Ada Rencana Para Ketua Pakasa Cabang Akan Kenakan Busana Kebesaran “Bupati”
JEPARA, iMNews.id – Pakasa Cabang (Kabupaten) Jepara menggelar rapat rutin seminggu sekali di kala tidak ada agenda kegiatan terutama di luar posko pengurus Pakasa cabang yang menempati kediaman KRA Bambang S Adiningrat selakuku ketuanya, di Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Rapat yang digelar seusai shalat istigotsah, Sabtu malam, (23/9) membahas berbagai hal di antaranya memutuskan beberapa agenda kegiatan yang akan dijalani pengurus, utamanya rencana perjalanan “sowan” ke Kraton Mataram Surakarta untuk menghadiri puncak acara hajad-dalem Garebeg Mulud Sekaten 2023, Kamis siang, 28 September.
“Itu salah satu keputusan rapat Sabtu Pahing (23/9) kemarin itu. Bahasan utama yang sudah jadi keputusan, adalah rencana sowan ke Kraton mataram Surakarta, untuk ikut hanekseni (menyaksikan-Red) jalannya upacara adat Sekaten Garebeg Mulud. Soal jumlah yang akan ikut sowan, masih kami data. Sal ageman (busana-Red), kami masih menunggu kepastian. Tetapi, rasan-rasan kemarin akan memakai ageman kebesaran ‘Bupati’, yang kurang lebih seperti yang dikenakan pada Hari Jadi Pakasa, tahun lalu,” ujar KRA Bambang S Adiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang Jepara yang dimintai konfirmasi iMNews.id, siang tadi.
Selain rencana hadir mengikuti “pisowanan” puncak hajad-dalem “Sekaten Garebeg Mulud 2023”, lanjutnya, rapat juga memutuskan rencana mengirim utusan ke Kraton Mataram Surakarta untuk menjalankan tugas “tugur” atau “berjaga” pada tanggal Kamis malam, 5 Oktober. Tugas “tugur” adalah tugas rutin bergilir yang dilakukan tiap Pakasa cabang di berbagai daerah yang sudah terbentuk kepengurusannya, dan dari sisi jarak masih memungkinkan atau memang ada keinginan para abdi-dalem Pakasa untuk mendapat jadwal giliran “berjaga” atau “lek-lekan” di teras Nguntarasana, mulai pukul 15.00 WIB hingga 20.00 WIB atau pukul 16.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB.
Tugas “tugur” yang akan dijalani Kamis, 5 Oktober, adalah tugas yang ketiga setelah awal Agustus lalu. Tiap Pakasa Cabang, bisa mengirimkan utusan perwakilannya sedikitnya tiga orang yang bisa dilakukan Pakasa anak cabang atau yang sudah terbentuk tiap kecamatan, yang diatur dan dikendalikan pengurus Pakasa Cabang. Kalangan pengurus cabang Klaten menyebutkan, Pakasa Cabang Klaten yang memiliki 22 kecamatan dengan anggota lebih dari tiga ribu abdi-dalem, bisa rutin menugaskan tiap anak cabang yang rotasinya cukup lama untuk sampai anak cabang yang sama apabila tiap kecamatan sudah punya kepengurusan anak cabang.
Keputusan berikut, lanjut KRA Bambang, adalah kegiatan “Napak Tilas” dan Ziarah” ke Gunung Kelir, Plered/Kerta, Jogja (DIY) yang pernah menjadi Ibu Kota Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Perjalanan napak tilas itu akan dilakukan rombongan Pakasa cabang Jepara pada tanggal 7 Oktober. Setelah itu, pengurus dan warga Pakasa cabang juga akan “nyengkuyung” anggota Pakasa yang menggelar hajadan pengantin anggota keluarganya, 27 Oktober. Agenda kelima yang diputuskan, adalah rencana mendukung penuh ritual jamasan, haul dan larab selambu tokoh “cikal-bakal” Desa Sukodono, Eyang Sentono.
Sementara itu, Pakasa Cabang Sragen yang dipimpin KRA Suparno Hadiningrat SPd selaku ketuanya, akan menggelar sarasehan warga cabang dengan “nanggap” wayang kulit di kediaman ketua yaitu di Desa Gendol, Kecamatan Tangen, Kabupaten Sragen pada Jumat malam, 6 Oktober. Pentas wayang dengan lakon “carangan” Babad Sukowati itu akan disajikan dalang warga Pakasa cabang Jogja, yaitu Ki Dr Purwadi, seorang peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja. Menurut Dr Purwadi, lakon-lakon seperti itu dipilih karena bisa menjadi cara edukasi sejarah bagi publik yang bisa menggugah kesadaran untuk menghargai nilai-nilai peninggalan leluhur.
“Sejak muda, saya sudah belajar karawitan, karena sukup lama saya bergabung pada sebuah grup tayub di Nganjuk (Jatim). Saat itu, saya juga tertarik belajar teknis pedalangan. Tetapi, saya ditakdirkan menjadi pengajar (dosen di UNY-Red). Karena saya tahu arah dan kecenderungan seni pedalangan terutama dalam 20 tahun terakhir, maka saya memilih jalur atau versi lain dari seni pedalangan tergantung selera pasar. Yaitu, memilih tema-tema di luar lakon-lakon baku dari Ramayana dan Maha Bharata. Misalnya, lakon Babad Sukowati yang akan saya gelar di Tangen, Sragen,” jelas Dr Purwadi mencontohkan.
Dr Purwadi membenarkan, sajian pentas wayang kulit purwa yang semakin marak mulai tahun 1980-an hingga 2020-an, telah mengalami penurunan kualitas esensi gelar pakeliran untuk transfer tata-nilai bagi warga peradaban. Pentas-pentas wayang kulit yang banyak dikreasi dan dioptimalkan unsur hiburannya, selain membuat “miskin” dan “tumpul” figur dalangnya, juga akan menyisakan hiburan sesaat yang kosong dari edukasi tata-nilai. Perkembangan seni pakeliran macam ini, menurutnya justru merusak keanggunan dan keagungan seni pakeliran itu sendiri karena sudah kehilangan unsur “tuntunan”-nya. (won-i1).