Banyak Leluhur Dinasti Mataram di Sekitar Gunung Muria, Selalu Terjaga Harum Namanya (seri 1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 8, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Banyak Leluhur Dinasti Mataram di Sekitar Gunung Muria, Selalu Terjaga Harum Namanya (seri 1-bersambung)
MENJADI PEMBUKA : Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat) yang sudah sangat dikenal masyarakat adat dan Pakasa cabang yang menggelar ritual haul Kyai Ageng Wot Sinom, beberapa tahun lalu, menjadi pembuka bagi KGPH Hangabehi untuk meneruskan jejaknya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Rata-rata Semakin Berkembang Menjadi Destinasi Wisata Spiritual Religi

IMNEWS.ID – RABU, 4 Oktober 2023 lalu, putra mahkota KGPH Hangabehi bersama rombongan terdiri dari beberapa bagian di jajaran “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta, berkunjung ke Desa Sinom Widodo, Kecamatan Tambakromo dan Desa Trimulyo, Kecamatan Tambakromo di Kabupaten Pati. Kehadiran rombongan sekitar 50 orang yang dipimpin KGPH Hangabehi itu, untuk memenuhi undangan Pakasa Cabang Pati yang menggelar ritual haul wafatnya tokoh Kyai Ageng Wot Sinom (Raden Haryo Suwongso) dan Kyai Ageng Ngerang I yang kompleks makamnya berada di dua desa tersebut.

Bekerjasama dengan panitia di dua kompleks makam terpisah kecamatan yang berjarak sekitar 10-an KM itu, Pakasa Cabang Pati yang diketuai KRAT Mulyadi Puspopustoko tampak kembali sibuk terutama karena menjadi jembatan penghubung antara masyarakat adat dan panitia di masing-masing kompleks makam dengan posisi Lembaga Dewan Adat yang ada di Kraton Mataram Surakarta. Karena, relasi hubungan yang rasional dan ideal antara kraton dengan masyarakat adat seperti itu sudah berjalan beberapa waktu, sehingga Ketua Pakasa Cabang Pati sangat diandalkan baik Ketua Lembaga Dewan Adat maupun Pangarsa Pakasa Punjer.

MENJADI BINTANG : Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat) yang menjadi respresentasi Kraton Mataram Surakarta, selalu menjadi bintang saat hadir pada ritual haul Kyai Ageng Ngerang yang digelar Pakasa cabang dan masyarakat adat di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, beberapa tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Memasuki bulan Mulud (kalender Jawa) atau Rabiul Awal (kalender Hijriyah), menjadi bulan yang sangat sibuk bagi masyarakat adat di sekitar sejumlah makam di wilayah Kabupaten Pati, terlebih bagi kalangan pengurus Pakasa Cabang Pati yang termasuk di dalamnya para abdi-dalem jurukunci makam. Puncak kesibukan di bulan Mulud, adalah upacara adat haul wafatnya salah seorang putra Raja Kraton Majapahit, Prabu Brawijaya V yang bernama Kyai Ageng Wot Sinom itu, yang juga menjadi leluhur Dinasti Mataram bersaudara dengan Retna Pembayun dan Kyai Ageng Tarub yang lahir dari lain istri Prabu Brawijaya V.

Melihat silsilah yang ada di makam dan sumber lain, Kyai Ageng Wot Sinom memang tidak menurunkan raja-raja kraton di tanah Jawa, tetapi keberadaan makam di Desa Sinom Widodo, Kecamatan Tambakromo itu disebut KRAT Mulyadi Puspopustoko sejak lama sudah dikenal oleh para peziarah yang datang dari jauh, meskipun tidak sebanyak dalam satu dekade terakhir. Sedangkan keturunan Prabu Brawijaya V yang konon memiliki anak lebih dari 70 orang itu, yang banyak dicatat kalangan Dinasti Mataram khususnya Kraton Mataram Surakarta, adalah jalur tiga anaknya masing-masing Retna Pembayun, Raden Patah dan Kyai Ageng Tarub.

SELALU ANTUSIAS : Sejak Gusti Moeng dan sejumlah saudara perempuannya selalu hadir pada ritual haul Kyai Ageng Ngerang, masyarakat di Desa Trimulya, Kecamatan Juwana bersama Pakasa Cabang Pati dan para peziarah dari luar daerah selalu antusias menyambutnya, beberapa tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sebagai tambahan informasi dan ilustrasi, tiga tokoh yang sama-sama anak dari Prabu Wijaya V itu, menurunkan sejumlah tokoh penting dan sedikitnya pada generasi kelima, bisa bertemu dalam ikatan perkawinan sehingga masing-masing jalur garis keturunan itu sama-sama menurunkan raja-raja kraton di Jawa. Jalur garis keturunan yang lurus menurunkan penerus Kraton Mataram yang didirikan Panembahan Senapati dan berakhir di Kraton Mataram Surakarta, sementara Kraton Jogja dan Kadipaten Mangkunegaran (Surakarta) serta Kadipaten Pakualaman (Jogja) menjadi bagian penerus dinasti yang disebut Catur Sagatra.

Meski tidak menurunkan secara langsung raja-raja di Jawa, tetapi Kyai Ageng Wot Sinom juga menjadi “pepundhen” dan teladan banyak tokoh kerajaan, walau tinggal makamnya tetap menjadi magnet dan perhatian masyarakat adat setempat yang merawat, para peziarah dari berbagai kota sampai jauh di luar kota. Tidak terkecuali, kalangan otoritas Kraton Mataram Surakarta yang punya kewajiban menjadi payung kalangan masyarakat adat perawat makam, karena Mataram Surakarta punya garis langsung sebagai penerus Dinasti Mataram.

PROSES REGENERASI : Tak terasa, tampilnya putra mahkota KGPH Hangabehi pada ritual haul Kyai Ageng Ngerang yang digelar Pakasa Cabang bersama masyarakat adat setempat di kompleks makam Desa Trimulya, Kecamatan Juwana, belum lama ini, menjadi pertanda proses regenerasi sedang berjalan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena alasan-alasan itulah, maka tidak ada salahnya, bahkan sangat tepat GKR Wandansari Koes Moertiyah merasa bahwa dirinya harus menjadi jembatan penyambung tali persaudaraan atau ikatan kultural dan historis dengan makam-makam para tokoh leluhur dinasti, termasuk masyarakat adat di sekitar makam yang selalu menjaga dan merawatnya. Karena alasan ini pula, putra mahkota KGPH Hangabehi sangat patut meneladani langkah yang sudah dirintis Gusti Moeng sebagai Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, untuk meneruskan tradisi berkunjung di berbagai lokasi makam yang menggelar ritual haul.

Kebiasaannya berkunjung dalam upacara adat haul yang mulai dikemas dengan baik sebagai daya tarik wisata religi, seperti yang sudah diawali di makam Kyai Ageng Wot Sinom dan Kyai Ageng Ngerang, belum lama ini, akan semakin menambah daya tarik destinasi wisata spiritual religi itu, yang pada satu sisi akan memberi manfaat sangat luas bagi kedua pihak. Dan aspek lain yang sangat penting diperhatikan, tradisi berkunjung yang mulai dilakukan KGPH Hangabehi, tentu akan menjadi teladan generasi sebayanya atau generasi wayah-dalem Sinuhun PB XII, yang kelak akan menjadi teladan yang baik bagi generasi keturunannya.

SEMAKIN BANYAK : Upacara adat haul Kyai Ageng Ngerang yang digelar bersama antara Pakasa Cabang Pati dengan masyarakat adat di sekitar kompleks makam di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, belum lama ini, semakin banyak menerima kunjungan para peziarah yang datang dari berbagai tempat jauh dari luar kabupaten. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Dari hasil kajian sejarah yang saya lakukan, tokoh-tokoh leluhur Dinasti Mataram yang dimakamkan di wilayah utara pulau Jawa, nyaris tidak ada yang menjadi korban fitnah atau mendapat stigma negatif masyarakat. Tidak seperti di wilayah selatan Pulau Jawa, terutama dari garis Mataram apalagi Mataram Surakarta. Mulai dari Panembahan Senapati dituduh membunuh Kyai Ageng Mangir, Sultan Agung dianggap kalah perang, Amangkurat Agung dituduh membunuh para ulama, Sinuhun PB II dituduh pro-Belanda dan Sinuhun PB XII dituduh tidak mendukung proklamasi,” sebut Dr Purwadi menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.

Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang juga selaku ketuanya itu menyatakan, para leluhur Dinasti Mataram yang yang banyak dimakamkan di wilayah utara Pulau Jawa, semasa hidupnya nyaris aman dari segala bentuk penilaian negatif masyarakat. Oleh sebab itu, sampai sekarang rata-rata masih terpelihara baik dan ada sekumpulan masyarakat adat yang setia merawatnya, termasuk sejumlah makam tokoh yang berada di wilayah Gunung Muria, Kabupaten Pati. Bahkan, rata-rata tiap makam tokoh itu cenderung menjadi destinasi wisata spiritual yang semakin berkembang saat ini. (Won Poerwono-bersambung-i1).