Sebelumnya Hanya Berwujud Wayang, Kini Benar-benar Hadir di Kraton
IMNEWS.ID – SABTU siang (29/7/2023) lalu, Kraton Mataram Surakarta menggelar acara penting, yaitu menjadi tuan rumah penandatanganan MoU kerjasama yang dilakukan Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) dengan dua lembaga sekaligus, yaitu Institut Pariwisata Trisakti, Jakarta dan Perusahaan Teh “Tambi”, Wonosobo. Namun, di ujung acara itu ada sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, tampak sederhana, tetapi memiliki makna yang tak kalah penting dengan peristiwa awal, yaitu penyerahan gelar kekerabatan oleh Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat kepada seorang pejabat dari Papua bernama KRT Jafar Weferte Dibyonagoro.
Kerjasama yang dijalin DPP MAKN yang diketuai KPH Edy Wirabhumi dengan pimpinan masing-masing dari kedua lembaga itu, sangat jelas letak pentingnya, seperti disebutkan Rektor Institut Pariwisata Trisakti (IPT) Fetty Asmawati dan Dirut PT “Tambi” Suwito ketika memberikan sambutan dan wawancara dengan awak media saat itu (iMNews.id, 29/7/2023). Sedangkan peristiwa wisuda yang dilakukan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat) selaku tuan rumah, hanya disebutkan oleh KP Siswanto Adiningrat sebagai juru pambiwara tanpa disertai penjelasan lebih lanjut di muka forum itu.
“Yang jelas, tokoh pejabat Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Kaimana (Papua Barat) itu bukan orang lain bagi Kraton Surakarta. Beliau adalah kakak ipar saya, karena telah menikahi Ratna Sri Daryanti, itu kakak saya. Beliau adalah menantu dari kerabat sentana di kraton. Tentu saja tidak ada salahnya atau wajar-wajar saja diberi gelar kekerabatan. Dan, terus terang, saya yang mengusulkan. Sebenarnya mas Jafar sudah lama menjadi keluarga besar kraton. Tetapi kami belum berani mengusulkan. Baru sekarang kami berani,” aku KGPH Hangabehi, putra mahkota kraton yang juga Pengageng Kusuma Wandawa saat dimintai konfirmasi iMNews.id, kemarin.
Dalam prosesi wisuda yang ditandai dengan penyerahan “partisara” (piagam) “kekancingan” (surat keputusan) berisi paring-dalem gelar kekerabatan itu, berlangsung singkat dari GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng kepada Jafar Weferte yang disaksikan Ratna Sri Daryanti, putra mahkota KGPH Hangabehi (Pengageng Kusuma Wandawa) dan beberapa sentana-dalem. Pengageng Karti Praja KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo saat itu hanya ikut mendampingi Gusti Moeng, tidak seperti biasanya terlebih dahulu memimpin ikrar janji wisudawan, mengingat forum itu bukan upacara wisuda penyerahan paring-dalem gelar kekerabatan.
Partisara kekancingan berisi paring-dalem gelar sesebutan (kekerabatan-Red) yang antara lain menyebut gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jafar Weferti Dibyonagoro, terlebih dahulu dicermati Gusti Moeng sebelum diserahkan kepada yang bersangkutan. Karena, tidak didahului dengan pembacaan dasar hukum, ikrar janji yang sekaligus membaca isi kekancingan yang biasanya dilakukan KPHA Sangkoyo Mangunkusumo, termasuk mengalungkan samir. Tetapi, Jafar Weferte datang sudah berkalung samir dan tinggal menerima partisara kekancingan berisi uraian gelarnya, dalam bahasa dan aksara Jawa dan aksara nasional.
“Saya sungguh tidak pernah membayangkan bahwa hari ini saya mendapat gelar kebangsawanan (kekerabatan-Red). Ini merupakan sebuah kehormatan kepada pribadi saya dan keluarga, juga penghormatan kepada orang Papua maupun posisi saya sebagai Kepala (bukan Sekretaris-Red) Badan Kesbangpol Pemkab Kaimana (Papua Barat). Pemberian gelar kepada saya ini, menunujukkan bahwa Kraton Surakarta sedang membangun representasi ke-Indionesiaan, sesuai semangat Kraton Surakarta yang ingin tetap menjaga pluralisme sebagai kekuatan budaya bangsa Indonesia,” tandas Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Kaimana yang dalam kekerabatan kini menyandang gelar dan nama KRT Jafar Weferte Dibyonagoro, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Walau tidak melalui upacara secara khusus wisuda untuk penyerahan kekancingan itu, namun KRT Jafar Weferte sudah memahami konsekuensi menjadi bagian dari masyarakat Kraton Mataram Surakarta, terlebih bagian keluarga besar kerabat kraton, yaitu kewajiban menjalankan tugas sesuai “gawa-gawe” dan “labuh-labet” sebagai kerabat. Salah satunya, adalah hadir “sowan” di kraton saat menggelar berbagai upacara adat walau hanya sekali dalam setahun, mengingat tempat tinggalnya sangat jauh dan sudah terikat sumpah-janji kedinasan sebagai abdi negara (ASN) di Pemkab Kaimana (Papua Barat).
“Saya akan berusaha memenuhi ikrar-janji sebagai keluarga besar kraton, dan mendorong peran kraton menjaga pluralisme. Saya berharap, kraton bisa menjadi payung besar dalam mewujudkan kekuatan budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, saya sangat berterima kasih secara khusus kepada Gusti Moeng sebagai Pengageng Lembaga Dewan Adat/Pengageng Sasana Wilapa yang telah memberikan gelar itu. Dan tentu saja, saya harus berterima kasih kepada adik ipar, KGPH Hangabehi yang telah mengusulkan nama saya mendapat gelar itu. Insya Allah, saya akan tetap menjaga kehormatan dan nama baik Kraton Surakarta,” tegas KRT Jafar.
Dalam catatan iMNews.id, Kraton Mataram Surakarta belum pernah menjalin kerjasama atau hubungan silaturahmi secara khusus dengan masyarakat Papua sejak masih bernama Irian Jaya, apalagi ketika kini sudah terbagi menjadi lima provinsi. Oleh sebab itu, bergabungnya Jafar Weferte menjadi bagian dari masyarakat adat dengan gelar KRT Jafar Weferte Dibyonagoro, bahkan keluarga besar kerabat Kraton Mataram Surakarta karena menikahi salah seorang kakak perempuan KGPH Hangabehi, adalah tokoh Papua pertama, bahkan tokoh pejabat Pemkab Kaimana dan dari Provinsi Papua Barat pertama yang menjadi bagian dari keluarga besar kraton.
Bergabungnya tokoh pejabat (Kepala Badan Kesbangpol Pemkab Kaimana) dari bumi Papua pertama ke dalam keluarga besar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, sebenarnya hanya mewujudkan saja hubungan tali silaturahmi secara fisik antara kraton dengan masyarakat Papua. Karena jauh sebelum NKRI ada, Kraton Surakarta sudah mendokumentasikan hubungan silaturahmi itu, berupa koleksi anak wayang yang melukiskan sepasang pemuda dari masyarakat adat Papua, di zaman Kesultanan Ternate-Tidore, abad 18. Anak wayang itu diperlihatkan Gusti Moeng saat ritual “Ngisis Wayang”, beberapa waktu lalu. (Won Poerwono-i1)