Karena Mendukung DIS, Para Pejabat Kepatihan dan Lebih 3000 Pejabat Diculik
IMNEWS.ID – FRIKSI di lingkungan internal “nagari” Mataram Surakarta terjadi di sekitar tampilnya Sinuhun PB XII menggantikan sang ayah, Sinuhun PB XI, di saat-saat kondisi di eksternal kraton berada di puncak perubahan sosial politik menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI atau sekitar 2 bulan sebelum 17 Agustus 1945. Friksi terjadi karena di antara saudara Sinuhun PB XI ada yang tidak bisa menerima kenyataan, bahwa anak lelaki dari garwa prameswari GKR Ratu Paku Buwana ke-enam yang bernama GRM Suryo Guritna itulah yang berhak secara adat paugeran menjadi penerus tahta di Mataram Surakarta.
“Jadi, ndilalah pada saat-saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan itu 17 Agustus itu, Sinuhun PB XI wafat. Karena pemimpinnya wafat, tentu saja para kerabat jadi bingung dan situasi jadi kacau. Dan ndilalah ada di antara sentana-dalem yang tidak setuju dengan tampilnya putra mahkota dari garwa permaisuri Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwana (ke-enam) menjadi Sinuhun PB XII, maka ikut mengurangi kekuatan di luar kraton. Praktis, tampilnya Sinuhun PB XII dengan segala keputusan yang diambil, hanya didukung Pepatih-dalem atau lembaga Kepatihan. Karena, GKR Paku Buwana adalah putri Patih Sosrodiningrat,” papar RM Restu.
Sekilas latar-belakang jatidiri Sinuhun Paku Buwana XII yang dipaparkan secara tegas oleh kandidar doktor di UNS, RM Restu Budi Setiawan dalam diskusi membahas “Maklumat Sinuhun PB XII 1 September” di Bangsal Smarakata, belum lama ini (iMNews.id, 3/9/2023), bisa memperjelas berbagai situasi yang muncul di internal dan eksternal Kraton Mataram Surakarta di sekitar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Data informasi sejarah itu juga bisa melukiskan bagaimana pro-kontra terhadap tampilnya Sinuhun PB XII terjadi di internal kraton, yang berimbas pada proses pengambilan keputusan.
Pro-kontra tidak hanya soal tampilnya pengganti Sinuhun PB XI, tetapi juga berpengaruh besar terhadap proses pengambilan keputusan di eksternal kraton yaitu di tubuh BPUPKI yang “diam-diam” berubah menjadi PPKI. Pro-kontra tentu terjadi pada proses pengambilan keputusan ketika Sinuhun PB XII mengirim telegram ucapan selamat kepada Presiden Soekarno, mengakui dan mendukung Kemerdekaan RI pada 18 Agustus 1945. Pro-kontra tentu terjadi saat Sinuhun PB XII menerima “Piagam Kedudukan” Presiden Soekarno, 19 Agustus 1945, bahkan terjadi saat “Maklumat PB XII” diterbitkan pada 1 September 1945.
Awal pro-kontra memang terjadi karena tidak setuju dengan tampilnya GRM Suryo Guritno yang “terpaksa” jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XII dalam usia 20 tahun, suatu tahapan biologis manusia menuju kematangan psikologis yang di lingkungan kraton dipertimbangkan belum layak menyandang gelar KGPH, Pangeran Adipati Anom dan sederet gelar menuju puncak tahta sebagai “Raja”. Analisis ini sangat masuk akal menjadi alasan selain beberapa alasan lain yang dimiliki para penentangnya, termasuk alasan lain lagi yang sangat dimungkinkan akibat “rembesan” pengaruh kekuatan kiri ke dalam internal keluarga besar kraton.
“Jadi, karena dari lingkungan keluarga ada yang tidak mendukung beliau (PB XII), maka praktis tinggal tokoh-tokoh dari Kepatihan, termasuk Pepatih-dalem yang mendukung Sinuhun PB XII dan segala keputusan politiknya. Saat kekuatan kelompok kiri beraksi, banyak tokoh dari Kepatihan dan dari luar kraton diculik gerombolan dari kelompok kiri,” tunjuk RM Restu Budi Setiawan. Soal kelompok kiri yang menculik kalangan tokoh dari kraton, disetujui KPH Edy Wirabhumi karena trend waktu itu memang begitu, tetapi dalam perkembangannya sekarang ini, masing-masing bisa saling menuduh sebagai kelompok kiri.
“Kelompok kiri seakan-akan mendapat kesempatan berkembang luar biasa sebelum 17 Agustus 1945, bahkan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Akibatnya kaum kiri bisa menyusun kekuatan di mana-mana. Berubahnya format BPUPKI dan tiba-tiba menjadi PPKI, itu karena sudah kemasukan pengaruh kelompok kiri. Dan mereka ini, menentang status Daerah Istimewa Surakarta karena kraton pro-nasionalis. Isu kraton pro-Belanda juga diolah dan diputar-balikkan menjadi alasan untuk menentang swapraja, feodalisme dan Daerah Istimewa Surakarta. Kraton banyak berkorban karena ‘dibelandakan’ oleh isu dari kelompok kiri,” tunjuk Dr Purwadi.
Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang banyak mengungkap misteri kemilau “Mataram Surakarta” ini, segala macam isu bibit friksi dalam hubungan keluarga di internal kraton, hubungan antara kraton dengan para tokoh religi/ulama, dengan para perintis kemerdekaan, hubungan dengan kekuatan militer dan tokoh-tokoh pejabat NKRI, telah banyak dikacaukan oleh pengaruh kaum kiri (PKI-Red). Sehingga, kraton paling banyak yang menjadi korban, mulai dari Sinuhun PB XII, Perdana Menteri Sutan Syahrir, Patih Sosrodiningrat V dan 9 pejabat Kepatihan, bupati, wedana, camat dan lurah menjadi korban penculikan.
Dalam kajian sejarah dan catatan Dr Purwadi, ada lebih dari 3 ribu tokoh mulai dari Sinuhun PB XII sendiri, PM Sutan Syahrir hingga Demang atau Lurah diculik kelompok kiri sampai puncaknya status Daerah Istimewa Surakarta “dibekukan” dengan PP No 16/SD/1946. Data dari buku “Suara Nurani Kraton Surakarta” (Dr Sri Juari Santosa) menyebut, penculikan berbagai tokoh di dalam dan luar kraton di wilayah Surakarta atau Solo Raya atau eks Karesidenan Surakarta, langsung atau tidak langsung berada di bawah perintah tokoh PKI pimpinan Muso dan Dr Purwadi mencatat, lebih dari 3 ribu tokoh di wilayah Solo Raya yang diculik.
Mengapa aksi penculikan para tokoh PKI yang dipimpin Muso banyak dilakukan di Surakarta dan Kraton Mataram Surakarta justru dijadikan sasaran dan begitu banyak korbannya? Menurut Dr Purwadi, karena pemerintah RI yang dipimpin Presiden Soekarno pindah dari Jakarta ke Jogja dan menjadikannya sebagai “Ibu Kota” kedua. Karena pusat dan kegiatan pemerintahan pindah, kekuatan oposisi pemerintah juga pindah dan mendapatkan Kota Surakarta dan sekitarnya yang dekat dengan Jogja, sebagai tempat memperluas pengaruh ideologi komunis, menyusun kekuatan dan strategi merebut kekuasaan. (Won Poerwono-bersambung/i1)