Kemudian penerusnya, Sinuhun PB XI yang menyiapkan lahirnya NKRI dengan menempatkan sebagian besar kerabatnya di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia dan Sinuhun PB XII adalah raja yang kali pertama mendukung Proklamasi Kemerdekaan.
Karena KPH Edy berpamitan untuk meninggalkan tempat dan bergegas ke bandara menuju Makasar untuk mengikuti pertemuan MAKN di sana, maka Dr Purwadi tampil sebagai pembicara kedua yang banyak menyebut karya-karya penulisan di bidang hukum dan tata-nilai yang kebanyakan dalam bentuk tembang. Misalnya “Serat Wulangreh” karya Sinuhun PB IV yang tersaji dalam tembang Macapat, “Gambuh”. Saat Dr Purwadi mulai menembangkan syair itu, ada beberapa di antara mahasiswa yang mengikuti bernyanyi. Di antara syair itu dijelaskan, bahwa orang hidup harus benar-benar pegang hukum. Raja itu adalah lembaga.
“Jadi, pada zaman Kraton Mataram Surakarta atau jauh sebelum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sudah ada aturan tegas yang memisahkan antara tugas dinas seorang pemimpin yaitu “Raja”, dengan pribadinya di luar tugas dinas. Oleh sebab itu, Raja sebagai lembaga disebut tidak punya anak dan tidak punya keluarga. Sebagai pribadi di luar tugas kelembagaan, dia bisa disebut ayah atau kepala keluarga. Serat Wulangreh, adalah supremasi hukum bagi negara (waktu itu-Red) yang sudah ada pada zaman Mataram Surakarta (PB IV-Red),” ujar Dr Purwadi, peneliti sejarah sekaligus Ketua Pusat Lokantara.
Sesi tanya-jawab dibuka, tetapi hanya ada 4 penanya antara lain Niko (Ketua Panitia), Laura dan Raka Mahendra. Pertanyaan para mahasiswa tertuju pada bagaimana kraton bisa membiayai rumah-tangga dan kegiatannya? sumber-sumber dananya dari mana saja? Ada juga yang bertanya soal “Satria Piningit” yang sering disebut-sebut berasal dari ungakapan Sabdapalon dan Naya Genggong. Setelah diskusi ditutup, mahasiswa diberi kesempatan melihat view di sekitar halaman Pendapa Sasana Sewaka untuk berfoto bersama dan selfi, sambil bertanya-tanya kepada Dr Purwadi maupun abdi-dalem KRT Rawang Gumilar. (won-i1).