Gusti Moeng “Beberkan” Generasi Pelestari Budaya di Kraton Bisa Langka
SURAKARTA, iMNews.id – Kraton Mataram Surakarta hingga kini masih produktif dengan memberi sumbangan nyata terhadap kehidupan warga peradaban, yaitu menghasilkan ahli-ahli terlatih di bidang seni paes dan tatabusana adat pengantin Jawa “gagrag” (gaya) Surakarta, lengkap dengan wawasan tentang tatacara adat dan budaya Jawa yang cukup. Senin malam (8/5), ada 18 lulusan “babaran” (angkatan) II dari Sanggar Pawiyatan Paes dan Tata Busana Pengantin Adat Jawa yang diwisuda di Hotel KSPH.
“Meskipun baru pada babaran kedua proses belajar-mengajar sampai pendadaran dilakukan di dalam kraton, tetapi sejak awal kami sudah mengenalkan tentang sejarah Kraton Mataram Surakarta beserta pengetahuan tentang struktur bangunan yang ada di kraton. Begitu juga, wawasan tentang budaya Jawa. Walau masih secara umum, bekal pengetahuan seperti ini sangat penting dipahami setiap siswa. Dan yang seperti ini tidak ada di sanggar-sanggar atau kursus paes/rias di tempat lain,” ujar RM Restu Setiawan, Ketua Sanggar Pawiyatan, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Seperti diketahui, Sanggar Pawiyatan Paes dan Tata Busana Pengantin Adat Jawa gaya Surakarta itu didirikan Kraton Mataram Surakarta atas inisiasi Gusti Moeng selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, tahun 2021. RM Restu menyebutkan, setelah resmi berdiri langsung membuka pendaftaran “babaran” I yang waktu itu ada 12 siswa. Tetapi proses belajar-mengajar masih dilangsungkan di Bale Agung, menumpang di Sanggar Pawiyatan Pedalangan Kraton yang lokasinya di utara Alun-alun Lor.
Karena masih dalam protokol kesehatan Covid 19, lanjut Ketua Sanggar, proses belajar-mengajar yang seharusnya selama 6 bulan itu secara langsung atau tatap-muka banyak terhambat, hingga keseluruhan prosesnya hingga wisuda juga terhambat. Begitu suasana pandemi mulai longgar menginjak 2022, jumlah siswa “babaran” II juga meningkat menjadi 18 orang. Proses belajar-mengajarnya juga semakin lancar sampai saat peristiwa wisuda bisa berlangsung Senin malam (8/5), keseluruhan siswa bisa diwisuda semua.
“Sekarang, karena suasana pandemi sudah sangat longgar dan kemungkinan akan berakhir, kami sudah membuka pendaftaran siswa babaran III. Tetapi kami belum bisa menerima dalam jumlah yang banyak. Kami membatasi jumlah pendaftar 25 orang. Karena jumlah para dwija yang kami miliki masih terbatas. Padahal, proses belajar-mengajar siswa sanggar paes dan tata busana, porsi praktiknya lebih banyak dibanding pembekalan teori dan pengetahuan tambahannya,” ujar RM Restu, baik saat memberi sambutan/laporan di acara wisuda, maupun saat menjawab pertanyaan iMNews.id.
Upacara wisuda di lobi atau pendapa Hotl KSPH malam itu, dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sebelum prosesi wisuda berlangsung yang diawali dengan penyerahan “partisara” (piagam) sertifikat atau “kekancingan” atau ijazah oleh Gusti Moeng kepada setiap wisudawan. Sehabis menerima partisara, gantian menerima kalungan samir khas Kraton Mataram Surakarta yang dikalungkan GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, dan ucapan selamat oleh GRAy Devi Lelyana Dewi.
Usai prosesi wisuda, RM Restu selaku Ketua Sanggar memberikan sambutan/laporan yang dilanjutkan dengan pidato sambutan Gusti Moeng selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton yang mengelola semua sanggar pawiyatan di kraton. Karena, selain sanggar pawiyatan paes yang paling baru di kraton, sebelumnya sudah ada Sanggar Pawiyatan Dalang yang paling tua, kemudian Sanggar Beksa Kraton dan Sanggar Pasinaon Pambiwara yang didirikan pada tahun 1992. Khusus Sanggar Pawiyatan Dalang, sejak 2017 pasif dan vakum hingga kini.
“Sanggar paes dan tata busana ini, lembaga baru di kraton. Karena selain untuk melayani keinginan masyarakat, dibukanya sanggar paes bertujuan memperkuat keinginan masyarakat untuk melestarikan budaya Jawa yang bersumber dari kraton. Dalam posisi itu, sekaligus memberi pembelajaran kepada masyarakat secara luas, bahwa praktik dan tatacara paes serta tata busana pengantin Jawa gaya Surakarta itu ada aturan prosedurnya sebagai tatacara adat yang sudah berjalan di kraton. Setiap bagian tatacara dan upacara adat itu ada makna filosofinya yang bisa diterima nalar kita”.
“Edukasi tentang itu yang harus melengkapi ketrampilan setiap juru paes pengantin Jawa gaya Surakarta. Urutan dan rangkaian serta penjelasan makna tatacara dan upacara yang terjadi di kraton seperti itu. Kalau mau dilaksanakan secara penuh dan lengkap, itu jelas lebih baik karena itu berarti mengedukasi kepada pengantin dan keluarga yang dirias. Tetapi kalau dianggap tidak perlu, ya mangga,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin, sambil menyinggung sebagian sambutannya, Senin malam (8/5).
Dalam peragaan paes dan tata busana adat pengantin Jawa gaya Surakarta dalam rangkaian lengkap yang dilakukan sejumlah model, setidaknya ada empat tahap berganti stelan busana dengan nama dan makna yang masing-masing berbeda. Salah satunya adalah busana “dodotan” atau “basahan” saat proses adat “Bhayangkari”. Gusti Moeng menyebutkan, tahap ini yang membedakan pengantin adat gaya Surakarta dari Kraton Mataram Surakarta dengan gaya Surakarta dari sumber lain, atau gaya di luar Surakarta sekalipun.
Menurut RM Restu, kandidat doktor peneliti sejarah busana adat Jawa dalam tatacara adat perkawinan, semua tatacara dan upacara yang sumbernya dari Kraton Mataram Surakarta ada sumber dokumentasi sejarah tertulis yang jelas. Sementara, dokumen sejarah tatacara upacara adat perkawinan gaya di luar Surakarta, diakui sama sekali belum pernah dilihatnya. Menurutnya, tatacara dan upacara adat perkawinan yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta adalah yang paling lengkap dan punya rangkaian urutan yang lengkap pula, yang usianya tertua sepanjang sejarah.
“Jadi, tatacara dan upacara adat perkawinan yang dimiliki di Kraton Mataram Surakarta itu, adalah yang paling lengkap dan tertua sepanjang sejarah. Semua ada dokumen sejarahnya secara tertulis. Sementara yang lain, sampai sekarang saya belum pernah melihat dokumen sejarahnya. Dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari Koes Moertiyah itu satu-satunya putri dari Kraton Mataram Surakarta yang saya lihat, sangat menguasai tatacara dan upacara adat perkawinan di kraton, yang kini menjadi tatacara adat pengantin Jawa gaya Surakarta. Hanya beliau satu-satunya,” tunjuk RM restu.
Sajian peragaan busana yang terhitung ada 6 stelan busana pengantin adat Jawa yang diperlihatkan, ada busana “basahan” yang dikenakan saat “siraman”, yang wujudnya kain serba putih yang dikenakan sepasang pengantin. Kemudian, saat tahap tatacara “Midodareni”, dalam tatacara adat di kraton hanya menampilkan pengantin lelaki saja yang berbusana beskap Langenharjan. Di kraton, yang disebut sedang punya hajad menantu (mantu-Red), berlaku bagi putra maupun putri-dalem dan tidak ada tradisi “ngundhuh mantu”.
Perihal kraton “mantu” itu, Gusti Moeng dalam sambutannya juga menjelaskan, bahwa tatacara dan upacara adat perkawinan di kraton seperti yang terurai di atas. Ketika sebuah lembaga perkawinan berhenti di tengah jalan karena perceraian atau sang suami wafat, jandanya harus kembali atau diserahkan kembali ke kraton. Di kraton, ada barak Bangsal Keputren yang salah satu fungsinya untuk menampung para janda putri-dalem. Sekarang sudah nyaris kosong, karena Sinuhun Paku Buwono yang jumeneng jumlah anaknya sedikit dan harus keluar dari kraton kalau sudah menikah. (won-i1)