Niatnya Ingin Melestarikan Adat dan Merawat Peradaban, Atau Menghapus Jejak Mataram?
iMNews.id – SEANDAINYA tidak ada niat luhur untuk menjaga eksistensi dan melestarikan peradaban, jejak kebesaran Mataram dan dinasti serta tata nilai yang berlaku dalam kehidupan warga peradaban, waktu demi waktu, tidak akan sampai berumur nyaris 5 abad atau 500 tahun. Keterbukaan tata nilai paugeran adat yang dijadikan konstitusi dinasti itu terhadap perubahan, akan sirna dalam sekejab bersama berbagai komponen keberadaan peradabannya, apabila tanpa ada unsur/faktor penyeimbang yang disebut ”wisdom” dan tata nilai yang terkandung dalam budaya itu sendiri.
Unsur atau faktor penyeimbang yang disebut wisdom itu, selalu datang dari kalangan paranpara nata atau paranpujangga nata yang begitu banyak dimiliki Dinasti Mataram terutama Mataram Surakarta. Dan ”wisdom” yang datang dari kedua lembaga itu, jelas sudah dalam bentuk tata nilai yang juga mengadopsi nilai-nilai keislaman. Mengingat, karya-karya yang bersifat akulturatif (Jawa dan Islam) itu, merupakan cara-cara yang begitu halus, berestetika tinggi dan beretika seperti yang digunakan para Wali (Wali Sanga) dalam syiar Islam yang sudah ada sejak sebelum Keraton Mataram Islam didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.
Jadi, meskipun tata nilai paugeran adat atau hukum adat nyaris tidak ada yang tertulis dan karenanya sangat mudah menimbulkan multi tafsir, tetapi sudah terbukti bisa eksis bersama peradaban dinastinya hingga nyaris 500 tahun (sejak Mataram Islam, tahun 1613). Sampai selama itu, konsep tata nilai adat yang hanya tersimpan di kepala manusia warga dinasti dan peradaban, sudah terbukti nyaris tidak ada yang diselewengkan atau disimpangkan, meskipun setiap pemimpin peradaban yang tampil, memiliki hak prerogatif dan subyektivitas secara penuh.
Melihat bukti-bukti yang sudah establish sampai hampir 5 abad itu, tentu ada unsur atau faktor yang menjamin tidak terjadinya distorsi atau penyimpangan/penyelewengan. Dan faktor atau unsur itu adalah penyeimbang, yang membuat suasana peradaban makro maupun mikro, menjadi equilibrium atau seimbang. Dan hal yang menjadi penyeimbang itu adalah wisdom dan tata nilai adat itu sendiri, yang selalu dipelihara lembaga paranpara nata dan paranpujangga nata, dari waktu ke waktu.
”Maka dalam seni pewayangan, sangat sering terdengar ungkapan ‘sabda pandita-ratu’. Itu yang sering juga disebut wisdom atau kearifan. Jadi, tata nilai adat itu sebenarnya sudah lengkap, selalu kontekstual dengan zamannya dan makna filosofinya tinggi sekali. Karena, kata ‘sabda pandita ratu’ itu sudah melukiskan intisari dari kehendak (kekuasaan) pemimpin (raja), yang sudah diakselerasikan dengan konsep tata nilai produk para pujangga dan paranpara nata,” tunjuk KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito (62) menjawab pertanyaan iMNews.id, saat diminta pandangannya, tadi siang.
Pemerhati budaya Jawa dan Keraton Mataram Surakarta dari sisi spiritual kebatinan ini setuju dan membenarkan terhadap langkah-langkah yang diambil Gusti Moeng dalam Gerakan Penyelamatan Keraton Surakarta Hadiningrat, terutama yang menyangkut dalam upaya penegakkan tata nilai paugeran adat, demi eksistensi dan kelestarian keraton sebagai sumber dan pusat pemeliharaan budaya/peradaban Jawa. Karena KRT Wrekso Puspito melihat, berbagai langkah yang selama ini ditempuh Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) itu, hanya untuk satu tujuan, yaitu demi terjaganya wibawa, harkat dan martabat keraton, demi eksistensi keraton dan demi kelestarian keraton sebagai sumber dan pusat peradaban itu.
Satu Tujuan, Agar Keraton Lestari
Dalam beberapa kesempatan, Gusti Moeng yang punya nama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu selalu menegaskan, berbagai langkah dan upaya yang selama ini ditempuh, tidak lain hanya untuk menegakkan tata nilai paugeran adat di satu sisi. Di sisi lain, dengan tegaknya tata nilai adat yang menjadi konstitusi dinasti, berarti mencakup upaya menjaga eksistensi dan kelestarian keraton yang selama ini menjadi sumber dan pusat pemeliharaan peradaban/budaya Jawa, yang sekaligus upaya menyelamatkan Sinuhun PB XIII selaku pemimpin adat dan kepala rumah tangga besar masyarakat adat Dinasti Mataram.
Maka, ketika menanggapi postingan seorang kerabat bergelar ”KP” di akun medsosnya beberapa waktu lalu, Gusti Moeng kembali menegaskan sikapnya seperti yang sudah dideklarasikan di topengan Kori Kamandungan, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 13/2). Dengan menegaskan posisinya sebagai Ketua LDA yang ”mengambil-alih sementara” segala urusan internal dan eksternal di keraton, seakan menjelaskan bahwa LDA itu merupakan pancang fondasi yang berhasil dilakukan di penghujung abad 20, yang berdasar aturan adat dan tradisi budaya di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Hasil perjuangan para sentana darahdalem lintas trah dan lintas generasi itu, bukannya berjalan tanpa hambatan dan selalu dalam suasana kecukupan. Tetapi, harus bersusah-payah menghadapi situasi yang berat memakan tenaga dan pikiran, bahkan nyawa dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang gugur dalam ”perjuangan” itu, antara lain KGPH Kusumoyudo, KPH Kusumo Wijoyo, GKR Galuh Kencono, GKR Sekar Kencono, KPH Broto Adiningrat dan GPH Nur Cahyaningrat.
Jasa-jasa mereka yang gugur, tentu akan terus dikenang, terlebih proses perjuangan itu hingga kini belum membuahkan hasil atau keberhasilan, berupa bersatu kembali seluruh putra-putridalem Sinuhun PB XII, kembalinya Sinuhun PB XIII pada kedudukannya serta kembalinya kewibawaan, harkat dan martabat Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat. Karena, perjuangan panjang itu hanya untuk satu tujuann, yaitu agar Keraton Surakarta lestari sepanjang masa.
”Walau sebagian Kanjeng Gusti, Gusti-gusti sepuh, pangeran-pangeran sepuh dan pata sentana darahdalem bahkan para abdidalem dan kawuladalem, berguguran. Tetapi ada pepatah yang tetap berlaku, ‘mati satu tumbuh seribu. Patah tumbuh, hilang berganti. Keluarga besar terus bergerak, maju selangkah demi selangkah. Generasi muda mulai maju berjuang di garis depan, siap menghadapi cecunguk-cecunguk, sengkuni-sengkuni dan para pembebek,” tandas Pengageng Sasana Wilapa penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang 2012 itu.
Tanggapan atas postingen kerabat bergelar ”KP” itu, sekaligus juga untuk menegaskan bahwa LDA telah mengambil-alih Keraton Mataram Surakarta dengan segala urusan internal dan eksternal, segala asetnya yang bergerak/tidak, secara pisik dan nonpisik, di dalam dan di luar negeri, yang masih dikuasai atau dikuasai pihak lain, masih dikelola lembaga atau pihak lain, semua itu adalah milik kolektif komunal seluruh dinasti dan bukan milik pribadi raja atau Sinuhun terdahulu, bukan milik pribadi Sinuhun sekarang maupun bukan milik Sinuhun yang akan datang.
Gusti Moeng Doakan yang Lupa Diri
Dan ketika perjalanan dinasti ini sudah mencapai 278 tahun saat Mataram berada di Surakarta Hadiningrat sekarang ini, di kalangan penerusnya berhasil meletakkan fondasi kuat berupa lahirnya Lembaga Dewan Adat (LDA) yang berbadan hukum yang terdaftar di Kemenkumham dan Kemendagri. Lembaga ini yang akan melindungi dan memastikan perlindungan hukum untuk pelestarian Keraton Mataram Surakarta, sekaligus untuk memenuhi proses sinkronisasi dengan ketentuan-ketentuan hukum tata administrasi negara yang berlaku di NKRI.
Lahirnya LDA yang arah tujuan dan peruntukannya sangat jelas ideal itu, merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan yang harus terjadi agar bisa eksis dan lestari di pangkuan NKRI yang ikut didirikan Keraton Surakarta pada 17/8/1945 silam. Keniscayaan dan keharusan itu harus terjadi, mengingat Keraton Mataram Surakarta adalah sumber-sumber inspirasi lahirnya Pancasila, UUD 45 dan simbol kebhinekaan bangsa yang akan terus dijaga keutuhannya sepanjang masa.
”Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memikirkan gelar (”KP”) ‘anon-anon sabrang’ yang tidak setya-tuhu pada paugeran adat. Begitu pula tak jelas dedikasi dalam kerangka tujuan ideal yang saya jelaskan di atas tadi. Karena kami yakin, sentana darahdalem, abdidalem, kawuladalem dan para pecinta budaya yang masih ‘setya mring luhure budaya’, akan tetap bersama-sama kami”.
”Kami paham, banyak sentana darahdalem, pangeran dan para gusti yang tidak sejalan dan mengambil langkah bertolak-belakang dengan kami. Yaitu dengan sangat picik mencoba menyimpangkan (makna) dari (konsep) kagungan dalem lembaga menjadi kagungan dalem (pribadi raja), dengan tujuan sesaat yang sesat. Kami tidak perlu lagi menghiraukan hal-hal begitu”.
”Karena kami yakin, ‘Sapa kang cidra, wahyune (bakal) sirna’. ‘Sak beja-bejane kang nglali, isih beja sing eling lan waspada’. Kita doakan semoga mereka mendapatkan petunjuk dan hidayah dan pencerahan dari Allah SWT, agar bisa bersatu kembali dalam keluarga besar (putra/putri Sinuhun PB XII) yang damai,” pinta Gusti Moeng dalam doanya untuk kebaikan orang-orang yang dianggapnya telah ”lupa diri” itu.
Mencermati penegasan Gusti Moeng itu, seakan bisa menjadi petunjuk untuk membandingkan bagaimana alur pikiran siapa saja yang merasa kebingungan dengan arti dan asal-usul sistem tata nilai paugeran adat yang tidak tertulis dan telah melahirkan multi tafsir di kalangan yang tidak pernah memahami sejarah peradaban Mataram, baik yang tertulis maupun tidak. Padahal, pemahaman adalah faktor penting, agar bisa tahu betul makna yang tersirat maupun yang tidak tersirat (filosofi), karena semuanya terarah pada semangat untuk menjaga, merawat dan melestarikan peradaban bukan sebaliknya seperti yang ada di benak para ”petualang adat” itu. (Won Poerwono-habis)