Ritual Ngesis Wayang Menjadi Ajang Studi Para Mahasiswa Sebelum Sasana Pustaka Dibuka (seri 3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 24, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Ritual Ngesis Wayang Menjadi Ajang Studi Para Mahasiswa Sebelum Sasana Pustaka Dibuka (seri 3-bersambung)
MEMBUKA AKSES : Selain sangat proaktif terhadap lancarnya jadwal dan pelaksanaan semua upacara adat di kraton, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa juga menjadi pelopor yang membuka akses bagi publik secara luas melalui saluran-saluran yang ada, misalnya saat digelar ritual "Ngesis Wayang", Kamis 18/5. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Model Wisata Studi Menjadi Cara Seleksi yang Tepat

IMNEWS.ID – KESEMPATAN ngobrol dengan iMNews.id walau hanya beberapa menit sambil menunggu datangnya rombongan siswa TK dari lima sekolahan yang berkunjung di Museum Art Gallery Kraton Mataram Surakarta, Selasa pagi (iMNews.id, 23/5), Gusti Moeng mengisyaratkan akan menggelar kembali ritual “Ngesis Wayang”, Kamis (25/5) besok. Walau terdengar sudah dipersiapkan segala uba-rampenya, tetapi Pengageng Sasana Wilapa itu belum sampai memutuskan giliran kotak wayang mana atau namanya apa yang akan dikeluarkan untuk diangin-anginkan di “gedhong” Sasana Handrawina, besok pagi hingga siang.

Menyimak jawaban Gusti Moeng atas pertanyaan seorang abdi-dalem yang bertugas menyiapkan uba-rampe yang diperlukan untuk ritual itu, sangat dipastikan bahwa metode perawatan koleksi pusaka jenis wayang yang terbuat dari bahan kulit itu akan dilakukan lagi. Itu juga berarti, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa dan Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, tetap punya komitmen tinggi untuk terus melakukan kerja pelestarian seni budaya Jawa peninggalan leluhur peradaban yang bersumber dari kraton.

PERAN INTELEKTUAL : Peran intelektual seni pedalangan macam Ki KRT Dr Bambang Suwarno dan sejumlah timnya yang terlibat langsung secara teknis dalam ritual “Ngesis Wayang” di kraton, memang ikut mewarnai proses keterbukaan akses berbagai ritual di kraton untuk kepentingan publik secara luas. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari pengalaman yang sudah berjalan seperti yang terjadi Kamis seminggu yang lalu (iMNews.id, 18/5), ritual “ngesis wayang” seisi kotak Kiai Pramukanya mendapat perhatian sejumlah mahasiswa Jurusan Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa FIB UGM yang sedang melakukan studi lapangan mata kuliah “Sastra Wayang” di ajang ritual itu. Mereka semua diberi kesempatan untuk melihat dari dekat, bahkan mencermati detil-detilnya, serta merasakan ikut melakukan proses ritual itu dengan syarat-syarat yang ditentukan, antara lain berbusana adat khas Kraton Mataram Surakarta, berkalung samir.

Proses belajar-mengajar model “partisipan” seperti itu, pasti akan memudahkan proses identifikasi detil objek dan akan mendapatkan informasi pengetahuan tentang objek yang dicermati sebagai bentuk praktik yang dimaksud mata kuliah “Sastra Wayang”. Ki Rudy Wiratama kandidat doktor di FIB UGM itu, selain menjadi pembimbing para mahasiswa dalam melakukan studi, secara tidak langsung bisa menjadi presenter yang baik dan tepat untuk menjelaskan hal-ikhwal tentang prosesi ritualnya dan objek yang diritualkan, sesuai lingkup mata kuliah yang diampu.

SELALU MENGINGATKAN : Keberadaan RM Restu Budi Setiawan menjadi penting dalam setiap ritual “Ngesis Wayang” digelar di kraton, karena posisinya selalu mengingatkan kepada para petugas untuk menjalankan tugasnya sesuai tata aturan paugeran adat dan unsur-unsur kewaspadaan atas keterbukaan yang sedang berhembus. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Rupanya, model Studi Lapangan yang dilakukan para mahasiswa itu bisa menjadi acuan untuk mengkreasi format model wisata studi atau wisata edukasi yang dinilai paling tepat untuk menyaksikan peristiwa ritual “ngesis wayang” di kraton. Karena mengingat, ritual seperti ini sejak dulu hanya untuk keperluan kerja adat rutin untuk kalangan internal terbatas yang dibatasi aturan paugeran adat, dan bukan untuk konsumsi publik, dalam rangka pelestarian seni budaya peninggalan sejarah dan leluhur Dinasti Mataram.

Seiring perkembangan zaman terutama teknologi informasi yang bisa mengakses berbagai data informasi secara digital dan bisa menyebarluaskan secara digital dalam waktu yang cepat dan luas, memang perlu dirumuskan sebuah format akses yang dimungkinkan bisa membuka kesempatan bagi publik untuk menyaksikan berbagai ritual di kraton. Karena, nilai edukasi semua produk budaya Jawa dari kraton sangat tinggi, baik untuk konsumsi dunia pendidikan, keperluan pelestarian seni budaya serta kebutuhan ketahanan budaya secara nasional.

MENJADI PENJAGA : Peran RM Restu Budi Setiawan selalu hadir menjadi penjaga tata-tertib jalannya prosesi ritual “Ngesis Wayang”, misalnya yang digelar Pengageng Sasana Wilapa, Kamis (18/5). Dia selalu mengingatkan kepada para abdi-dalem dan semua yang terlibat ritual untuk tidak memotret detil wayang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, kegiatan wisata edukasi atau studi lapangan kalangan dunia pendidikan dari berbagai jenjang bisa dijadikan model yang ideal untuk membuka akses kunjungan wisata, sekaligus sebagai cara seleksi yang sangat ideal bagi calon-calon pengunjung atau wisatawan. Karena, membuka kunjungan atau akses informasi untuk kalangan dunia pendidikan, akan lebih efektif ketika melihat tujuan, esensi dan proses transfer knowlegde-nya, dibanding menerima kunjungan wisatawan pada umumnya.

Seleksi dengan model itu sekaligus juga untuk menjamin unsur keamanan benda-benda pusaka yang menjadi objek ritual, yang tidak sekadar menghindarkan tindakan plagiasi, tetapi menjauhkan dari bentuk-bentuk pelanggaran ancaman hukum lebih serius, seperti yang telah terjadi di Museum Radya Pustaka, belasan tahun lalu. Meski begitu, perbuatan melawan hukum bisa terjadi kapan saja dan dilakukan siapa saja serta di mana saja, ketika ada kesempatan dan keinginan, misalnya dalam kasus “pemalsuan” sejumlah koleksi Museum Radya Pustaka itu.

PERLU WASPADA : Siapapun termasuk RM Restu Budi Setiawan memang perlu selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang timbul akibat kebijakan keterbukaan yang mulai dilakukan pada ritual-ritual di kraton, misalnya “Ngesis Wayang”m agar karena faktor keamanan objek ritual adalah hal yang utama. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sikap kehati-hatian dan kewaspadaan memang sangat perlu, sebagai tambahan pekerjaan di saat kraton mulai membuka akses “kunjungan” dalam berbagai bentuk terhadap publik secara luas, tak terkecuali kunjungan kalangan mahasiswa. Pada awal tahun 2.000-an atau sebelumnya, proses ritual “ngesis wayang” walau untuk jenis “padintenan” dilakukan sangat ketata dan hanya untuk kalangan internal yang bertugas saja yang boleh mendekat. Para pelaku ritual harus patuh syarat tidak boleh memotret di antara sejumlah persyaratan lain, bahkan menjadi larangan keras bagi orang lain, apalagi jurnalis.

Namun mulai 2004 saat Gusti Moeng menjabat Pengageng Sasana Wilapa sekaligus pengendali “Bebadan Kabinet 2004”, berbagai auran ketat itu dievaluasi dan dilonggarkan, karena ada tuntutan perkembangan tekonologi informasi dan kebutuhan publikasi untuk edukasi publik secara luas. Maka, kesempatan itu dibuka bagi kalangan jurnalis untuk mengabadikan dan mempublikasikannya, tentu dengan persyaratan. Karena yang dibutuhkan hanyalah “rekaman” para tokoh yang berperan dalam peristiwa prosesi ritualnya, bukan struktur “bleger” dan detil tatah-sungging tokoh wayangnya. (Won Poerwono-bersambung/i1)