Maklumat PB XII 1 September 1945, Bagian Penting Eksistensi NKRI (seri 5 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:September 10, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Maklumat PB XII 1 September 1945, Bagian Penting Eksistensi NKRI (seri 5 – bersambung)
"IBU-KOTA KEDUA" : Surakarta juga menjadi "Ibu Kota kedua" kegiatan pemerintahan kabinet Soekarno-Hatta yang dipimpin PM Sutan Syahrir. Karena kantor Bank Indonesia (BI) yang dulu bernama Javasche Bank di latar belakang prajurit kraton itu, adalah bekas pusat perkantoran pemerintah RI di tahun 1946 itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono).

PKI dan Agresi Belanda Jadi Kedok Anti Provinsi DIS untuk Menghancurkan Kepatihan

IMNEWS.ID – TULISAN Dr Sri Juari Santosa (FMIPA UGM) tentang kisah hubungan Kraton Mataram Surakarta dan NKRI di sekitar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI dalam buku “Suara Nurani Kraton Surakarta”, hasil kajian peneliti sejarah dari Lokantara (Pusat di Jogja) Dr Purwadi, begitu pula tulisan Julianto Ibrahim (FIB UGM) tentang kriminalitas dan kekerasan masa revolusi di Surakarta dalam buku “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan”, yang melukiskan puncak kerusakan dan kerugian besar yang diderita Kraton Mataram Surakarta. Dan bisa disebut, lenyapnya jejak sejarah Kepatihan Surakarta, seakan menjadi “tumbal” lahirnya NKRI.

Korban dan kerugian terbesar yang diderita Kraton Mataram Surakarta demi NKRI dan menghindari pertumpahan darah yang bisa terjadi berlarut-larut di masa pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, adalah hilangnya simbol-simbol “kehormatan” kraton. Kerugian yang diderita secara moral dan material itu, mulai dari stigma negatif atau fitnah kepada beberapa tokoh pemimpin Mataram, “hilangnya” sejumlah kedaulatan, penculikan terhadap sejumlah tokoh penting kerabat kraton dan lenyapnya “jejak” sejarah Kepatihan sebagai bagian dari eksistensi sejarah “nagari” Mataram Surakarta.

KMB DI BELANDA : Sinuhun PB XII (kiri) berada di belakang Wapres RI Moh Hatta yang sedang berpidato sebagai pimpinan delegasi RI di perundingan KMB di Den Haag, Belanda, September 1946. Di forum itu, Sinuhun harus menandatangani perjanjian untuk meyakinkan bahwa RI benar-benar sudah merdeka. (foto : iMNews.id/dok)

Analisis dari data-data yang disajikan beberapa buku hasil penelitian dan kajian sejarah itu menunjukkan, bahwa kompleks pusat pemerintahan administrasi Kraton Mataram Surakarta di Kepatihan dirusak, dijarah dan dibumihanguskan karena menjadi akumulasi berbagai kepentingan politik banyak pihak. Dan karena satu kepentingan politik tertentu, wilayah pusat perkantoran pemerintahan “nagari” Mataram Surakarta itu menjadi mudah untuk “dibelandakan” atau “warisan Belanda”, “kerjasama dengan Belanda” dan berbagai istilah yang “dianggap berlabel dan berstampel” Belanda.

“Semua yang dianggap berlabel dan berstampel Belanda, mungkin dihancurkan dulu dan pada gilirannya dinasionalisasi atau dikuasai. Contohnya banyak, tak hanya yang ada di Surakarta. Di kota-kota lain juga banyak yang mengalami proses semacam itu,” ujar Dr Purwadi yang secara eksplisit membenarkan proses “penguasaan” itu. Tak hanya bangunan, kandidat doktor di UNS RM Restu Budi Setiawan saat berbicara di forum diskusi “Maklumat 1 September” menyebut, selain kompleks Kepatihan, aset milik kraton seperti kebun teh di Boyolali dan kebun kopi di Salatiga, “dibakar lebih dulu lalu dikuasai”.

MENUJU KEPATIHAN : Jalan yang terarah ke “plengkung” (gapura besi melengkung) itu adalah menuju halaman kompleks Kepatihan yang “dibumihanguskan” di tahun 1946, dan kini nyaris hilang jejak sejarahnya. Padahal, pusat pemerintahan administrasi itu adlaah bagian dari pusat Ibu Kota Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/dok)

Hilangnya jejak sejarah kompleks Kepatihan yang cukup luas yang letaknya sekitar 500 meter di utara kompleks Balai Kota Surakarta, menyebabkan jejak sejarah bangunan sebuah pusat pemerintahan “negara” Mataram Surakarta bisa dikatakan hilang separo atau tidak lengkap. Dari sisi ilmu ketatanegaraan, Mataram Surakarta mewariskan potret embrio pilar-pilar lembaga pemerintahan (demokratis) yang trend di alam republik, karena waktu itu sudah ada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, musnanya Kepatihan tak sekadar hilang fungsi keilmuannya, tetapi objek fisik jejak sejarah peradabannya jadi tidak lengkap dan merugikan generasi peradaban bangsa di kemudian hari.

Dari sisi proses perusakan, penghancuran dan “pemusnahannya”, semua data dari sumber-sumber itu jelas menunjukkan bahwa kompleks Kepatihan menjadi target operasi (TO) akumulasi kekuatan dan kepentingan politik. Mulai dari ketidakpuasan sejumlah abdi-dalem garap (pegawai) yang puncaknya ditumpahkan dalam kudeta yang dipimpin Mayor Soediro di Kepatihan, kekuatan dari luar eks “relawan” atau laskar pejuang pimpinan Suradi Bledheg yang kecewa dengan Wapres Moh Hatta, penculikan para tokoh pejabat Kepatihan oleh PKI pimpinan Muso, laskar tentara yang terhasut info agresi Belanda II dan sebagainya.

TINGGAL MASJID : Jejak sejarah pusat pemerintahan Mataram Surakarta di kompleks Kepatihan, kini tinggal sebuah masjid yang tersembunyi di dalam kampung karena sudah ditutupi bangunan pemukiman dan perkantoran. Tinggal masjid itu yang bisa diidentifikasi dari pusat pemerintahan Ibu Kota Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Setidaknya ada lima kekuatan yang beramai-ramai “pesta” untuk “menghabisi” Kepatihan, yang caranya kombinasi antara merusak dan membakar dengan track-bomb versi tentara Belanda dan “menghabisi” dengan cara “menyelamatkan” lebih dulu barang-barang penting aset Kepatihan yang juga aset budaya/bersejarah Kraton Mataram Surakarta. Julianto Ibrahim dalam bukunya “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan” tidak menunjuk objek fisik Kepatihan sebagai “korban” atau “tumbal” dalam gerakan revolusioner  di Surakarta waktu itu, karena titik berat yang ditampilkan adalah peristiwa kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan berbagai kekuatan yang ada saat itu.

Namun dari penjelasan RM Restu Budi Gunawan dan tulisan Dr Sri Juari Santosa di “Suara Nurani Kraton Surakarta” menunjuk pada dugaan kuat bahwa kompleks Kepatihan sengaja dihancurkan oleh berbagai kekuatan yang bisa “pinjam tangan”, menghasut, bekerjasama atau bekerja secara terpisah tetapi “ndilalah” tujuannya sama. Dan patut diduga, agresi Belanda II yang sering dipersepsikan dengan aksi bumi-hangus itu hanya dijadikan “kedok” pihak-pihak yang tidak suka atau ingin mengingkari eksistensi dan anti Kraton Mataram Surakarta, dan oleh karena itu sebenarnya ndalem Kepatihan menjadi “tumbal” revolusi sekaligus “tumbal” NKRI.

“FORUM PENGINGAT” : Forum-forum diskusi seperti yang digelar Komunitas Soecieteit Surakarta yang membahas “Maklumat Sinuhun PB XII”, belum lama ini, merupakan forum pengingat yang perlu terus dilakukan kapan saja, agar upaya-upaya menghapus jejak sejarah peradaban bangsa bisa dihindarkan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi “tumbal” NKRI itu sangatlah jelas, karena di antara kekuatan yang berkolaborasi atau mengakumulasikan “kemarahan” dan ambisi perjuangan ideologi dan sebagainya, rata-rata punya misi anti swapraja, anti feodalisme dan rangkaiannya adalah anti Daerah Istimewa Surakarta. Padahal, lembaga Kepatihan adalah satu-satunya organ “nagari” Mataram Surakarta yang jelas sangat mendukung Daerah Istimewa Surakarta sesuai “Piagam Kedudukan” 19 Agustus, “Maklumat Sinuhun PB XII” 1 September dan pasal 18 UUD 1945, karena Sinuhun PB XII yang menerbitkan “Maklumat” adalah cucu seorang patih yang pernah menjabat di kompleks Kepatihan.

“Laskar pejuang yang ikut mengamuk, menjarah dan merusak kompleks Kepatihan, jumlahnya banyak sekali. Karena ada ratusan ribu laskar yang kecewa karena tidak bisa diterima menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Yang merekrut relawan menjadi laskar itu Wapres Moh Hatta. Beliau baru menyadari kemudian, bahwa TRI tidak akan bisa menerima peminat sebanyak itu. Karena jelas berkaitan dengan anggaran negara, yang waktu itu belum memungkinkan. Karena kecewa, mereka melampiaskan kemarahannya. Yang dipimpin Suradi Bledheg, sasarannya antara lain Kepatihan,” ujar Dr Purwadi. (Won Poerwono – bersambung/i1).