Ada 71 Buah Wayang Ukuran Mini Ikut “Diesis” di Teras Nguntarasana
SURAKARTA, iMNews.id – Untuk kali ketiga, ritual “ngesis wayang ageng” yaitu pada weton Anggara Kasih ketiga digelar Selasa Kliwon (9/5) dari pagi pukul 10.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB siang tadi. Kali ini giliran sekotak wayang pusaka bernama Kanjeng Kiai (KK) Kadung “yasan” atau yang dibuat semasa Sinuhun PB IV (1788-1820), mendapat giliran untuk “diesis” atau diangin-anginkan di ruang gedhong Sasana Handrawina.
Karena sekotak wayang karya Sinuhun PB IV itu dianggap wayang pusaka paling dikeramatkan, untuk mengeluarkan dari tempat penyimpanannya harus dengan prosesi ritual secara khusus yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng. Setelah bisa dikeluarkan dari ruang penyimpanannya, untuk membawa ke tempat ritual yaitu ruang gedhong Sasana Handrawina juga harus dengan prosesi ritual yang dikawal Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat Kraton Mataram Surakarta itu.
Pukul 10.30 WIB, sekotak wayang Kanjeng Kiai Kadung yang diusung lebih enam abdi-dalem dan “disongsong” atau dinaungi dengan payung, mulai siapkan segala macam uba-rampe ritualnya untuk membuka. Gusti Moeng terlebih dulu mengelap bagian luar tutup kotak, sebelum memimpin ritual membuka kotak. Setelah selesai melakukan sikap doa wilujengan, kotak dibuka bersama-sama oleh dalang Ki RT Gatot Purnomo Carito Adiningrat, dibantu beberapa abdi-dalem lain seperti Ki Suluh Juniarsah dan Ki Rudy Wiratama yang disaksikan Gusti Moeng.
“Kabeh abdi-dalem sing suwita lan melu nyambut-gawe tatacara upacara adat apa wae, luwih-luwih ngesis wayang, yen pada weruh apa wae, cukup meneng, ora perlu crita karo sapa wae. Cukup kanggo awakmu dhewe. Kabeh abdi-dalem wis disumpah kaya ngono kuwi. Lak ya padha paham ta?,” tanya Gusti Moeng dalam bahasa Jawa “ngoko” saat mengingatkan sumpah “pasuwitan” kira-kira 20-an abdi-dalem, yang mengikuti ritual “ngesis wayang”, sejak memasuki ruang penyimpanan sekotak wayang, pagi tadi.
Dari luar ruang penyimpanan, terdengar suara koor para abdi-dalem menjawab “…inggih, sendika…”, sebagai tanda setuju dan membenarkan serta selalu mematuhi sumpahnya sebagai abdi-dalem, sambil melakukan apa yang menjadi tugas masing-masing dalam rangkaian prosesi upacara adat “ngesis wayang” itu. Sesampai di ruang “gedhong” Sasana Handrawina, upaya mengingatkan sumpah “pasuwitan” abdi-dalem diucapkan lagi oleh Gusti Moeng, sambil membuka kotak dan mengangkat “eblek” atau sekat berisi anak wayang satu-persatu.
Seperti biasa, tali yang disampiri mori putih panjang lalu dibentangkan di empat “saka guru” penyangga gedhong Sasana Handrawina, sementara meja untuk meletakkan “eblek” atau sekat berisi anak wayang juga langsung ditata berdekatan. Semua abdi-dalem yang bertugas, terkesan sudah memahami bidang pekerjaan masing-masing, sehingga semua nyaris tak ada yang menganggur. Semua bidang tugas yang berbeda-beda tetapi berkaitan dan dibutuhkan untuk proses “negsis wayang” itu dikerjakan dalam waktu bersamaan, sehingga terkesan urut, runtut, lancar dari awal hingga akhir.
Ada 4-6 abdi-dalem yang bertugas mengangin-anginkan anak wayang dengan urutan yang sudah sangat dipahaminya, dari ukuran terbesar sesuai “ebleknya”, diambil dan digantung di atas tali yang diselimuti mori putih. Begitu seterusnya, satupersatu digantung, hingga memenuhi tali yang dibentang di empat “saka guru” bangunan Sasana Handrawina. Yang sudah tergantung dikuas debunya satu persatu dengan teliti, tetapi ada yang menguas debu satu-persatu di atas meja sebelum digantung atau “diangini”.
Selain dibersihkan debu dan jamur yang menempel di kedua dimensi wayang kulit tersebut, ada 2-4 abdi-dalem yang bertugas meneliti “gapit” dan tali engsel untuk memastikan apakah ada yang retak atau tidak, apakah ada tali yang putus atau tidak. Dan dua di antara mereka, tampak langsung memasukkan benang sintetis pada engsel tangan beberapa anak wayang yang kedapatan putus. Sedangkan gapit tokoh wayang”Bratasena” yang putus di kedua sisi, langsung diduskusikan dengan Ki RT Gatot Purnama Carita Adiningrat dan Gusti Moeng untuk mencari solusinya.
Gusti Moeng, tampak sangat proaktif dan menguasai benar urutan rangkaian prosesi “ngesis wayang”, dari awal hingga akhir. Termasuk bagaimana cara membersihkan debu atau jamur dari dua permukaan anak wayang kulit yang jumlahnya 370-an buah dari sekotak Kanjeng Kiai Kadung itu. Tak hanya menguas, menyiapkan ritual seperti menghidupkan api arang di “anglo” dan memimpin doanya, Gusti Moeng juga paham cara mempercepat proses “mengangini” anak wayang yang sudah digantung, yaitu dengan memanfaatkan dua kipas angin yang diminta untuk dipasang di tengah ruang.
Setelah semua bagian dari proses pekerjaan “ngesis wayang” bisa berjalan lancar, Gusti Moeng juga tetap mengambil porsi pekerjaan membersihkan debu dengan kuas atau mengelap jamur dengan tisu kering. Ada satu tokoh anak wayang berukuran besar yang tampak sedang dipegang berdiri dengan tangan kiri, lalu dikuas dengan tangan kanannya, dengan teliti di dua permukaan anak wayang itu. Barulah ketika merasa berkeringat karena temperatur umum akhir-akhir ini meningkat panasnya, lalu menuju pintu Sasana Handrawina untuk mencari angin segar.
“Yang jelas, hampir semua mulai berjamur. Jumlahnya ada 370-an itu. Tetapi secara umum masih aman, karena debu dan jamur mudah dibersihkan. Jadi, tidak sampai merusak cat atau kulit bahan bakunya. Kalau gapit, ada yang patah, juga bisa diperbaiki. Ini ngesis wayang Anggara Kasih besar. Setelah Kanjeng Kiai Jimat, Kanjeng Kiai Jayeng Katong, sekarang Kanjeng Kiai Kadung. Ketiganya harus diesis dalam ritual Anggara Kasih besar semua,” ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id saat duduk depan di pintu mencari angin.
Proses “mengangini” sambil reparasi kecil-kecilan anak wayang yang rusak nyaris selesai semuanya pada pukul 11.50 WIB, abdi-dalem RM Restu Setiawan melapor dan usul agar sejumlah anak wayang yang masih tersisi di ruang penyimpaan tetapi di luar kotak atau tak ada kotaknya, dibersihkan sekaligus. Atas usul itu, Gusti Moeng setuju dan meminta RM Restu mengajak beberapa abdi-dalem untuk mengeluarkan sejumlah anak wayang itu untuk “diangini” dan dibersihkan di teras Nguntarasana saja.
Ada empat abdi-dalem termasuk dirinya, langsung mengeluarkan sejumlah anak-wayang yang sudah tidak diketahui bagian dari kotak wayang mana dan apa namanya?. Setelah dihitung dan disaksikan Wakil Pengageng Mandra Budaya, KPP Wijoyo Adiningrat, anak wayang berukuran mini atau separo dari ukuran wayang umumnya itu ada 71 buah anak wayang. Sebagian besar anak wayang yang diperkirakan bagian dari Kiai Kidang Kencana atau Menjangan Mas itu masih utuh, tetapi ada yang sudah rusak dan belum dijepit dengan “gapit” yang biasanya terbuat dari tanduk kerbau itu.
“Itu dulu yang diambil salah seorang abdi-dalem di sini, lalu dijual kepada beberapa orang di daerah Wonogiri. Tetapi bisa dilacak siapa yang membeli, siapa yang mengambil dan siapa yang menjual. Yang mengambil sudah mengaku dan sebagian bisa dikembalikan. Tetapi ada yang belum kembali. Kalau enggak salah ada berapa itu? Mungkin 25 buah ya…?,” ujar Gusti Moeng setengah bertanya. Dan RM Restupun menuturkan, diperkirakan masih banyak yang belum dikembalikan. tetapi sulit diidentifikasi, berapa jumlahnya?, asalnya dari kotak mana? dan apa nama kotaknya?. (won-i1)