Ada “Senggot”, “Pit Onthel”, Aneka Tanaman Sayur-Mayur dan Buah-buahan
SURAKARTA, iMNews.id – Upacara adat tiap weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon datang lagi, Selasa hari ini, yang digelar di gedhong Sasana Handrawina sejak pagi pagi hingga siang tadi, Selasa (13/6) hari ini. Kali ini, Pengageng Sasana Wilapa menunjuk sekotak anak wayang Kiai Dagelan untuk dikeluarkan atau “diisis”, sesuai urutan yang mendesak untuk diangin-anginkan dalam ritual “ngisis wayang” yang digelar baik tiap Anggara Kasih maupun seminggu sekali yang jatuh tiap Kamis.
Seperti diketahui, sekotak wayang yang isinya khusus kumpulan anak wayang untuk keperluan perlengkapan pementasan wayang apa saja yang dikeluarkan untuk kebutuhan itu, dalam catatan iMNews.id baru kali kedua setelah tahun 2016. Sekotak anak wayang Kiai Dagelan adalah satu di antara 17 kotak anak wayang koleksi Kraton Mataram Surakarta yang dikeluarkan di tahun 2016 di Pendapa Magangan, tetapi bukan semata-mata untuk diesis, melainkan karena didata ulang dan didokumentasi.
Sejak itu, kotak wayang Kiai Dagelan yang berisi 350-an anak wayang itu tak mendapat perwatan rutin dalam format upacara adat “ngisis wayang”, baik tiap weton 35 hari sekali yaitu Anggara Kasih maupun seminggu sekali tiap Kamis. Untuk itu, dalam catatan iMNews.id yang waktu itu masih menulis di harian Suara Merdeka, “ngisis wayang” Kiai Dagelan baru dua kali dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun, dan kali pertama sejak peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022.
Karena dilihat dari namanya, Kiai Dagelan mengandung makna yang lucu-lucu, maka hampir semua isinya juga mencerminkan tokoh-tokoh dan peralatan produk teknologi dan pengetahuan peradaban ratusan tahun lalu, karena di antara anak wayang itu ada replika peralatan “senggot” yang tertera tahun pembuatan tahun Jawa 1744, tetapi ada data yang menyebut dibuat tahun 1750-an (M). Melihat jenis anak wayang ini, abdi-dalem KRT Dr Bambang Suwarno yang memimpin tim teknis “ngisis wayang” siang tadi menyebut, reknologi peralatan untuk menimba air dari kedalaman itu sudah dikenal sejak zaman Mataram Kartasura.
Tak hanya “Senggot”, replika ruang tahanan atau sel yang simbolnya jeruji besi, ternyata juga sudah didokumentasi para empu tatah-sungging wayang sejak zaman Mataram Kartasura, atau bahkan jauh sebelum itu. Intinya, perlangkapan sistem hukum yang diperkenalkan dari bangsa-bangsa barat yang menjelajah ke Nusantara jauh sebelum abad 17, sudah didokumentasi para empu tatah-sungging dan empu dalang. Gusti Moeng yang sedang “jagongan” dengan Dr Purwadi (peneliti dari Lokantara Pusat-Jogja) dan KPP Wijoyo Adiningrat (Wakil Pengageng Mandra Budaya), sempat menyaksikan penjelasan KRT Dr Bambang Suwarno, siang tadi.
Selain peralatan “Senggot”, sepeda onthel, loko dan gerbong (teknologi KA) dan sebagainya, ada pula anak wayang replika yang menggambarkan kekayaan alam di Tanah Jawa yang mungkin sudah ada jauh sebelum Mataram Panembahan Senapati hingga Mataram Kartasura, Mataram Surakarta dan atau hingga kini masih ada. Yaitu anak wayang replika aneka jenis tanaman buah-buahan seperti waluh, mentimun, blewah, melon, siwalan, kolang-kaling, tomat, kecipir, lombok, jagung, padi dan gandum. Sedangkan tanaman keras di sudah dikenal saat itu, yaitu beringin dan randu alas yang direplikakan sebagai karya kriya tatah sungging.
Sedangkan wujud manusia tokoh dari pengetahuan seni pewayangan seperti disebut dalam Serat Pustaka Raja Purwa, Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Pustaka Raja Wasana, antara lain tokoh Panakawan yang isinya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Kemudian tokoh Bancak dan Doyok, tokoh Togog dan Mbilung, tokoh Naya Genggong dan sebagainya yang selalu diperankan menjadi tokoh penghibur dalam suasana lucu, kelakar dan penuh “ger-geran gayeng”, di semua jenis pertunjukan seni pakeliran baik wayang purwa, madya/gedhog atau wayang wasana.
Selain itu, ada anak wayang jenis “tetumpakan”, baik berupa binatang seperti gajah, kuda dan replika binatang liar yang sering muncul dalam banyak lakon di seni pakeliran baik dari seri Mahabharata maupun Ramayana. Jenis “tetumpakan” yang bukan binatang, misalnya sepeda onthel, kereta, kremun dan sebagainya. Baik Gusti Moeng maupun KRT Dr Bambang Suwarno bahkan menunjukkan ada satu di antara sejumlah anak wayang jenis “Rampogan” yang bernama “Brayut”, yang pada masa lalu sering dikeluarkan dalam beberapa lakon, yang tujuannya sebagai permohonan secara simbolis agar punya anak banyak.
“Wahhh…. kalau sekarang juga dikisahkan dalam pentas pekliran, bisa dilarang tampil. Karena bisa dianggap bertentangan dengan program KB. Ini lo, yang juga perlu dipahami, sekotak wayang ini ada replika sepasang sosok figur orang Papua. Padahal, wayang ini dibuat tahun 1750-an. Artinya, Mataram Surakarta ada waktu itu sudah mengenal suku-suku di luar Jawa di Nusantara ini. Sebelum 1945, sangat mungkin Mataram Surakarta punya hubungan bilateral dengan Kesultanan Ternate dan Tidore, yang waktu itu menguasai bumi Papua,” jelas Gusti Moeng yang dibenarkan Dr Purwadi.
Ritual “ngisis wayang” di kraton, selain prosesi ritual adatnya, juga punya tujuan utama cara merawat anak wayang, ternyata juga diteladani Pakasa Cabang Jepara. KRA Bambang S Adiningrat (Ketua Cabang) yang dihubungi iMNews.id, siang tadi menyebut, Pakasa cabang juga habis “ngisis wayang”, meskipun bukan dalam format ritual. Sekotak wayang inventaris yang dibeli dari seorang dalang di Kudus, Ki Warsono (alm) sekitar 3 tahun lalu dan diberi nama “Ki Loka Praja”, juga “diisis” sebelum dipentaskan dalam event “Sedekah Bumi” di sejumlah desa dalam dua bulan ini, karena lama jarang digunakan selama pandemi. (won-i1)