Terasa Ada Potensi Merugikan Ritual di Pusat Peradaban Jawa
SURAKARTA, iMNews.id – Upacara adat kirab pusaka menyambut pergantian Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 pada 1 Sura atau pergantian tahun Hijriyah 1445 pada 1 Muharam yang digelar Kraton Mataram Surakarta mulai Rabu (19/7) malam pukul hingga Kamis (20/7) dinihari tadi, berlangsung lancar dalam kawalan ratusan personel petugas keamanan gabungan dari berbagai unsur. Masyarakat adat yang hadir sebagai peserta kirab tetap banyak, mencapai seribuan orang, tetapi yang menyaksikan prosesi kirab di jalan-jalan protokol rute kirab, menurun drastis lebih dari 50 persen dibanding sebelum 2017 atau pandemi Corona.
Dalam pandangan dan catatan iMNews.id selama mengikuti upacara adat itu dari waktu ke waktu hingga kirab pusaka yang digelar mulai Rabu (19/7) malam dan berakhir Kamis (20/7) sekitar pukul 04.00 dinihari tadi, ada dinamika pemandangan yang berubah sangat tajam di luar tembok kraton atau sepanjang rute kirab. Begitu juga, pemandangan yang ada di pusat upacara di Sasana Parasedya, Pendapa Sasana Sewaka, teras Paningrat dan sekitarnya, maupun tatacara rangkaian upacara adat yang berlangsung dalam durasi mulai Rabu malam pukul 21.00 WIB hingga Kamis pukul 00.00 WIB dinihari.
Antara pukul 21.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB, pusat perhatian berada di dalam kraton saat berlangsung upacara adat yang dimulai dengan doa dan tahlil diikuti 500-an orang yang dipimpin abdi-dalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Pujodiprojo di topengan Bangsal Maligi Pendapa Sasana Sewaka. Doa dan tahlil yang disertai shalawat Sultanagungan itu dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat, ditemani GKR Ayu Koes Indriyah, GKR Timoer Kusumadewayani, GRAy Devi Lelyana Dewi dan hampir semua sentana-dalem serta beberapa perwakilan Pakasa cabang.
Sekitar 60 menit doa dan tahlil yang didukung para abdi-dalem “Kanca Kaji” dan “Ketib” dari berbagai daerah itu selesai, yang kemudian terdengar sepasang gamelan Kiai Mangunharjo dan Kiai Harjabinangun ditabuh menyuguhkan gending Ladrang Wilujeng, yang menandakan hadirnya Sinuhun PB XIII di tengah upacara menggunakan kursi roda. Begitu selesai gending penyambutan dan Sinuhun PB XIII menempatkan diri di depan deretan kursi para tamu VIP dan VVIP, perangkat sound system digidupkan dan terdengar suara juru pambiwara mulai mengabsen nama petugas “ngampil”, “Mbutar” dan “ngayap” pusaka satu-persatu.
Acara memanggil nama petugas satu-persatu dengan mikropun yang sangat tidak lazim terjadi di kraton atau baru malam itu diketahui iMNews.id, terdengar dan terasa aneh karena sebelumnya terutama sebelum 2017, semua upacara adat yang digelar dan terutama yang dipusatkan di dalam Kraton Mataram Surakarta, tak mengenal penggunaan perangkat sound system sebagai alat untuk mengabsen para petugas. Hampir semua upacara adat yang digelar dan dipusatkan di dalam kraton, tak pernah mengenal pembagian tugas dan protokoler pengaturannya secara verbal diumumkan atau diperdengarkan melalui sound system.
Tak hanya itu, cara memanggil petugas kirab dengan mengabsen nama-nama yang tentu sudah disiapkan jauh-jauh hari itu, menjadi suasana yang terkesan membosankan dan bertele-tele, sehingga mengurangi kekhidmatan suasana ritual yang seharusnya selalu dijaga suasana hening dan khidmat. Dan ternyata, di sinilah letak titik yang membuat sebuah keributan kecil terjadi dalam suasana upacara adat itu, sehingga tak disadari telah menambah gangguan dari yang dimulai dengan panjangnya durasi mengabsen dan suara sound system yang memanggil-manggil nama petugas kirab.
Beruntung beberapa tokoh segera mengambil langkah meredakan ketegangan itu, di antaranya KPH Edy Wirabhumi yang cepat-cepat menenangkan GKR Timoer Rumbai yang tampak emosi memprotes nama-nama petugas yang dipanggil, sementara nama seseorang sentana-dalem yang seharusnya dihormati dan mendapat prioritas dalam tugas “ngampil” pusaka malam itu, tak pernah disebut. Gusti Moeng-pun mendekati istri Sinuhun PB XIII dan tampak “memprotes” nama-nama orang yang disebutnya sebagai “sentana anon-anon”, karena malah mendapat prioritas untuk “ngampil” pusaka, sementara sentana-dalem trahdarah dalem justru banyak dilewatkan.
Ketegangan yang cepat bisa diredam, termasuk oleh Gusti Moeng sendiri, terkesan ada kesepakatan mengambil jalan tengah, yaitu tak perlu kembali dipanggil nama-nama petugas karena terlalu banyak memakan durasi, sementara waktu sudah menunjuk pukul 23.30 WIB. Jalan tengah itu juga terlihat segera masuknya tokoh-tokoh yang diseleksi secara langsung di tempat oleh Gusti Moeng, untuk langsung membuat barisan, termasuk tokoh yang “ngampil”, “mbuntar” dan “ngayap” pusaka. Cara bijak menyelesaikan dan mempercepat durasi persiapan dilakukan tanpa suara mikropun, dan barisan terdepan kirab bisa berjalan pukul 00.00 WIB.
“Saya merasakan benar, ada penurunan drastis dari jumlah masyarakat yang menyaksikan kirab pusaka Kraton Surakarta, semalam. Di perempatan Gladag yang biasany penuh sesak pengunjung sulit ditembus walau hanya jalan kaki, semalam tak ada separonya. Saya tidak tahu apakah di rute bagian timur dan selatan juga demikian. Tetapi, pemandangan di seputar perempatan Gladag sudah mewakili indikasi penurunan yang menurut saya tinggal 30 persen itu. Acara menyambut 1 Sura di berbagai daerah bisa sukses, itu bagus sebagai bentuk kesadaran dan pemerataan. Tetapi berpotensi merugikan bagi kraton sebagai pusatnya budaya Jawa.”
Pernyataan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat-Jogja) saat ngobrol dengan iMNews.id, pagi tadi, adalah analisis atas apa yang dirasakannya secara langsung saat ritual berlangsung. Sama-sama berada di tengah-tengah dan merasakan jalannya upacara itu, tentu berbeda yang dialami KRAT Bagiyono Rumeksonagoro yang memimpin rombongan Pakasa Cabang Magelang, Pakasa Cabang Ponorogo yang dipimpin KRAA MN Gendut Wreksodiningrat, Pakasa Pati yang dipimpin KRAT Mulyadi Puspopustoko, perwakilan Pakasa Magetan, Jepara, Trenggalek, Nganjuk, Boyolali, Sukoharjo dan sebagainya karena bisa ikut “ngayab” merupakan “surprise”. (won-i1)