Ada Trend Meningkat Pelibatan Prajurit Kraton di Tahun 2023 Ini
IMNEWS.ID – DARI dua pengalaman yang didapat saat mengikuti kirab budaya peringatan Hari Raya Waisak ke-2567 BE Candi Borobudur, awal Juni 2023 dan Karnaval Budaya 2023 HUT RI di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, 23/8/2023, telah membuktikan bahwa prajurit Kraton Mataram Surakarta tetap menjadi fenomena yang menarik. Walau “dibungkus-bungkus” dan “ditutup-tutup” rapat dengan bendera dan identitas apapun, tak diduga jatidirinya bisa muncul juga bahkan lebih banyak diketahui, dikenal dan dikagumi jauh melebihi “bungkus” atau “penutupnya”.
Namanya saja, Kraton Mataram Surakarta, sebuah “negara” monarki atau kerajaan yang sudah establish selama 200 tahun (1745-1945). Sebagai pusat pemerintahan dan peradaban, Mataram Surakarta sudah melahirkan sejumlah tokoh penting bagi bangsa dan NKRI, bahkan di antaranya sudah menjadi Pahlawan Nasional. Bila dihitung dari Mataram Islam, nama Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, Sinuhun Paku Buwana VI dan Sinuhun Paku Buwana X sudah diakui negara sebagai Pahlawan nasional. Mataram dan para tokoh leluhurnya, adalah penginisiasi lahirnya peradaban Jawa dan Mataram Surakarta adalah sumber budaya Jawa.
Sedertan nama lembaga dan para tokoh di atas, bukan sekadar nama yang kosong, tanpa makna dan tanpa manfaat, bagi peradaban yang hidup dalam rentang waktu sangat panjang, semisal Mataram Surakarta saja yang telah berusia 200 tahun, yang banyak “menginspirasi” dan “menyokong” (sponsor) para perintis kemerdekaan hingga NKRI berdiri di tahun 1945. Oleh sebab itu, simbol Sri Radya Laksana dan berbagai cirikhas” Mataram Surakarta pasti akan muncul dengan sendirinya, walau dibungkus atau ditutup dengan apapun. “Berlian, walau terbenam dalam lumpur, pasti akan muncul dan bersinar sebagai berlian”.
Dalam “kasus” munculnya Bragada Prajurit Tamtama dan Korsik drumband Kraton Mataram Surakarta di ajang Karnaval Budaya 2023 di Cepu, Blora, tentu ada prosesnya juga yang tak lepas dari peran abdi-dalem KRT Sinto (pengurus PSHT Pusat-Madiun) dan KRAT Maryadi SE, Ketua Dewan Cabang Administratif PSHT Cepu (bukan Cabang Blora-Red). Proses-proses yang alami dan berjalan di kesengajaan, juga terjadi di ajang kirab budaya Hari Raya Waisak ke-2567 BE Candi Borobudur, yang kesimpulannya menyebutkan bahwa apapun yang menjadi bagian dari kraton (Mataram Surakarta-Red), masih diyakini sebagai “pusaka”.
Kesimpulan berbau analisis seperti ini, sama sekali tidak bermaksud mengajak publik untuk melahirkan kultus yang oleh pihak-pihak tertentu langsung dihubungkan dengan dunia klenik atau yang bersifat syirik atau musyrik. Tetapi, semua hal yang berkait dengan keberadaan kraton manapun terutama yang menurunkan Mataram, selama eksis beratus-ratus tahun hingga kini, pasti lekat dengan predikat magis dan gaib. Walaupun, banyak yang bisa dijelaskan hingga terlihat rasionalitasnya, tetapi banyak juga yang belum bisa dijelaskan dan belum ada yang bisa menjelaskannya.
Berkait dengan satu hal ini, penjelasan Kyai Ahmad Muwafiq (Sleman, DIY) saat mengisi tausyiyah di ritual khol ke-390 tahun (kalender Jawa) wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma menegaskan, siapapun termasuk “ustadz” bisa salah saat memahami Jawa dan kraton. Karena, di kraton banyak sekali “kiai” yang mirip dengan predikat “Kyai” untuk tokoh agama atau ulama di lingkungan masyarakat Jawa. Mengapa begitu?, karena semua yang berada di kraton disebut “pusaka”. Mengapa begitu?, karena peradaban Jawa sangat tinggi. “Bila ingin paham, masuklah ke dalam. Agar njawa, ngerti dan weruh,” tandasnya (iMNews.id, 20/8).
Dengan “case” (kasus) pengalaman di dua tempat, analisis dan ilustrasi-ilustrasi di atas, semakin menjadi jelas bahwa keberadaan prajuritpun di dalam bingkai Kraton Mataram Surakarta, adalah bagian dari “pusaka” yang punya makna penting, punya fungsi penting dan punya manfaat banyak serta penting. Oleh sebab itu, keberadaannya juga perlu dipelihara sebaik-baiknya dan ditempatkan secara proporsional, apalagi mengingat bahwa di dalam satu kesatuan prajurit kraton berisi manusia yang tak beda dengan yang ada di kehidupan di luar kraton, tetapi punya spirit pengabdian berbeda dari orang luar.
Kehadiran prajurit Kraton Mataram Surakarta yang secara lengkap ada sembilan bregada (korp/kesatuan) di manapun, jelas menjadi simbol dan representasi kelembagaan kraton yang sangat mudah dikenali, terutama karena vandel dengan simbol Sri Radya Laksana itu. Publik secara luas sekarang ini mungkin hanya melihat secara fisik prajurit kraton, yang di antaranya mungkin sudah berusia, serta tidak lagi melukiskan kondisi kekuatan pasukan secara riil seperti yang diimajinasikan. Tetapi, warni-warni kostum dan atribut yang dikenakan serta umbul-umbul kebesaran yang dibawanya, memperlihatkan keindahan, keagungan dan kebesaran dari sisi lain.
Kagungan, kebesaran dan keindahan prajurit kraton yang sudah terbentuk dalam 200 tahun “negara” monarki Mataram Surakarta eksis (1745-1945) itulah, yang membuat semakin fenomenal, disukai, dielu-elukan di mana-mana dan dipahami keberadaannya sebagai bagian dan tangan panjang keberadaan Mataram Surakarta. Karena faktor-faktor inilah, selama tahun 2023, prajurit kraton dilibatkan sedikitnya 20 kali di luar keperluan kraton dan kurang-lebih 20 kali untuk keperluan upacara adat yang dijalankan di internal kraton. Ini berarti, trend pelibatan prajurit kraton oleh publik di luar kraton, semakin meningkat.
Berbagai event mulai dari “Bersih Desa”, “Tujuhbelasan” hingga peringatan hari jadi kota/kabupaten, mulai banyak melibatkan prajurit Kraton Mataram Surakarta. Event “Grebeg Suro” di Ponorogo (Jatim), Hari Raya Waisak (Candi Borobudur), tujuhbelasan (Cepu/Blora) yang baru saja berlalu, menjadi contoh awal kecintaan mereka terhadap Kraton Mataram Surakarta. Juga sebuah event ritual tradisi di kawasan wisata Kopeng, Kabupaten Semarang, 3 September ini, adalah ekspresi cinta budaya. Walau hanya setitik warna di tengah samudera lepas, prajurit kraton akan tetap mencolok, mewarnai, bahkan bisa mengartikulasi. (Won Poerwono-habis/i1).