Fitnah Keji “Membatai” Ribuan Santri Disebarkan, Karena Iri Kebesaran Sinuhun Amangkurat Agung (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 16, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Fitnah Keji “Membatai” Ribuan Santri Disebarkan, Karena Iri Kebesaran Sinuhun Amangkurat Agung (seri 2 – bersambung)
MEMASUKI CUNGKUP : "Langse" baru yang dibawa dengan prosesi kirab, memasuki pintu "cungkup" makam Sinuhun Amangkurat Agung di komplesk Astana Pajimatan Tegalarum, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna dalam ritual yang digelar Kraton Mataram Surakarta dan dipimpin Gusti Moeng, Minggu siang (13/8). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tak Pernah Ditunjukkan di Mana Kuburan Massalnya?, Tahun Berapa Peristiwa Itu Dilakukan?

IMNEWS.ID – PERNYATAAN tegas bernuansa geram Gusti Moeng untuk membela leluhurnya, Sinuhun Amangkurat Agung, juga untuk “melawan” pihak-pihak yang diduga telah menyebarkan tuduhan dan isu fitnah keji tentang “pembantaian” ribuan santri (iMNews.id, 14/8/2023), sangat dimaklumi Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi. Karena tuduhan dan isu itu bisa merusak hubungan silaturahmi masyarakat adat dengan pihak-pihak lain yang sejak dahulu merupakan sebuah keluarga besar, serta bisa membuat suasana tidak nyaman dan menjungkir-balikkan akal sehat.

“Karena, tuduhan dan stigma negatif itu tidak disertai data-data dan fakta. Misalnya, dilakukan pada tahun berapa?, bulan apa bahkan tanggal berapa? lamanya berapa hari? Dan mestinya, bisa ditunjukkan data lokasi kuburan massalnya. La wong katanya ribuan santri, itu jumlah yang banyak. Sementara, fakta yang saya teliti dan kaji menunjukkan sebaliknya. Sama sekali tidak ada data dan fakta seperti yang dituduhkan, tetapi justru banyak fakta yang menunjukkan keharuman dan kebesaran Sinuhun Amangkurat Agung. Karena beliau tokoh Pelopor Tambang Emas,” tegas Dr Purwadi.

BELAJAR “BERBHAKTI” : Putra mahkota KGPH Hangabehi, hendak memasang “sangsang” ke atas “maijan” pusara Sinuhun Amangkurat Agung. Calon pemimpin ini sedang belajar “berbhakti” terhadap salah satu leluhurnya, sementara KPP Wijoyo Adiningrat dan Gusti Moeng memperhatikannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam salah satu hasil penelitian dan kajiannya yang ditulis berjudul “Upacara Jamasan Pusaka di Pajimatan Sri Amangkurat”, Dr Purwadi membeberkan sebagian perjalanan masa kecil, remaja dan usia dewasa GRM Sayidin, sang Putra Mahkota Mataram yang kelak menggantikan ayahandanya Raja Mataram ke-3 yaitu Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645), menjadi Raja Mataram ke-4 bergelar Sinuhun Amangkurat Agung ata I (pertama). Banyak hal positif yang menyangkut kekaryaan selama jumeneng nata (1645-1677) yang didapati dan ditulis Dr Purwadi, tetapi diakui tak menemukan data dan fakta satupun yang menyimpang dari ajaran agama, paugeran adat dan nilai-nilai “kautaman”.

Penulisan peristiwa upacara yang diramu dengan hasil penelitian versi Dr Purwadi, juga dilengkapi data-data silsilah asal-mula secara adat. Dalam banyak sumber termasuk yang diungkap Dr Purwadi, disebutkan bahwa Sinuhun Amangkurat Agung adalah anak yang terlahir dari “garwa prameswari” yang bergelar Kanjeng Ratu Batang, seorang putri Bupati Batang. Sebagai Raja cerdas yang bisa mengakomodasi dan mengkolaborasikan antara budaya (Jawa) dan agama (Islam), maka Sultan Agung banyak mendidik putra mahkotanya dengan pengetahuan yang tak jauh dari kesenian, keagamaan, bahkan kesusilaan, pemerintahan dan kenegaraan.

MEMASANG LANGSE : Gusti Moeng sedang memasang penutup pusara Sinuhun Amangkurat Agung dalam ritual “Gantos Langse” yang dipimpinnya, di Astana Pajimatan Tegalarum, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Minggu siang (13/8), KPP Wijoyo Adiningrat ikut membantunya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Pada tanggal 24 April tahun 1646, Sinuhun Amangkurat Agung mendirikan kedhaton Pamase di Desa Lesmana, Ajibarang, Banyumas. Istana ini juga dijadikan kegiatan perkantoran usaha tambang emas yang waktu itu terkenal di kawasan Asia Tenggara. Kemampuannya menambang, diperoleh saat belajar teknik ke Jerman. Keberhasilannya inilah, yang membuat nama ‘Banyukerta’ dirubah menjadi ‘Banyumas’ sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Beliau juga dikenal dengan Sinuhun Amangkurat Banyumas, karena telah menjadikan daerah itu sebagai sentra tambang emas,” sebut Ketua Lokantara Pusat di Jogja yang juga anggota Pakasa Cabang Jogja itu.

Dia juga disebut Sinuhun Amangkurat Tegal, karena saat wafat di tahun 1677 itu, jenazahnya dibawa ke wilayah yang kini terkenal dengan sebutan Tegalarum dan disemayamkan di sebidang tanah yang kini yang masuk Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Slawi/Tegal. Sinuhun Amangkurat I itu, wafat pada tanggal 10 Juli 1677 di Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, tetapi baru dikebumikan di Astana Pajimatan Tegalarum tanggal 13 Juli, dengan upacara pemakaman yang dipimpin Bupati Tegal, KRT Martalaya. Perjalanan membawa jenazah harus ditempuh beberapa hari, dari Pancurendang/Lesamana ke Tegalarum, Desa Pasarean.

SAMBUTAN “PEMBELAAN” : Untuk kali kesekian memimpin ritual “Larab Langse” makam Sinuhun Amangkurat Agung di Astana Pajimatan Tegalarum di Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna seperti yang berlangsung Minggu siang (13/8), Gusti Moeng memberi sambutan “pembelaan” terhadap leluhur Dinasti Mataram itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam catatan Dr Purwadi, tak hanya beberapa hal positif di atas, mengenang Sinuhun Amangkurat Agung disebutnya sebagai tokoh yang mulai memperhatikan produktivitas semua sendi kehidupan dan pengelolaannya, yang terutama untuk memperkuat bidang ekonomi. Selain produksi pangan dan hasil bumi, banyak sentra-sentra industri dibina dan ditingkatkan produktivitasnya, baik yang sudah ada sejak sebelumnya maupun yang baru lahir saat dia  jimeneng nata. Kerajinan perak Kutha Gedhe (Jogja), batik Pekalongan dan batik Laweyan yang lebih dulu ada, serta kerajinan ukir di Jepara didukung penuh produktivitasnya.

Sinuhun Amangkurat yang masih punya Ibu Kota pemerintahan di Plered, termasuk jarang disinggahi karena selain sudah punya Istana Pamase di Kecamatan Ajibarang, Banyumas, raja yang satu ini sangat aktif untuk melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya, yaitu yang kini masuk wilayah Provinsi Jateng, Jatim termasuk DIY. Aktivitas dan mobilitasnya yang cukup tinggi frekuensinya, melahirkan konsekuensi begitu tinggi popularitasnya yang tentu mengabarkan segala kebesaran, kekaryaan dan “keagungannya” yang pantas mengundang sikap tidak negatif terhadapnya.

SETIA MENGABDI : KRA Sunyoto Adinagoro adalah abdi-dalem jurukunci senior di Astana Pajimatan Tegalarum yang setia mengabdi dan paham arah “perjuangan” yang sedang dilakukan Gusti Moeng untuk tokoh Sinuhun Amangkurat Agung yang dijaganya selama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Potensi rasa tidak puas, rasa tidak senang, rasa disaingi bahkan segala rasa yang berakumulasi pada sikap sinis, sentimen dan upaya untuk membunuh karakter dengan stigma negatif, sejak dulu sudah ada. Persaingan politik dan bisnis antara pihak-pihak di pesisir utara dan wilayah timur Mataram, cukup sengit. Persaingan politik menjadi menjadi semakin panas. Maka lahirlah fitnah, caci-maki, perusakan reputasi dan pembunuhan karakter. Tetapi, sinar keagungan Sri Amangkurat tidak bisa dipadamkan oleh itu semua. Walau sempat redup, tetapi Allah SWT selalu memberi jalan untuk memancarkan ‘keagungannya’,” sebut Dr Purwadi.

Karena perkembangan situasi yang bisa dirasakan menjadi ancaman itulah, sangat wajar apabila Sinuhun PB XII banyak berpesan kepada Gusti Moeng, seperti diungkap saat memberi pidato sambutan di ajang ritual “Gantos Langse”, Minggu siang (13/8) itu. Tetapi sayang, sampai kini hanya Gusti Moeng yang berani bersikap tegas, “membela dan melawan” cara-cara kotor “membunuh karakter”, yang sangat mungkin menjadi bagian dari skenario besar ingin menenggelamkan peradaban “Mataram”. Peristiwa “perdamaian” di Kraton Mataram Surakarta 3 Januari 2023, tak banyak membantu Gusti Moeng mengatasi ancaman itu, karena  “atraksi” dengan label yang sama sebelum 13 Agustus, untuk sekadar mendapat materi, demi “kepentingan pribadi”. (Won Poerwono-bersambung/i1)