Tempat Menggali Banyak Data dan Informasi Berbagai Peristiwa Masa lalu
IMNEWS.ID – SUDAH kurang-lebih 10 kali Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat “ngisis wayang”, mulai dari tiga wayang pusaka kelas atau level tertinggi yaitu Kanjeng Kiai Kadung, Kanjeng Kiai Jimat dan Kanjeng Kiai Dewa Katong yang hanya bisa diangin-anginkan saat weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon. Sementara beberapa kotak wayang pusaka kelas atau level di bawahnya seperti Kiai Pramukanya, Kiai Sri Wibawa, Kiai Sukarena, Kiai Mangu, Kiai Krucil dan Kiai Dagelan sudah mendapat jatah “diangini” dalam ritual yang digelar seminggu sekali tiap Kamis di gedhong Sasana Handrawina.
Semua wayang pusaka peninggalan leluhur Mataram Surakarta (1945-sekarang) dan Kartasura (1677-1745), secara keseluruhan ada 17 kotak yang baru bisa dikeluarkan untuk dirawat dalam format ritual sekitar 10 kotak, sejak GKR Wandansari Koes Moertiyah kembali memegang penuh jabatan Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat, mulai 17 Desember 2022 dalam peristia “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”. Selama lima tahun lebih sejak April 2017 hingga sebelum 17 Desember 2022 itu, sangat diyakini tidak pernah dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang”, walau ada yang digunakan untuk pentas pakeliran.
Sebelum terjadinya “tragedi kemanusiaan” dalam “insiden mirip operasi militer” tanggal 15 April 2017 yang berakibat Gusti Moeng bersama seluruh petugas jajaran “Bebadan Kabinet 2004” dievakuasi, dan sejak saat tidak boleh masuk kraton oleh 2 ribuan personel Brimob dan 400-an personel tentara, agenda ritual “ngisis wayang” berjalan rutin sesuai jadwalnya. Yang agak berbeda sebelum 2017, “ngisis wayang ageng” yaitu tiga wayang pusaka Kanjeng Kiai, selalu digelar di gedhong Sasana Handrawina, tetapi untuk wayang pusaka “Kiai” atau level kedua, “diangini” di depan kamar penyimpanannya, gedhong Lembisana.
Mencermati prosesi ritual tiap-tiap isi kotak wayang pusaka, baik tiga kotak level pertama hingga sejumlah kotak wayang pusaka level kedua yang “diisis” pada Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, 13/6/2023 kemarin, ada banyak pesan dan kandungan informasi yang sangat patut diketahui publik sebagai tambahan wawasan pengetahuan dan referensi. Kandungan informasi dan pesan itu adalah bagian lain sebagai informasi awal yang bisa digali dan eksplorasi lebih dalam mengenai data tentang fakta apa saja yang ada di dalamnya, selain wujud fisik wayangnya yang kategorinya berkelas dan luar biasa.
Ada dua bagian penting yang bermanfaat bagi publik secara luas, ketika mencermati prosesi ritual “ngisis wayang” setiap kotak wayang pusaka di kraton, baik pada weton Anggara Kasih maupun tiap Kamis. Yang pertama adalah bagian prosesi ritualnya sebagai cara pemeliharaan anak wayang untuk menghindari dari potensi dan mengidentifikasi kerusakan, itu adalah sistem kerja tradisi, kemudian berbagai uba-rampe yang disertakan serta tatacara perlakuannya, merupakan tatacara adat yang sangat langka. Ritual tatacara adat seperti itu hanya terjadi di Kraton Mataram Surakarta, dan mungkin di Kraton Jogja.
Prosesi tatacara adat ritual itu jelas sangat menarik untuk disaksikan publik secara luas, karena punya potensi daya tarik wisata. Tetapi persoalannya, ritual seperti itu masih menjadi aktivitas yang tertutup dan hanya untuk lingkungan terbatas. Sebagai konsumsi publik dalam format objek kunjungan wisata, Pengageng Sasana Wilapa hingga kini belum menemukan solusi yang paling tepat dan ideal, meskipun beberapa kali sudah ada kunjungan mahasiswa yang melakukan kuliah lapangan, bisa diakomodasi dengan berbagai persyaratan untuk melindungi wilayah sakral ritualnya.
Tentang solusi bahwa ritual “ngisis wayang” bisa berpotensi menjadi bahan edukasi pelestarian seni budaya yang akan memperkuat potensi legitimasi terhadap Kraton Mataram Surakarta sebagai sumber segala produk budaya Jawa itu, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat yang juga waga Pakasa Cabang Jogja tertarik untuk ikut membantu. Karena, sebagai pembimbing mahasiswa S1 dan S2 di kampusnya, dirinya sangat berkepentingan untuk mengajak para mahasiswanya melakukan studi lapangan pada ritual-ritual itu, seperti yang sudah dilakukan para mahasiswa yang menempuh mata kuliah “Sastra Wayang” dari UGM.
Bagian kedua, adalah material benda budaya yang berupa anak wayang pengisi kotak yang dikeluarkan pada ritual itu. Secara wujud fisik, anak wayang pengisi kotak Kanjeng Kiai Kadung yang “diisis” beberapa bulan lalu atau kotak Kiai Mangu yang “diisis” Selasa Kliwon lalu, nyaris tak ada bedanya ketika disandingkan tokoh-tokohnya yang sama, misalnya Raden Bratasena, secara anatomis nyaris tak ada yang berbeda. Barulah bisa dilihat titik-titik perbedaannya, ketika “membaca” tahun pembuatannya, pada zaman tokoh (raja) siapa wayang dibuat dan ada peristiwa apa saat sang raja membuat wayang itu?.
Ketika menyimak dujud fisik karya kriya tatah-sungging atau wayang kulit pusaka Kraton Mataram Surakarta, bukan sekadar kualitas karya “tatahan” (ukiran) dan “sunggingan” (cat/pewarnaan) yang luar biasa halus, rumit dan berkelas, tetapi sekaligus mengingatkan teknologi yang digunakan untuk menciptakannya pada saat anak wayang diproduksi. Tiga ratusan anak wayang dari kotak Kiai Mangu itu, misalnya, diidentifikasi sebagian diproduksi saat Sinuhun Paku Buwana (PB) V masih berstatus putra mahkota bergelar Adipati Anom, karena ayahandanya Sinuhun PB IV (1788-1820) juga banyak memproduksi wayang.
Walau sebagian diproduksi sebelum jumeneng nata sebagai PB V (1820-1823), tetapi teknologi yang digunakan untuk memperoduksi anak wayang, terutama teknologi pewarnaan, sudah sangat modern untuk saat itu, yang bahkan nyaris tidak banyak berbeda dengan teknologi “colouring” yang digunakan pada zaman Mataram berIbu Kota di Kartasura (1677-1745), yang disebut banyak ahli sebagai awal produksi wayang kulit yang sangat berkelas dan berkualitas. Dari satu sisi penggunaan teknologi pewarnaan, wayang pusaka kraton bisa dijadikan objek penelusuran ilmiah, eksplorasi data informasi tentang apa saja dan sebagainya. (Won Poerwono-bersambung/i1)