Ceramah Tausyiyah “Pembelaan” Kyai Ahmad Muwafiq Terhadap Peradaban Jawa dan Mataram
IMNEWS.ID – “Biarkan Saja, Wayang Wong Sriwedari Mati Pelan-pelan”. Kalimat yang bernada pasrah karena sudah tidak ada lagi cara untuk membelanya, pernah diucapkan seorang seniman yang juga dosen di sebuah perguruan tinggi seni di Surakarta. Pernyataan itu, lebih dari sekali diucapkan, tetapi mendapat banyak perhatian saat diungkapkan di forum sarasehan yang digelar lembaga Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta atau TBS di tahun 1990-an, yang antara lain membahas tema wayang “wong” atau wayang orang (WO) Sriwedari.
Seperti diketahui, kesenian wayang “wong” adalah bentuk seni pertunjukan inovatif sebagai pengembangan dari seni pertunjukan wayang kulit yang berbasis cerita Mahabharata dan Ramayana yang sudah diadaptasi para Empu di zaman Kraton Kediri (abad 12) dan Majapahit (abad 14) hingga para Pujangga Jawa Surakarta seperti RNg Ranggawarsita, Jasadipura, Padmasusastra dan sebagainya. Inovasi awal, masih berupa “pethilan” seperti pada judul “Srikandi-Mustakaweni”, kemudian “Arjune Wiwaha” yang ditulis Sinuhun PB IV (1788-1820) dan lengkap menjadi seni pertunjukan wayang “wong” di zaman Sinuhun PB X (1893-1939).
Wayang “wong” yang sudah mulai dikembangkan dan dilembagakan sebagai sebuah grup atau kelompok kesenian sejak Sinuhun PB IV, benar-benar dilembagakan sebagai sebuah seni pertnjukan secara lengkap dengan infrastruktur gedung teater yang hingga kini masih bisa dikenali di dalam Taman Sriwedari. Gedung wayang orang (WO) Sriwedari, adalah monumen seni pertunjukan yang berbasis kesenian tradisional yang berada di eks taman wisata Kebon Raja, bahkan punya basis seni tari khas Kraton Mataram Surakarta, karena jasa-jasa dua Raja itu.
Namun seiring perjalanan sejarah peradaban, taman wisata Kebon Raja atau Taman Sriwedari yang sengaja dibangun Sinuhun PB X sebagai sarana rekreasi rakyatnya yang persis berada di tengah Ibu Kota “nagari” Mataram Surakarta itu, harus dijadikan korban yang tersisih kepentingan modernitas dan “janji-janji politik”. Maka ketika melihat prosesnya, kalimat “Biarkan Saja, Wayang Wong Sriwedari Mati Pelan-pelan” bisa dianggap ada benarnya. Karena, sudah lebih dari dua tahun, Taman Sriwedari menjadi tidak jelas “rupa” dan fungsinya sebagai apa?, walaupun aktivitas kesenian wayang wong di dalamnya masih berjalan.
Salah satu contoh lokasi dan aktivitas kesenian karya peradaban Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta itu, boleh saja disebut sebagai sebuah proses “kekalahan” peradaban oleh akumulasi berbagai kepentingan yang di dalamnya ada label keniscayaan modernitas. “Kekalahan” karena sudah terlanjur menjadi bagian yang mendapat stampel “buruk” atau “stigma negatif”, jauh sebelum “kekuatan pembelaan” datang bermunculan. Namun, “biarlah Taman Sriwedari menjadi korban”, meski sebenarnya hanya korban “akumulasi rasa iri” terhadap peradaban Jawa yang sudah sangat tinggi dan sulit tertandingi.
Gambaran seperti itulah kira-kira yang bisa dijadikan petunjuk untuk menganalisis dan memahami upaya “pembelaan” yang dilakukan Kyai Ahmad Muwafiq, seorang intelektual Islam yang “nJawani” ketika berceramah memberi tausyiyah pada ritual khol ke-390 (kalender Jawa) wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 20/8/2023). Karena, upacara adat spiritual religi ini dinisiasi Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat Kraton Mataram Surakarta, sebagai upaya “pembelaan” kraton terhadap para tokoh leluhur Dinasti Mataram dan lembaganya yang telah diberi stigma negatif dan citra buruk oleh berbagai pihak.
“Rasa keadilan” yang telah lama “dirampas” berbagai pihak yang tidak menginginkan nama besar “Mataram” dan segala macam produk peradaban yang telah menjadi pedoman kehidupan warga peradaban dan zaman ke zaman hingga kini, sedikit demi sedikit diperoleh kembali walau kekuatan dari kekuasaan yang menghadangnya dashyat sekali. Seorang tokoh intelektual Muslim yang “nJawani” seperti Gus Muwafiq itulah, tokoh yang jujur dan berani mengungkapkan kebenaran dan kebesaran peradaban Jawa dengan semua tokoh-tokohnya, termasuk tokoh Dinasti Mataram dan para leluhurnya.
Sepanjang perjalanan waktu, dari berbagai kesempatan dan forum sarasehan, diskusi dan seminar ilmiah yang pernah terjadi dalam 78 tahun ini, baru Gus Muwafiq yang berani dan jujur mengungkap kebenaran di depan publik secara luas. Yaitu kebenaran sejarah bahwa sebelum peradaban Islam masuk ke tanah Jawa, peradaban Jawa sudah ada dan sangat tinggi. “Kisah pembelaan” “Kyai” asal Sleman, DIY itu dimulai dengan melukiskan bagaimana pertemuan bisa terjadi antara peradaban Islam dan peradaban Jawa yang sama-sama tinggi, waktu itu? Kemudian siapa yang bisa mempertemukan antara keduanya?.
Dia melukiskan bahwa peradaban Islam yang sudah sangat tinggi, sampai tidak meninggalkan jejak apapun saat agama tersebar di mana. Sementara, peradaban Jawa yang terbentuk melalui perjalanan waktu dan di sana peradaban Budha dan Hindu, telah meninggalkan candi (Borobudur dan Prambanan) dan sejenisnya seperti yang ada di Bali. Dan peradaban Jawa sudah sampai tahap mengenal teknologi mengolah logam saat Islam masuk. Gus Muwafiq menyebut, gamelan menjadi bukti karya peradaban Jawa, karena sudah bisa mengolah logam menjadi produk seni tinggi saat Islam masuk, sementara yang lain masih mengenal teknologi batu.
“Jadi, kalau ada yang bilang sebelum Islam masuk, tanah Jawa berada pada zaman ‘jahiliyah’, itu salah besar. Itu tandanya tidak memahami Jawa. Karena, saat Islam masuk, peradaban Jawa sudah sangat tinggi. Jadi, sangat sulit untuk penyebaran agama di tanah Jawa waktu itu. Karena, (kedua peradaban) sama-sama tinggi. Dan, kalau ada yang bilang bahwa Islam masuk ke tanah Jawa dibawa para saudagar, itu juga keliru. Kalau di dalam Hindu ada kasta ksatria, brahmana dan sudra, para saudagar itu termasuk kaum sudra, tidak mungkin menguasai agama dan menyebarkannya,” tandas Kyai Muwafiq. (Won Poerwono-bersambung/i1)