Ditulis Ulang dengan Pembaharuan oleh Sinuhun PB III di Tahun 1752
SURAKARTA, iMNews.id – Pengelola Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta menjalin kerjasama dengan Kraton Mataram Surakarta untuk mementaskan sendratari “Arjuna Wiwaha” di panggung pertunjukan setempat yang diagendakan Minggu malam (9/7/2023). Pertunjukan seni tradisional yang berbasis dari lingkungan kraton itu, dimaksudkan untuk memberdayakan potensi seni budaya khas daerah dan kraton di satu sisi, dan mendorong upaya mendekatkan kembali seni budaya asli milik bangsa sendiri agar dikenal dan dicintai generasi muda bangsa ini.
“Ini bentuk kerjasama antara TMII dengan Kraton Surakarta, agendanya tanggal 9 Juli itu. Kerjasama ini juga dengan kraton-kraton lain seperti Jogja. Untuk Kraton Surakarta, akan menyajikan dramatari ‘Arjuna Wiwaha’. Durasinya 90 menit dengan sajian tari Srimpi Sangupati yang menjadi satu paket sajian berurutan. Nanti akan tampil full team, sekitar 50 orang. Karena iringan karawitannya secara ‘live’, bukan rekaman,” jelas Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus penanggungjawab tim kesenian Kraton Surakarta di TMII, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin siang.
Gusti Moeng selaku instruktur sekaligus koreografer tari, saat ditemui iMNews.id sedang menunggui latihan yang berlangsung di Bangsal Smarakata. Sampai siang tadi, latihan sudah berlangsung enam kali, sudah nampak banyak progresnya dalam semua sisi, karena sebagian besar di antara seniman pendukung “Arjuna Wiwaha” itu, adalah penari profesional yang berpengalaman di berbagai event pentas, baik dalam skala nasional, maupun internasional. Walau terkendala pandemi Corona dan terbatasi aktivitasnya karena kraton ditutup selama 5 tahun sejak 2017, tetapi pentas dan latihan selalu ada kesempatan.
Pentas kerjasama dengan TMII, 9 Juli nanti, merupakan pentas berskala nasional perdana Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta setelah Gusti Moeng kembali bertugas penuh sebagai Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat di dalam Kraton Mataram Surakarta, mulai 17 Desember 2022. Walaupun, ketika masih di luar sudah beberapa kali pentas tari yang disuguhkan sanggar pawiyatan yang dipimpinnya, mulai di ajang Hari Jadi Pakasa di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, di Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma (Bantul-DIY), maupun di ajang perayaan Hari Raya Waisak yang dipusatkan di Candi Borobudur, 3-4 Juni lalu.
Dari latihan siang tadi maupun dari daftar para penari pendukung “Arjuna Wiwaha”, tampak sejumlah “wayah-dalem” atau generasi ketiga Sinuhun PB XII terlibat aktif sebagai penari, di antaranya putra mahkota tertua KGPH Hangabehi yang berperan sebagai dewa bernama “Bathara Brama”, KRMH Joyo Adilogo (putra GKR Galuh Kencana almh) sebagai “bala denawa”, KRMH Suryo Manikmoyo (putra GKR Sekar Kencana almh) sebagai “Bathara Yamadipati” dan BRM Cici Suryono Triyono (putra KGPH Puger) sebagai “Bathara Indra”. Hampir semua pendukung tari dan karawitan adalah para abdi-dalem kantor Mandra Budaya, dan sentana-dalem KPH Raditya Lintang Sasangka selaku pimpinan karawitannya.
Sejak lima tahun “berjuang” di luar kraton karena “menjadi korban insiden mirip operasi militer” pada 15 April 2017 ditambah adanya pandemi Corona, aktivitas seni budaya nyaris tak bisa dilakukan baik dalam skala nasional seperti Gelar Budaya Catur Sagatra yang biasanya tiap tahun digelar di Jogja maupun ajang event Festival Kraton Nusantara (FKN) yang juga digelar tiap tahun. Semua event itu nyaris lumpuh akibat pandemi, dan di sela-sela keterbatasan yang masih ada kesempatan, sulit bisa diwujudkan dengan baik karena posisi para penyaji yang dipimpin Gusti Moeng ikut berada di luar kraton sejak 2017.
Sebab itu, ketika kesempatan sudah terbuka luas sejak peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” 17 Desember itu, Pengageng Sasana Wilapa kembali menata “barisan” dan “menyusun kekuatan” serta mempersiapkan diri untuk menyongsong kesempatan kembali berkiprah di bidang promo dan “diplomasi” seni budaya, baik dari skala regional, nasional maupun internasional. Gusti Moeng juga menyebutkan, sejak memimpin rombongan kesenian kraton tampil di ajang Panggung Sendratari Ramayana Candi Prambanan, Jogja, tahun 2017, dirinya ingin mengulang lagi untuk berbagai kebutuhan ideal.
“Tetapi sayang, untuk saat sekarang agaknya masih berat. Karena waktu itu saja (2018-Red), kami dikenai kewajiban harus membayar Rp 69 juta. Itu saja, tempat duduk bagian depan panggung kami berikan kepada pengelola untuk dijual tiketnya. Kalau tidak, berapa puluh juta lagi kami diwajibkan membayar. Apalagi untuk situasi sekarang, kalau dihitung penyesuaiannya bisa ratusan juta. Untuk ukuran kami sekarang, ya beratlah. Kami sebenarnya sangat ingin tampil lagi di sana. Karena, Kraton Surakarta dulu punya andil besar di ajang berkelas internasional itu,” tandas Gusti Moeng menunjukkan.
Sementara itu, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi yang ikut menyaksikan jalannya latihan dramatari “Arjuna Wiwaha” siang tadi menyatakan, sayang sekali karya seni dramatari dan sejenisnya seperti yang dikelola langsung Kraton Mataram Surakarta di bawah Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan yang diketuai Gusti Moeng itu sudah jarang tampil karena sudah tidak ada kesempatan yang mengakomodasinya. Selain itu, karya dramatari “Arjuna Wiwaha”, terkesan semakin dijauhkan dari asal-usul figur tokoh yang telah berjasa dalam karya itu, termasuk terkesan “ditiadakan” keberadaan lembaga masyarakat adatnya.
“Padahal, ‘Arjuna Wiwaha’ karya Empu Kanwa di zaman Raja Airlangga itu, telah ditulis ulang dan perbaharui oleh Sinuhun PB III di tahun 1752. Beliau adalah seorang raja yang juga seniman. Beliau adalah ‘Bapak Perdamaian Dunia’. Tetapi, banyak pihak sangat jarang mau menyebut dan mengakui jasa dan peran Sinuhun PB III. Ada kesan tidak mau/suka menyebut nama Mataram Surakarta. Padahal, jelas sekali itu karya yang sudah diadaptasi Sinuhun PB III. Jadi pada sisi-sisi yang tajam unsur Hindu dan Budhanya, diperhalus dengan unsur-unsur Islam yang mengakulturasikannya. Beliau hebat betul,” tegas Dr Purwadi. (won-i1)